Bila dikalkulasi dari sebelum dan sesudah pandemi corona, bahkan sejak menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia pertama hingga yang sekarang Kemendikbudristek justru masih dipercayakan ke mas Nadiem, benang kusut pendidikan di Indonesia konsisten sulit diurai.
Meski begitu, saya masih ingat, zaman kuliah dulu, saya sempat satu kelas dengan mahasiswa dari Malaysia yang kuliah di Indonesia karena beasiswa pendidikan dari negeri jiran. Artinya, Universitas di Indonesia juga sempat jadi pilihan mahasiswa di luar RI, khususnya dari sesama negara Asia Tenggara.
Bahkan jauh sebelumnya, pendidikan di Indonesia juga sempat jadi kiblat pendidikan bagi bangsa Asia Tenggara, itu di tahun 70 dan 80-an.
Ironisnya, tatkala negara Asia Tenggara lepas landas, justru mereka yang dulunya belajar dari Indonesia, kini malah melesat meninggalkan Indonesia.
Sederet benang kusut
Dari berbagai benang kusut yang ada di Indonesia, jangankan bicara hasil, bicara proses dan persiapan pendidikan saja masih terus menyedihkan.
Ambil contoh, hingga jelang tahun ajaran baru 2021, masih banyak ditemui penulisan tahun ajaran baru di informasi sekolah, pemberitaan di media massa, dan bentuk-bentuk promosi seperti kop surat, spanduk, baliho, pamflet dan lainnya yang menulis tahun pelajaran, bukan tahun ajaran.
Malah sangat memiriskan hati, cover artikel ini penulisannya salah, bahkan jelas yang membuat itu siapa? Dinas Pendidikan, lho?
Ini masalahnya di mana? Kepala sekolah dan para guru saja masih banyak yang salah menulis. Pertanyaannya, yang masih salah menulis ini karena tidak sengaja dan salah tulis atau benar-benar tidak tahu perbedaannya?
Padahal bagi yang masih tidak tahu, tinggal buka kamus online dari smartphone saja, langsung dapat ditemukan perbedaan antara tahun ajaran dan tahun pelajaran.
Bila kita ketik kata tahun ajaran di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, maka akan ditemukan arti dari tahun ajaran adalah tingkatan masa siswa belajar; masa belajar dalam tahun tertentu.