Dengan memahami makna dan tujuan, maka bagi siapa saja yang bergumul (bergelut) dan menggumuli (memperdalam, mempelajari sebaik-baiknya) sastra, maka ujungnya akan menjadi manusia berbudi.
Pertanyaannya, apakah pihak yang bertugas bergelut dengan sastra, yaitu guru atau dosen sudah menggumuli sastra dengan benar dan baik, sehingga memiliki kompetensi untuk membagi sastra kepada peserta didik dan mahasiswa? Berikutnya secara estafet, para peserta didik dan mahasiswa meneruskan ilmu dan praktik sastra pada keluarga dan masyarakat selain untuk pengetahuan dan praktik bagi dirinya? Selanjutnya, saat peserta didik dan mahasiswa berubah menjadi orang tua, apakah mereka juga meneruskan ilmu dan praktik sastra pada anak-anak hingga cucu cicitnya?
Inilah yang hingga kini terus menjadi problematika di Indonesia, meski  Kurikulum Pendidikan sudah berganti baju 9 kali sejak Indonesia merdeka. Dia adalah Rencana Pelajaran 1947, Rencana Pelajaran Terurai 1952, Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999, Kurikulum 2004, KTSP 2006, serta Kurikulum 2013. Namun, menyoal sastra baik di pengajaran maupun praktik kehidupan nyata tetap terpuruk.
b. Mengapa  pengajaran sastra terpuruk?
Sekurangnya ada 2 faktor mengapa sastra terus terpuruk, pertama Kurikulumnya, kedua subyek pembelajarnya, yaitu kompetensi guru/dosennya. Dan, ini terjadi hingga sebelum pandemi corona menjajah dunia dan Indonesia. Dua faktor tersebut juga sangat kental dengan kata-kata miskinnya kreativitas, imajinasi, dan inovasi, sehingga semakin mengungkung sastra berkembang dan memasyarakat.
Sebelum Covid-19 datang, pengajaran sastra masih terpuruk, bagaimana dengan pengajaran saatra di masa pandemi yang mau tidak mau wajib dijalankan? Apakah pengajaran sastra di masa pandemi malah semakin numpang lewat dan sekadar formalitas karena guru/dosen kurang kompetensi? Sebab di masa sebelum pandemi, hal itulah yang terdata banyak terjadi.
Kini, di masa pandemi, apa pun alasannya, guru/dosen wajib melakukan tindakan adaptif. Ibaratnya, bila di masa tak pandemi saja mengajar sastra sudah beban, maka di masa pandemi menjadi dobel beban, beban rangkap dua kali lipat bahkan lebih. Selain beban kompetensi sastra, kreativitas, inovasi, dan strategi pembelajaran, kini ditambah dengan kompetensi, kreativitas, inovasi, dan strategi teknologinya.
Di sisi Kurikulum, sejatinya sudah ada upaya untuk adaptasi dengan Kurikulum Darurat, pembelajaran daring, namun di sisi subyek pengajarnya, tetap menjadi dilema meski sudah ada arahan, bimbingan, pelatihan, seminar dan sejenisnya dari seluruh stakeholder terkait. Di media massa pun, bertebaran tawaran alternatif bagaimana melakukan pembelajaran sastra yang kreatif dan inovatif. Namun, hingga corona hinggap di Indonesia jelang dua tahun, nyatanya suara-suara kegagalan pembelajaran sastra daring semakin masif.
Para guru yang jujur, mengungkap kebingungan karena porsi sastra di Kurikulum sangat terbatas. Sementara bagi guru yang tidak jujur, menganggap tidak ada masalah, melakukan pengajaran yang numpang lewat, namun peserta didik dan orang tua lah yang teriak karena sikap pengajarnya. Sastra ternyata juga kurang merasuk dalam pikiran dan hati para pengajarnya. Padahal, bila merujuk pada makna dan tujuan sastra, betapa vitalnya pembelajaran sastra bagi perikehidupan manusia. Bila sastra tak merasuk dalam pikiran dan hati pengajarnya, bagaimana sastra akan membekas pada pikiran dan hati peserta didik atau mahasiswa?
c. Parlemen dan Pemerintah tak bersastra
Lihatlah fakta di parlemen dan pemerintahan Indonesia, mereka dalam menjalankan amanah rakyat sesuai Pembukaan UUD 1945 juga terus timpang. Berbagai peraturan dan kebijakan (baca: sastra parlemen dan pemerintah) dibuat tak berpihak kepada rakyat. Tapi, demi untuk kepentingan mereka sendiri. Terus meneladani ambisi serakah, kekuasaan, takut kehilangan yang bukan milik, dengan memupuk dan memelihara oligarki dan dinasti dengan aji mumpung. Mumpung masih berkuasa. Itulah sastra yang diukir oleh parlemen dan pemerintah.