Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perbedaan Berdebat dengan Orang Bodoh dan Orang Intelek

9 Juni 2021   08:15 Diperbarui: 9 Juni 2021   08:44 9128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang menjadi pertanyaan saya sekarang, apakah pemerintahan dan parlemen Indonesia diisi oleh kaum yang benar-benar intelektual?

Bila benar, tapi mengapa setiap polemik dan masalah yang mereka buat, saat diperdebatkan oleh rakyat, mengapa mereka memaksa untuk jadi pemenangnya?

Meski dalam setiap perdebatan, oleh para rakyat yang intelektual telah diberikan masukan dan ditunjukkan di mana letak masalah dan bagaimana solusinya, mereka ternyata tetap saja ngeyel dan merasa yang paling benar. Berikutnya, bila ada rakyat yang dianggap kekewat batas dalam mendebat atau melawan mereka, hukum dan ketidakadilan menjadi taruhan untuk menakuti dan menangkapi rakyat. Luar biasa.

Sampai kapan rakyat akan bisa menang mendebat pemeritahan dan parlemen yang tak amanah? Padahal orang-orangnya kan intelektual. Atau, jangan-jangan memang banyak yang tidak intelektual, jadi rakyat sama saja berdebat dengan orang bodoh?

Atau memang mereka terdiri dari para intelektual, tapi jiwanya memang sudah diabdikan untuk program kepentingan. Prek omongan rakyat, biar saja dianggap orang bodoh, yang penting bekerja sesuai kontrak, bukan sesuai amanah.

Mari, kita lihat diri kita. Apakah saya sudah termasuk orang yang intelektual, memiliki intelegensi, sosial, emosional, kreatf-imajinatif-inovatif, dan Iman (Iseaki) dengan nilai di atas rata-rata, 80-100?

Bila belum, ayo pompa dan kembangkan Iseaki itu hingga diri kita sampai di gerbang orang yang dianggap intelektual.
Meski saya belum sampai di gerbang Iseaki dan orang yang intelektual, mulai sakarang, hindarkan diri kita, membuang energi, berdebat dengan orang yang masih bodoh. 

Bila tanpa sengaja kita terjebak dalam perdebatan dengan orang bodoh, maka mintalah maaf, sudahi perdebatan, dan diam. Alihkan ke topik pembicaraan lain.

Tapi bagaimana dengan kondisi negeri ini? Rakyat terus jadi korban penderitaan dan ketidakadilan dari tindakan dan program rezim. Apa rakyat harus diam? Kapan mereka akan bersikap intelektual sejati, kembali menjadi diri mereka sendiri, menjadi rakyat yang sama-sama bisa merasakan ada penderitaan dan ketidakdilan? Apa harus menunggu pintu hidayah? Bahwa mereka itu mewakili rakyat? Kita lihat saja. Masih ada tiga tahun lagi, sebelum masa lima tahun berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun