Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Setop Meneladani Rakyat Menjadi Penyinyir!

1 Juli 2021   09:35 Diperbarui: 1 Juli 2021   09:42 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lebih lanjut, Linden menyebut, kebiasaan buruk ini berawal dari kepahitan di masa lalu yang menyebabkan gangguan medis, tepatnya gangguan Post-traumatic Embitterment Disorder (PTED).Orang dengan gangguan PTED, mampu memiliki kontrol diri atau pandangan positif pada dirinya sendiri karena kebiasaannya nyinyir atau menyalahkan orang lain.

Karenanya, nyinyir atau menyalahkan orang lain adalah caranya untuk melindungi harga diri dan traumanya akan kepahitan di masa lalu.
Padahal kebiasaan nyinyir yang menimbulkan pertengkaran dan memancing emosi di lingkungan sekitar orang bersangkutan ini justru memberikan dampak buruk pada kesehatan fisik jika terus-menerus dibiarkan terjadi.

Pertanyaannya, apakah para tukang nyinyir di Indonesia ini, dulunya mengidap PTED? Sementara, bila dilihat dari bentuk dan isi nyinyirnya, bila diklasifikasi, bisa saja ada golongan penyinyir pemula, penyinyir amatir, dan penyinyir profesional.

Khusus untuk penyinyir kategori profesional, rasanya mustahil pernah mengidap PTED, karena dengan nyinyir, dia kini berstatus penyinyir dan dapat uang.

Jadi, bila selama ini sudah ada pekerjaan penyair, di Indonesia kini sah ada pekerjaan penyinyir. Bedanya, seorang penyair butuh proses dan waktu terdidik dan bersama karya-karyanya yang fenomenal dan monumental untuk mendapat julukan atau gelar penyair. 

Tapi untuk menjadi penyinyir hanya dibutuhkan karya-karya yang terus menyalahkan orang lain, yang diretweet, yang dikutip tweet, dan yang disuka oleh followers dan dijadikan bahan berita oleh media massa yang sepertinya kelompok buzzer juga.

Hati-hati, bila kita sudah ikutan nyinyir, jangan-jangan pernah mengidap PTED, karena kehidupan masa lalu yang pahit dan membikin trauma, lalu nyinyir dan suka menyalahkan orang lain. Tapi, nyinyirnya itu, natural, alami? Atau ada skenario dan sandiwara? Hati-hati!

Wahai stakeholder yang berkepentingan di negeri ini, apakah penyinyir di medsos yang sudah dikenal dan diidentifikasi masyarakat dan media massa, akan terus dibiarkan menjalankan aksi nyinyirnya di Republik ini yang semakin masif, hingga meneladani seluruh lapisan masyarakat untuk terbudaya menjadi penyinyir juga? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun