Sebagai cerita, saat saya bercengkerama dengan Sastrawan Taufik Ismail, saya jemput beliau di rumahnya, untuk menuju tempat acara yang saya selenggarakan. Dalam mobil saya bertanya, mengapa pendidikan Indonesia terus terpuruk, terutama penilaian membaca Indonesia dari Unesco atau PISA?
Pak Taufiq saat itu langsung bercerita, bahwa saat dulu beliau sekolah di zaman penjajahan Belanda, sempat merasakan tugas sekolah yang wajib membaca buku minimal 25 buah selama tiga tahun. Itu terjadi hingga batas tahun 1950an.
Tapi, setelah itu Kurikulum Pendidikan Indonesia tak lagi mementingkan humaniora hingga sekarang. Padahal membaca, apalagi sastra, selain menjadikan bertambah ilmu dan wawasan, juga menyisakan karakter budi pekerti pada yang membaca.
Atas cerita pak Taufiq, bisa dibayangkan bagaimana bisa menguasai matematika, bisa menganalisis, bisa mengambil keputusan, bisa bersikap dewasa , cerdas pemikiran dan cerdas emosi, menguasai sains, bisa kreatif-imajinati, bisa inovatif, kalau tidak membaca?
Sudah tak membaca, lebih sering hanya membaca judul, hampir seharian manteng di depan gadget dan hanya sibuk di area yang diminati/sukai, maka apa yang terjadi? Jari-jari lebih lihai mengendalikan gadget dibanding pemikiran cerdas, cermat, yang ada di dalam otak.
Mas Nadiem, bagaimana caranya, menyetop dan mengembalikan masyarakat Indonesia sopan dan beretika di medsos, lalu menjadi masyarakat yang hebat dalam membaca, literasi, matematika, dan sains, khususnya di bangku sekolah untuk peserta didik dan bangku kuliah untuk mahasiswa, sehingga ilmunya maksimal? Tidak minimalis, tapi cerewet dan sok tahu?
Dunia digital adalah dunia Mas Nadiem, jadi, fakta bahwa masyarakat Indonesia otaknya kalah cepat dengan jariya saat di depan layar gadget, terobosannya akan seperti apa? Agar peringkat membaca di Unesco beranjak dari posisi 2 terbawah dunia, dan di peringkat PISA, minimal masuk papan tengah dunia.
Ini yang seharusnya dilakukan serentak di Indonesia dengan solusi yang tepat dan benar. Bukan tiba-tiba serentak bergerak wujudkan merdeka belajar.
Tak usah serentak bergerak wujudkan merdeka belajar, di dunia digital, masyarakat Indonesia malah sudah merdeka ka ka ka, hingga tak ada aturan, tak ada batasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H