Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Saat Lembaga Riset dan Teknologi Terkendali

5 Januari 2022   16:57 Diperbarui: 5 Januari 2022   17:53 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Apakah benar, Sumber Daya Manusia (SDM) rakyat Indonesia di setting untuk tetap bodoh? Sehingga hingga menjelang usia Negara Republik Indonesia ke-77 di tahun 2022, pendidikan Indonesia tetap terpuruk dan tercecer dari negara Asia Tenggara, Asia, dan Dunia? Satu di antara tolok ukur maju dan berkembangnya peradaban bangsa, di tengah persaingan global adalah terletak pada bidang riset dan teknologi sebuah negara. 

Karenanya, banyak negara yang sampai memperkerjakan SDM asing dengan gaji besar, demi  riset dan teknologi di negara bersangkutan. Maka, bukan cerita baru, bila banyak SDM asli Indonesia, putra-putri bangsa Indonesia justru bekerja di bidang riset dan teknologi di negara lain karena berbagai alasan.

Kondisi ini bukan tak diketahui, bukan tak disadari oleh para pemimpin di NKRI, tetapi karena selama ini, mereka sibuk dengan urusan dan kepentingannya sendiri, aset bangsa berupa SDM unggul malah dibiarkan mengabdi kepada bangsa lain.

Mirisnya, di tengah persaingan global, saat Indonesia semakin dikenal sebagai bangsa yang terpuruk dalam pendidikan, terkenal sebagai bangsa pemakai produk asing, bangsa yang kurang kreatif dan inovatif, di awal tahun 2022, pemerintah malah bikin kebijakan langsung memicu perdebatan dan dianggap kontraproduktif. Sepertinya, lebih mengedepankan prioritas kepentingan kelompok, golongan, dinasti, dan oligarkinya, karena mengabdi kepada pemodal alias cukong.

Bagaimana tidak, di awal tahun ada gebrakan pembubaran Lembaga Eijkman.  Beberapa periset lembaga pun mengeluhkan penggabungan Eijkman ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) karena buntutnya, memecat sebanyak 80 persen periset tanpa pesangon.

Terang saja, para periset Lembaga tersebut yang umumnya honorer dengan pendidikan S1 dan S2 tak bisa langsung ikut bergabung di BRIN. Pasalnya, syarat
bergabung ke dalam BRIN, selain statusnya di Lembaga Eijkman telah pegawai negeri juga pendidikan S3. Bagi yang berpendidikan S3 tapi masih honorer dapat mengikuti tes CPNS atau PPPK pada 2021 lalu. Yang S1 dan S2, masih bingung.  

Buntut lainnya, muncul respons beragam di masyarakat, terlebih, Eijkman berperan penting dan strategis dalam situasi pandemi Covid-19 ini. Khusus untuk masalah SDM, apalagi bila menyimak sejarah Eijkman di bidang Riset Biologi Molekular ini, meleburnya ke dalam BRIN jelas menggiring opini publik. Seolah peleburan ini hanyalah rekayasa atau dalih menyingkirkan, bila mengingat sebelumnya sudah terjadi kasus pegawai KPK yang dibikin tak lolos TWK.

Masyarakat tak akan pernah lupa atas kasus pegawai KPK, dengan alasan ujian TWK beberapa penyidik senior di KPK disingkirkan. Karenanya, kini pun ada kesan menyingkirkan para peneliti dan ilmuwan yang kompeten di Republik ini dengan menggusur Lembaganya dan melebur ke dalam BRIN.

Sementara, masyarakat juga sangat paham bahwa struktur organisasi dari BRIN, sejak awal tidak bisa dipisahkan dari partai politik tertentu.

Reaksi publik

Setelah saya menyimak berbagai reaksi dari berbagai pihak di negeri ini, hingga Selasa, 5 Januari 2022, mulai dari sorotan para praktisi, pengamat, akademisi, hingga anggota DPR RI baik di media massa mau pun di televisi, saya simpulkan bahwa peleburan Eijkman seperti ada udang di balik batu.

Bahkan dalam acara live di televisi Nasional Selasa pagi (5/1/2022), khusus membahas hal ini dihadirkan tiga nara sumber yaitu dari Akademisi, Anggota DPR RI, dan dari pihak Eijkman. Pembawa acara pun mengungkit masalah vaksin Merah Putih, apakah menjadi salah satu pemicu pembubaran Eijkman.

Sementara dari pihak akademisi mengulas tentang sejarah dan kedudukan Eijkman dalam kancah internasional, aebab, para peneliti Eijkman memiliki peran dalam dunia international.

Oleh sebab itu, pembubarannya tidak boleh mendegradasi independensi dan kepakaran para peneliti di LBM Eijkman. LBM Eijkman ini punya Gengsi tersendiri di dunia internasional. Jangan sampai proses peleburan ini justru menghadirkan kemunduran.

Pihak DPR menggarisbawahi, bila pembubaran Eijkman benar-benar mengingatkan kasus pegawai KPK yang didegradasi oleh TWK, dan sangat kental politiknya.

Pembelaan BRIN

Atas polemik ini, seperti dilansir berbagai media nasional, Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, sudah memberi penjelasan soal nasib para ilmuwan di Eijkman usai peleburan ke BRIN. Bahkan, berdasarkan keterangan BRIN dalam situs resminya, integrasi Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman ke dalam BRIN akan memperkuat kompetensi periset biologi molekuler di Indonesia. Itu sebabnya, sejak September 2021, nama LBM Eijkman berubah menjadi Pusat Riset Biologi Molekular (PRBM) Eijkman.

Penjelasan selanjutnya, LBM Eijkman selama ini bukan lembaga resmi pemerintah dan berstatus unit proyek di Kemristek. Karenabya, selama ini para PNS periset di LBME tidak dapat diangkat sebagai peneliti penuh dan berstatus seperti tenaga administrasi.

BRIN juga mengungkap bahwa ternyata LBM Eijkman sudah banyak merekrut tenaga honorer yang tidak sesuai ketentuan. Maka BRIN memberi opsi sesuai status kepegawaiannya. Opsinya, PNS Periset: dilanjutkan menjadi PNS BRIN sekaligus diangkat sebagai Peneliti. Berikutnya, Honorer Periset usia > 40 tahun dan S3: mengikuti penerimaan ASN jalur PPPK 2021. Kemudian, Honorer Periset usia < 40 tahun dan S3: mengikuti penerimaan ASN jalur PNS 2021. 

Lalu, Honorer Periset non S3: melanjutkan studi dengan skema by-research dan RA (research assistantship). Atau melanjutkan sebagai operator lab di Cibinong, bagi yang tidak tertarik lanjut studi. Dan, Honorer non Periset: diambil alih RSCM sekaligus mengikuti rencana pengalihan gedung LBME ke RSCM sesuai permintaan Kemenkes yang memang memiliki aset tersebut sejak awal.

Fakta dan dampak

Fakta bahwa LBM Eijkman resmi dibubarkan pada Sabtu, 1 Januari 2022. Usai dibubarkan, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman diambil alih oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Ada ratusan saintis dan para staf pendukung kehilangan pekerjaan dalam sehari karena pembubaran lembaga Eijkman. Ini berbanding terbalik dengan apa yang dibutuhkan oleh Indonesia.

Indonesia membutuhkan banyak sekali peneliti untuk membangun peradaban yang maju di saat pendidikan terus terpuruk, dan terus terlabel sebagai bangsa pemakai produk asing, bangsa yang tak kreatif dan inovatif.

Sejatinya, pembentukan BRIN diharapkan bisa memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Tanah Air, terutama berperan vital saat dunia dilalap Covid-19. Namun, faktanya, dalam kasus Covid-19, Indonesia justru mengalami kegagapan pada awal pandemi. Salah satunya disebabkan karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Akibatnya, Indonesia harus menghamburkan uang sangat besar untuk penanganan pandemi. Pemerintah Indonesia menggelontorkan anggaran besar untuk membeli alat rapid test dan ternyata tidak efektif. Karena Lembaga riset kita masih mandul.

Lihat, negara mana yang menguasai dari mulai alat rapid sampai vaksin. Indonesia hanya negara pemakai, pembeli. Apakah Vaksin Merah Putih menjadi penyebab dibubarkannya Eijkman?

Kendati BRIN punya dalih dan opsi untuk tenaga jebolan Eijkman, seharusnya BRIN atau siapa otak di balik BRIN,  mengkaji ulang pencopotan para tenaga periset Eijkman. Pasti, dengan fakta aeperti kasus Covid-19 saja, kita gagap. Untuk itu, tenaga periset tentu sangat kita butuhkan untuk berbagai inovasi lain. Bahkan, Indonesia sewajibnya memperbanyak tenaga periset untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Sayang, di Pemerintahan Jokowi, hal menyangkut riset dan teknologi, seolah malah memang menjadi ajang kepentingan yang arahnya sepertinya dapat saya baca.

Untuk memuluskan kepentingan itu, dilahirkan Perpres 78 Tahun 2021 tentang BRIN, maka seluruh lembaga penelitian harus diintegrasikan ke BRIN. Ada lima lembaga penelitian yang resmi terintegrasi ke dalam BRIN per 1 September 2021, antara lain LAPAN, BATAN, LIPI, BPPT, dan Kemenristek/BRIN.

Semua Lembaga vital untuk kemajuan dan peradaban bangsa ini dijadikan satu. Apa maksudnya? Jawabnya mau versi pembelaan pemerintah? Atau versi rakyat Indonesia? Bisa diulas semua.

Yang pasti, menurut saya, Perpres 78 Tahun 2021 seolah menjadi semacam pengendali saja yang dibikin sesuai pesanan. Yang lebih pasti lagi, dengan pengendalian seperti itu, yang bisa jadi ada kepentingan dari berbagai arah, maka tidak ada lagi independensi Lembaga riset dan teknologi, karena bisa ada unsur pesanan. Dengan begitu, bagaimana riset di Indonesia dapat berkembang dan maju? Seperti sudah saya ungkap, atas situasi ini, maka tak heran ilmuwan asal Indonesia justru senang bekerja dan mengabdi kepada bangsa lain. Persoalannya, karena di negeri sendiri tak diberikan kesempatan. Saat ada kesempatan, juga terus dikendalikan oleh kepentingan. Sedih.

Apakah benar, Perpres 78 Tahun 2021 hingga pembubaran Eijkman adalah strategi mematikan Lembaga riset? Karena ada kepentingan terkait? Itulah opini publik yang juga menghiasi media massa di Indonesia. Sampai disebut pula bahwa ciri rezim anti kritik, itulah salah satu programnya.

Entah mana yang benar. Pastinya, benar bahwa banyak ilmuwan dan periset asli Indonesia justru berkarier di manca negara. Tidak di negeri sendiri, karena ruang kerja dan geraknya dipersempit, dibatasi. Itu mungkin. Inilah kisah sedih tentang Lembaga Riset dan Teknologi di Indonesia, yang sudah menjadi ranah kepentingan. Indonesia pun, sepertinya akan terus menjadi bangsa pemakai produk asing, tak kreatif, tak inovatif dan menjadi program.

Lihatlah, pandemi Covid-19 adalah salah satu bukti ajang program memperkaya siapa, karena negeri ini tak mampu membikin alat test dan vaksin corona. Rakyat yang diperas. Sepertinya, program lain, kasus lain, akan begitu terus? Pura-pura paham, lah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun