Mengajar-mendidik sastra = manusia berbudi, bila tak setengah hati. ((Supartono JW.21082021)
MAKALAH ini saya sampaikan dalam Webiner Nasional: Wajah Baru Kreasi Sastra di Masa Pandemi.
Disadari (Diskusi Sastra Daring) di Sekolah Pascarajana UHAMKA, Sabtu, 21 Agustus 2021
Di masa pandemi corona, bagaimana dengan kondisi pengajaran sastra? Terlebih, hingga sekarang sekolah masih dilakukan dengan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau online atau daring. Namun, meski kondisi dunia sedang tidak normal karena virus corona, hingga pembelajaran tatap muka (PTM) belum dapat digulirkan, maka dengan mengingat makna dan tujuan dari sastra itu sendiri, maka tidak ada alasan bagi guru untuk tidak dapat melakukan pengajaran bahasa Indonesia, khususnya sastra yang ada di dalamnya menjadi terkendala.
Sebelum membahas masalah pengajaran sastra di masa pandemi, maka perlu kita lihat dulu bagaimana pembejaran daring secara umum di Indonesia. Setelah kita pahami peta masalah pembelajaran daring secara umum, maka secara tidak langsung, pembelajaran sastra akan dapat tersirat bagaimana kondisinya.
(1) Kesulitan pembelajaran daring, gangguan sinyal
Dalam pemberitaan di media massa terbaru, Senin (16/8/2021), kesulitan pembelajaran selama pandemi Covid-19 masih dirasakan oleh peserta didik (SMP) di wilayah DKI Jakarta, terutama dalam mendapatkan pemahaman materi pembelajaran selama mengikuti daring. Dalam berita juga dikisahkan bahwa, pengajar (guru) juga lebih banyak meminta peserta didik membaca materi. Akibatnya pemahaman materi susah dimengerti dibandingkan bila pembelajaran dengan tatap muka.
Selain masalah pemahaman, untuk pembelajaran daring via Zoom atau Google Class Room pun, membikin peserta didik sering kehabisan kuota internet, meski sudah ada bantuan dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek). Dalam mengatasi kesulitan pemahaman materi  via daring, keluarga akhirnya sering ikut membantu, namun keluarga (orang tua/kakak/lainnya) ternyata juga tidak selalu dapat memecahkan materi pelajaran yang sulit. Padahal dalam sehari, belajar selama dua jam, faktanya ada tugas dari guru antara dua dan tiga.
Saat saya mencoba menggali permasalahan pembelajaran daring kepada salah satu guru yang mengajar di salah satu sekolah swasta unggulan, juga di wilayah DKI, Selasa (17/8/2021), guru bersangkutan juga menyatakan hal yang sama. Tetapi, ada kendala yang sering dialami dalam proses belajar daring, yaitu gangguan internet, sinyal sering tersendat. Sekolah sampai berupaya mengeluarkan biaya besar agar internet sinyalnya kencang dan meminta guru mengajar dari sekolah. Tetapi tetap saja ada kendala sendat, lelet, dan terhambat (buffering) ke peserta didik yang juga menggunakan jaringan dan provider yang berbeda. Kendala jaringan internet tersebut juga menjadi persoalan yang sangat  tidak nyaman dalam penyampain materi pembelajaran oleh guru.
Menurut peserta didik, sebenarnya pembelajaran daring lebih ringan, tetapi pembelajaran tatap muka (PTM) atau luring tetap lebih nyaman dan lebih mudah memahami materi pelajaran. Karenanya peserta didik berharap semoga pandemi corona segera berakhir. Tetapi, fakta, bahwa pandemi corona tidak tahu sampai kapan akan berakhir, khususnya di Indonesia, sementara pemerintah pun masih terus melakukan kebijakan PPKM berjilid-jilid, pilihan pembelajaran tidak ada lagi selain dengan daring. Pertanyaannya, bagaimana mengatasi pembelajaran daring yang dapat membikin peserta didik nyaman dan paham materi pelajaran? Padahal, tugas pembelajaran bukan sekadar peserta didik paham materi, tapi juga terdidik, hingga peserta didik menjadi cerdas otak dan cerdas mental dan emosi, berkarakter dan berbudi, serta rendah hati. Sementara, kesulitan memahami materi dan persoalan sinyal internet saja masih terjadi pada peserta didik di wilayah DKI Jakarta. Bagaimana dengan wilayah lain dan pelosok negeri yang pasti juga memiliki kendala lebih dari itu?
(2) Hasil survey Kemendikbud Ristek, cermin kompetensi guru