Lebih lanjut, Linden menyebut, kebiasaan buruk ini berawal dari kepahitan di masa lalu yang menyebabkan gangguan medis, tepatnya gangguan Post-traumatic Embitterment Disorder (PTED).Orang dengan gangguan PTED, mampu memiliki kontrol diri atau pandangan positif pada dirinya sendiri karena kebiasaannya nyinyir atau menyalahkan orang lain.
Karenanya, nyinyir atau menyalahkan orang lain adalah caranya untuk melindungi harga diri dan traumanya akan kepahitan di masa lalu.
Padahal kebiasaan nyinyir yang menimbulkan pertengkaran dan memancing emosi di lingkungan sekitar orang bersangkutan ini justru memberikan dampak buruk pada kesehatan fisik jika terus-menerus dibiarkan terjadi.
Pertanyaannya, apakah para tukang nyinyir di Indonesia ini, dulunya mengidap PTED? Sementara, bila dilihat dari bentuk dan isi nyinyirnya, bila diklasifikasi, bisa saja ada golongan penyinyir pemula, penyinyir amatir, dan penyinyir profesional.
Khusus untuk penyinyir kategori profesional, rasanya mustahil pernah mengidap PTED, karena dengan nyinyir, dia kini berstatus penyinyir dan dapat uang.
Jadi, bila selama ini sudah ada pekerjaan penyair, di Indonesia kini sah ada pekerjaan penyinyir. Bedanya, seorang penyair butuh proses dan waktu terdidik dan bersama karya-karyanya yang fenomenal dan monumental untuk mendapat julukan atau gelar penyair.Â
Tapi untuk menjadi penyinyir hanya dibutuhkan karya-karya yang terus menyalahkan orang lain, yang diretweet, yang dikutip tweet, dan yang disuka oleh followers dan dijadikan bahan berita oleh media massa yang sepertinya kelompok buzzer juga.
Hati-hati, bila kita sudah ikutan nyinyir, jangan-jangan pernah mengidap PTED, karena kehidupan masa lalu yang pahit dan membikin trauma, lalu nyinyir dan suka menyalahkan orang lain. Tapi, nyinyirnya itu, natural, alami? Atau ada skenario dan sandiwara? Hati-hati!
Wahai stakeholder yang berkepentingan di negeri ini, apakah penyinyir di medsos yang sudah dikenal dan diidentifikasi masyarakat dan media massa, akan terus dibiarkan menjalankan aksi nyinyirnya di Republik ini yang semakin masif, hingga meneladani seluruh lapisan masyarakat untuk terbudaya menjadi penyinyir juga?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H