Indonesia membutuhkan banyak sekali peneliti untuk membangun peradaban yang maju di saat pendidikan terus terpuruk, dan terus terlabel sebagai bangsa pemakai produk asing, bangsa yang tak kreatif dan inovatif.
Sejatinya, pembentukan BRIN diharapkan bisa memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Tanah Air, terutama berperan vital saat dunia dilalap Covid-19. Namun, faktanya, dalam kasus Covid-19, Indonesia justru mengalami kegagapan pada awal pandemi. Salah satunya disebabkan karena rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Akibatnya, Indonesia harus menghamburkan uang sangat besar untuk penanganan pandemi. Pemerintah Indonesia menggelontorkan anggaran besar untuk membeli alat rapid test dan ternyata tidak efektif. Karena Lembaga riset kita masih mandul.
Lihat, negara mana yang menguasai dari mulai alat rapid sampai vaksin. Indonesia hanya negara pemakai, pembeli. Apakah Vaksin Merah Putih menjadi penyebab dibubarkannya Eijkman?
Kendati BRIN punya dalih dan opsi untuk tenaga jebolan Eijkman, seharusnya BRIN atau siapa otak di balik BRIN, Â mengkaji ulang pencopotan para tenaga periset Eijkman. Pasti, dengan fakta aeperti kasus Covid-19 saja, kita gagap. Untuk itu, tenaga periset tentu sangat kita butuhkan untuk berbagai inovasi lain. Bahkan, Indonesia sewajibnya memperbanyak tenaga periset untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sayang, di Pemerintahan Jokowi, hal menyangkut riset dan teknologi, seolah malah memang menjadi ajang kepentingan yang arahnya sepertinya dapat saya baca.
Untuk memuluskan kepentingan itu, dilahirkan Perpres 78 Tahun 2021 tentang BRIN, maka seluruh lembaga penelitian harus diintegrasikan ke BRIN. Ada lima lembaga penelitian yang resmi terintegrasi ke dalam BRIN per 1 September 2021, antara lain LAPAN, BATAN, LIPI, BPPT, dan Kemenristek/BRIN.
Semua Lembaga vital untuk kemajuan dan peradaban bangsa ini dijadikan satu. Apa maksudnya? Jawabnya mau versi pembelaan pemerintah? Atau versi rakyat Indonesia? Bisa diulas semua.
Yang pasti, menurut saya, Perpres 78 Tahun 2021 seolah menjadi semacam pengendali saja yang dibikin sesuai pesanan. Yang lebih pasti lagi, dengan pengendalian seperti itu, yang bisa jadi ada kepentingan dari berbagai arah, maka tidak ada lagi independensi Lembaga riset dan teknologi, karena bisa ada unsur pesanan. Dengan begitu, bagaimana riset di Indonesia dapat berkembang dan maju? Seperti sudah saya ungkap, atas situasi ini, maka tak heran ilmuwan asal Indonesia justru senang bekerja dan mengabdi kepada bangsa lain. Persoalannya, karena di negeri sendiri tak diberikan kesempatan. Saat ada kesempatan, juga terus dikendalikan oleh kepentingan. Sedih.
Apakah benar, Perpres 78 Tahun 2021 hingga pembubaran Eijkman adalah strategi mematikan Lembaga riset? Karena ada kepentingan terkait? Itulah opini publik yang juga menghiasi media massa di Indonesia. Sampai disebut pula bahwa ciri rezim anti kritik, itulah salah satu programnya.
Entah mana yang benar. Pastinya, benar bahwa banyak ilmuwan dan periset asli Indonesia justru berkarier di manca negara. Tidak di negeri sendiri, karena ruang kerja dan geraknya dipersempit, dibatasi. Itu mungkin. Inilah kisah sedih tentang Lembaga Riset dan Teknologi di Indonesia, yang sudah menjadi ranah kepentingan. Indonesia pun, sepertinya akan terus menjadi bangsa pemakai produk asing, tak kreatif, tak inovatif dan menjadi program.