Di ranah tertinggi sepak bola nasional, dalam wadah timnas yang seharusnya murni untuk beban prestasi di semua jenjang timnas, justru saat siapa pun pelatih yang dipercaya mengampu timnas untuk membawa timnas berprestasi, pelatihnya justru memulai dengan melakukan pembinaan di saat di event yang sama sudah mengejar prestasi dan harga diri di ranking FIFA.
Namanya sudah timnas, merekrut pemain-pemain terbaik dari seluruh pelosok negeri, namun saat sudah berada di timnas, tetap saja banyak pemain yang hanya dijadikan sekadar teman latihan, teman tidur dalam TC, dan lain sebagainya, karena pada faktanya banyak pemain yang sudah dipilih masuk timnas, nyatanya hanya menjadi penunggu bangku, bench pemain cadangan, atau hanya mengisi ruang di tribun penonton. Dan, menghabiskan anggaran sesuai rancangan.
Pertanyaannya, itu sudah timnas, tapi level kompetensi pemain di setiap posisi ternyata dianggap jauh dan tak sebanding oleh pelatih. Lalu, untuk apa mereka dipanggil dan hanya sekadar memenuhi kuota untuk aturan pemain dalam timnas?
Lihat, di tangan Shin Tae-yong((STy), saat Uni Emirat Arab UEA, Vietnam, Thailand, dan Malaysia menjadikan ajang lanjutan Babak Kualifikasi Piala Dunia 2022 benar-benar untuk prestasi, STy justru menjadikan timnas Indonesia untuk eksperimen pembinaan pemain muda.
Meski dunia tahu, STy menurunkan pemain muda di timnas Indonesia, tetap saja banyak pihak yang menganggap STy salah tempat dan waktu. Meski Indonesia sudah tak ada peluang, tapi event tetap untuk prestasi dan ada hitungan point FIFA. Apa buntutnya? Untuk Piala Asia saja timnas harus melalui babak play off meladeni tim gurem.
Inilah akibatnya bila pembina dan pelatih sepak bola, mungkin tak paham pedagogi, pendidikan, pembinaan, dan prestasi.
Terbalik-balik
Untuk itu, bagi segenap insan sepak bola nasional, rasanya perlu lagi belajar dan memahami apa itu mendidik, membina, dan prestasi. Jadi, di level timnas tidak ada lagi paradigma pembentukan dan menurunkan timnas dalam ajang internasional berpoint FIFA sebagai pembinaan.
Timnas bukan sepak bola akar rumput, tempat dan ajang meraih prestasi, tapi sebagai wadah pondasi pendidikan dan pembinaan pemain. Tetapi, faktanya di sepak bola akar rumput banyak pembina dan pelatih yang tak layak disebut pembina dan pelatih, karena pola pikirnya justru bak pembina dan pelatih di timnas.
Berikutnya, lihat bagaimana para pembina dan pelatih yang dipercaya membentuk tim sepak bola untuk tingkat kota/kabuparen/provinsi? Seharusnya, di level ini, juga paradigmanya sama dengan pola di timnas maupun klub, yaitu untuk prestasi.
Tapi saya melihat, di beberapa daerah, banyak pembina dan pelatih yang dipercaya mengampu tim, justru tak jelas arahnya. Antara prestasi dan pembinaan bercampur tipis, sebab unsur kedaerahan juga tak pernah bisa lepas dari masalah tarik ulur kepentingan.