Atas masalah-masalah tersebut di atas, pendidikan formal terus terpuruk, di SSB pun setali tiga uang. Masyarakat Indonesia boleh saja bangga bahwa SSB telah menjamur di seantero negeri dan nampak semarak dalam setiap kegiatan pembinaan, pelatihan, hingga festival/turnamen/kompetisi. Namun semua itu boleh saya simpulkan semu.
Mengapa semu? Jawabnya sudah saya ulas di berbagai artikel saya sebelumnya hingga saya pun sudah memberikan solusi alternatif pemecahan masalahnya. Tetapi pada kesempatan ini, saya melihat ada hal yang memang sangat vital wajib dilakukan oleh setiap manajemen SSB.
Meski SSB masih belum ada regulasi dan dibiarkan liar, tapi para siswa binaannya sudah dimanfaatkan hasilnya oleh Klub Liga 1 hingga Timnas, ada budaya tak menanam tapi memetik. Maka, siapa pun yang berani-berani mendirikan SSB dan melakukan pembinaan dan pelatihan hingga ikut kompetisi, wajib menyadari bahwa SSB bukan tempat main-main.
Wahai para pendiri, pengurus, pembina, pelatih, orang tua, dan siswa, mengapa SSB bukan tempat main-main? Sebagai wadah nonformal, karena mengakomodasi kata sekolah, maka SSB selama ini terus bermasalah di sektor internal dan ekternal, di luar masalah dibiarkan liar oleh stakeholder terkait.
Secara internal, SSB adalah wadah nonformal yang menampung anak-anak usia dini dan muda (6-16/17 tahun. Usia tersebut adalah saatnya anak-anak membutuhkan asupan pendidikan demi tumbuh kembangnya aspek pedagogi (Kognitif, afektif, psikomotor) anak.Â
Untuk itu, SDM yang seharusnya membina, mendidik, dan melatih mereka adalah yang memiliki keilmuan sesuai standar kebutuhan anak PAUD dan usia muda.
Jadi mulai dari pendiri, pembina, pelatih, dan manajemennya wajib memiliki syarat minimal dan standar untuk mereka dapat berkecimpung dalam wadah SSB.Â
Sebagai wadah pondasi, SSB bukan sekadar tempat latihan bermain bola yang melulu soal teknik dan fisik. Anak-anak usia dini dan muda justru harus kuat dalam asupan teori dan praktik untuk pengembangan intelegensi dan personaliti. Dengan tergarapnya intelegensi dan personaliti anak, maka anak akan cerdas otak dan cerdas emosi yang menjadi dasar anak dapat mengembangkan bakat kemampuan teknik bermain bola dan kuat fisik.
Apakah SSB-SSB yang menjamur di Indonesia, kualifikasi para pembina, pelatih, dan manajemennya sudah sesuai standar tersebut?Â
Di sekolah formal, menjadi guru PAUD saja syaratnya wajib Sarjana (S1). Pendidikannya 4 tahun demi memperoleh ilmu pedagogi yang mumpuni. Dan sekolah formal hingga kini masih gagal dan terpuruk. Bagaimana dengan pembina dan pelatih di SSB? Masyarakat pasti lebih paham dan lebih tahu jawabannya.
Bila masalah standarisasi pembina dan pelatih di SSB ini masih liar dan tak pernah standar, maka SSB hanya sebagai wadah main-main bagi si pendiri, pembina, pelatih, dan manajemennya. Tak amanah sesuai tanggungjawab yang semustinya karena mengelola, membina dan mendidik anak-anak usia dini dan muda sebagai pondasi di bidang sepak bola dan kehidupan nyata.