Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Prestasi Membaca, Literasi, Matematika, dan Sains Rendah, Apa Terobosannya?

3 Mei 2021   08:49 Diperbarui: 3 Mei 2021   09:18 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menanyakan kepada Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim ihwal terobosan yang telah dibuat untuk mendorong dunia pendidikan dalam diskusi bersama Nadiem Makarim yang disiarkan YouTube Kemendikbud RI, Minggu (2/4).

Tak mengungkit penilaian Unesco dan PISA

Sayang saat menyimak diskusi tersebut, tak ada pembicaraan menyoal Indonesia yang terpuruk dalam penilain membaca dari Unesco dan penilaian literasi, matematika dan sains oleh Programme for International Student Assesment (PISA).

Padahal penilaian tersebut menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan setiap.negara di dunia. Untuk apa bikin terobosan ini dan itu, tapi selama puluhan tahun Indonesia terus terpuruk dalam dunia pendidikan. Lebih khusus, terpuruknya justru dalam hal membaca, yang menjadi pintu dan jendela dunia.

Lebih miris, saat Indonesia terpuruk dalam dunia pendidikan, masyarakat Indonesia justru dapat anugerah sebagai warganet terburuk, paling tidak sopan, khususnya di Asia Tenggara.

Dunia pendidikan khususnya melalui pintu membaca, literasi, matematika, dan sains, ternyata kalah jauh dari minat dan kecintaan masyarakat kepada gadget. Sebab, Indonesia malah menjadi salah satu negara pengguna gadget terbesar di dunia. Bahkan, jumlah gadget lebih banyak dibanding jumlah penduduk seperti telah diberitakan faktanya oleh berbagai media mainstream di tanah air.

Akibatnya, saat pandemi corona, jari-jari orang Indonesia malah lebih cepat dari otaknya untuk kegiatan bernama like dan share di media sosial (medsos). Fatalnya lagi, sebab pintu dan jendelanya tertutup atau ditutup, tak membaca dengan benar, dengan cermat, sehingga minim ilmu, jadilah medsos tempat komunikasi yang tidak edukatif.

Seharusnya, saat Presiden bertanya terobosan, ada pertanyaan juga  bagaimana mengentaskan pendidikan Indonesia yang dianggap gagal dan tertinggal di dunia sesuai penilain Unesco dan PISA. Namun, sudah tak ditanya hal itu, Nadiem pun tak menyinggung sama sekali menyoal membaca, literasi, matematika, dan sains yang terpuruk.

Nadiem adalah menteri yang dipilih oleh Presiden karena latar belakangnya dari sudut milenial dan penguasaan teknologi digital, karenanya juga wajib memahami bahwa selain orang Indonesia ilmunya minimalis karena malas membaca, tapi kecepatan jarinya melebihi kecepatan otak saat di depan layar gadget.

Tak pelak, Indonesia pendidikannya terus tertinggal terutama di ranah membaca, literasi, matematika, sains hingga ilmu dalam otaknya minimalis, yang diukur oleh Unesco dan PISA, dan menjadi pangkal masalah masyarakat tak beretika di medsos, pun di dunia nyata.

Karena gagal dalam membaca, litersasi, matematika, dan sains, maka bila Nadiem berpikir membuat terobosan merdeka belajar, masyarakat Indonesia malah sudah kebablasan dalam dunia maya, dunia digital, yang sulit disentuh melalui jalur pendidikan di sekolah dan bangku kuliah karena terlalu merdeka, tapi tak belajar dan terdidik dengan benar.

Cerita Taufiq Ismail

Sebagai cerita, saat saya bercengkerama dengan Sastrawan Taufik Ismail, saya jemput beliau di rumahnya, untuk menuju tempat acara yang saya selenggarakan. Dalam mobil saya bertanya, mengapa pendidikan Indonesia terus terpuruk, terutama penilaian membaca Indonesia dari Unesco atau PISA?

Pak Taufiq saat itu langsung bercerita, bahwa saat dulu beliau sekolah di zaman penjajahan Belanda, sempat merasakan tugas sekolah yang wajib membaca buku minimal 25 buah selama tiga tahun. Itu terjadi hingga batas tahun 1950an.

Tapi, setelah itu Kurikulum Pendidikan Indonesia tak lagi mementingkan humaniora hingga sekarang. Padahal membaca, apalagi sastra, selain menjadikan bertambah ilmu dan wawasan, juga menyisakan karakter budi pekerti pada yang membaca.

Atas cerita pak Taufiq, bisa dibayangkan bagaimana bisa menguasai matematika, bisa menganalisis, bisa mengambil keputusan, bisa bersikap dewasa , cerdas pemikiran dan cerdas emosi, menguasai sains, bisa kreatif-imajinati, bisa inovatif, kalau tidak membaca?

Sudah tak membaca, lebih sering hanya membaca judul, hampir seharian manteng di depan gadget dan hanya sibuk di area yang diminati/sukai, maka apa yang terjadi? Jari-jari lebih lihai mengendalikan gadget dibanding pemikiran cerdas, cermat, yang ada di dalam otak.

Mas Nadiem, bagaimana caranya, menyetop dan mengembalikan masyarakat Indonesia sopan dan beretika di medsos, lalu menjadi masyarakat yang hebat dalam membaca, literasi, matematika, dan sains, khususnya di bangku sekolah untuk peserta didik dan bangku kuliah untuk mahasiswa, sehingga ilmunya maksimal? Tidak minimalis, tapi cerewet dan sok tahu?

Dunia digital adalah dunia Mas Nadiem, jadi, fakta bahwa masyarakat Indonesia otaknya kalah cepat dengan jariya saat di depan layar gadget, terobosannya akan seperti apa? Agar peringkat membaca di Unesco beranjak dari posisi 2 terbawah dunia, dan di peringkat PISA, minimal masuk papan tengah dunia.

Ini yang seharusnya dilakukan serentak di Indonesia dengan solusi yang tepat dan benar. Bukan tiba-tiba serentak bergerak wujudkan merdeka belajar.

Tak usah serentak bergerak wujudkan merdeka belajar, di dunia digital, masyarakat Indonesia malah sudah merdeka ka ka ka, hingga tak ada aturan, tak ada batasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun