Sekadar catatan
Drs. Supartono, M.Pd.
(Pengamat Sepak Bola Nasional dan Pendidikan Nasional)
ADA di GRASSROOTS, TETAPI TAK PAHAM GRASSROOTS
Miris, para orangtua siswa plus para pengurus dan pelatihnya di wadah sepak bola grassroots di berbagai event di Indonesia semakin tak malu menunjukkan bahwa dirinya benar-benar tak paham apa dan bagaimana seharusnya pembinaan, pelatihan, festival, turnamen, hingga kompetisi di level grassroots.
Ada juga penyelenggara event festival/turnamen/kompetisi grassroots yang juga tak mengantongi lisensi apa-apa, tapi sok-sok-an bikin event grassroots dan tak paham grassroots.
Sudah tak paham, tak malu pula saat mendukung anaknya atau timnya atau anak didiknya dengan teriakan dari pinggir lapangan agar anaknya atau siswanya terus menggiring bola, bermain spartan, gilas lawan dan teriak kegirangan sambil melecehkan lawan.
Lebih dari itu, ada yang anaknya sampai baku pukul, lalu orang tua dan para pengurus/pelatihnya ikut emosi. Ada orang tua yang protes keputusan wasit. Ada yang menggebu bertanya klasemen hasil kompetisi. Ada yang tanya hasil foto kegiatan kepada panitia. Ada yang tanya mengapa panitia tak siapkan anak gawang yang ambil bola, padahal di event grassroots tak menyediakan petugas itu sesuai tujuannya dan segudang masalah sikap tak santun dan tak etis para orang tua atau pengurus/pelatih.
Sikap arogan mereka semakin menunjukkan bahwa mereka memang tak paham ranah sepak bola grassroots, sudah begitu juga tak sadar saat berkoar di ranah media sosial yang semakin membuktikan bahwa para orang tua ini wajib dieduksi secara konsisten oleh pihak dan stakeholder terkait.
Tak pahamnya orang tua di ranah grassroot semisal bertanya klasemen, marah saat anaknya diperlakukan tidak adil oleh lawan atau wasit. Mengumpat saat timnya kalah. Mengatur pelatih untuk posisi anaknya. Marah bila anaknya kurang waktu bermain apalagi tak dimainkan. Sikap seperti itu juga seiring dengan pelatih level grassroots yang tak paham grassroots seperti terus mencadangkan atau  tak membawa siswa yang yang bukan levelnya ke festival/turnamen/kompetisi.
Wadah mengalir, edukasi macet
Siapa yang wajib mengedukasi dan memberikan pemahaman dasar sepak bola di akar rumput Indonesia kepada para orang tua yang anaknya menjadi siswa di Sekolah Sepak Bola (SSB) atau Akademi Sepak Bola (ASB) atau Diklat Sepak Bola (DSB) dan berperilaku memilukan?
Apakah PSSI Pusat? Atau Asosiasi Provinsi (Asprov)? Atau Asosiasi Kabupaten (Askab)? Atau Asosiasi Kota (Askot)? Atau SSB/ASB/DSB?
Anak-anak usia dini di Indonesia terus lahir dari pasangan-pasangan muda. Begitu seterusnya. Lalu, anak-anak dari para pasangan muda ini tertarik dengan sepak bola.
SSB/ASB/DSB pun terus lahir di Indonesia karena siapa saja yang punya uang, di tambah ambisi dan ego menjadikan mereka dengan mudah mendirikan SSB/ASB/DSB yang juga tak memahi seluk beluk pembinaan pelatihan, keorganisasian, keinstitusian non formal dan  pedagogi yang lekat dengan dunia yang berlabel sekolah/akademi/diklat.
Sekolah/akademi/diklat itu ada standar isi dan mutunya. Harus ada kompetensi-kompetensi di dalamnya.
Sayang ambisi dan ego para orang tua agar anak mereka dapat menjadi pesepak bola handal hingga bisa masuk timnas, bergayung sambut dengan SSB/ASB/DSB yang berdiri tanpa memenuhi syarat yang seharusnya.
Ironisnya, mau sehebat apa SSB/ASB/DSB itu, muara berfestival, berturnamen, dan berkompetisinya pun sama dengan SSB biasa. Semisal di Jabodetabek dan sekitarnya, sama-sama ikut Liga Kompas Gramedia (LGK) yang ada sistem play off dan degradasi. Sama-sama ikut kompetisi Indonesia Junior Soccer League (IJSL) dan Indonesia Junior League (IJL), yang sistemnya berdasarkan penilaian manajemen tim, tak pakai acara degradasi.
Juga sama-sama ikut Liga TopSkor yang semakin ketat dan strata lengkap dengan sistem play off, promosi, dan degradasi.
Setelah itu, anak-anak yang berbakat akan tercium radar Klub Liga 1, kemudian direkrut gratisan dengan iming-iming tampil di Kompetisi Elite Pro Academy (EPA) dan bisa promosi masuk timnas karena telah membela bendera Klub Liga 1.
Di luar ini, ada kompetisi usia dini milik PSSI bernama Piala Suratin, namun hasil kompetisinya selama bertahun-tahun cukup alot menghasilkan pemain muda berkualitas yang dapat masuk timnas. Apa pasalnya? Dapat diungkap biang keroknya dengan diidentifikasi satu persatu akar masalahnya. Namun, detilnya mungkin bisa saya ungkap di bagian tulisan khusus Piala Suratin.
Saat Indra Sjafri membentuk timnas pun sampai harus blusukan di seantero tanah air demi mendapatkan pemain bertalenta dan penuh kualitas macam Evan Dimas dkk.
Mirisnya, liga swasta yang dapat langsung menemukan bibit pemain timnas handal, kini malah coba digembosi dengan akal-akalan seleksi pemain timnas usia muda melalui jalur resmi yaitu Askot/Askab lalu mewakili Asprov. Padahal cara ini selama bertahun-tahun terbukti gagal, sebab publik juga tahu, pada ujungnya siapa pemain di setiap kota/kabupaten yang terpilih mewakili Askot/Askab yang kemudian dikirim ke Asprov. Setali tiga uang, siapa yang akhirnya mewakili Asprov di tingkat nasional juga dapat ditebak.
Entah sampai kapan kemelut dan delima sepak bola nasional ini terus berputar di pusaran masalah yang sama, sebab pengurus PSSI yang seharusnya berkompeten dan ahli di bidang ini sepertinya bukan dijabat oleh personal yang diharapkan publik sepak bola nasional.
Yang pasti, waktu terus berjalan, wadah terus tak terbendung mengalir, anak-anak terus lahir, tapi edukasi macet.
Ini loh grassroots
Benang kusut ranah grassroots di Indonesia akibat dari para orang tua mulai dari para pasangan yang sudah tua maupun masih muda, memasukkan atau anaknya berbaur menjadi satu dalam wadah SSB/ASB/DSB karena direkrut dan diimingi, hingga di dalamnya penuh ambisi, ego, dan arogansi, rasanya akan terus menjadi cerita bak sinetron kejar tayang yang entah akan berakhir di episode berapa? Atau malah akan terus tayang dan tak ada kata akhir.
Mirisnya, masih banyak wadah SSB/ASB/DSB itu sendiri, baik para pemiliknya, pengurusnya, hingga para pelatihnya pun tak paham filosofi, tujuan, dan visi-misi pergelaran sepak bola di usia muda khususnya akar rumput dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggrisnya GRASSROOTS.
Bila merujuk kepada petunjuk FIFA, pola pembinaan dan pelatihannya terbagi masing-masing usia 6-12 tahun (Grassroot), usia 13-15 tahun (Youth Formative Phase), dan usia 16-19 tahun (Youth Final Phase).
Semakin saya amati, dari hari ke hari, tahun ke tahun, khususnya para orang tua yang anaknya menjadi siswa di SSB/ASB/DSB di Indonesia, pun para pengurus dan pelatihnya semakin tak terkendali dalam ambisi dan egonya dalam mengejar prestasi di setiap event festival atau turnamen atau kompetisi.
Kolaborasi antara orang tua dengan pengurus dan pelatih SSB/ASB/DSB dalam ambisi dan egonya plus arogansinya, nampak semakin memberikan pemahaman bahwa mereka memang tak terdidik serta tak paham dalam memahami sepak bola grassroot atau akar rumput (6-12 tahun) dan Youth Formative Phase atau usia muda (13-15 tahun).
Tujuan utama dari program sepakbola akar rumput, grassroot adalah membiarkan sepakbola untuk dimainkankan oleh sebanyak mungkin orang. Cara terbaik untuk menarik para pemain baru ke cabang olahraga ini adalah dengan memberi mereka akses ke sepakbola di dalam lingkungan mereka sendiri tidak peduli soal usia, jenis kelamin, kondisi fisik, warna kulit, agama, atau suku.
Karenanya Grassroots Football adalah sepakbola untuk semua, dimainkan anak laki-laki dan perempuan berusia 6-12 tahun melalui inisiatif sekolah, komunitas, dan klub.
Konsep adalah mengumpulkan orang sebanyak mungkin secara bersama-sama melalui sepakbola. Memfasilitasi pertukaran dan saling berbagi nilai-nilai kemanusiaan, mempromosikan kenyamanan berlatih olahraga yang mengagumkan.
Grassroots football fokus pada aktivitas rekreatif. Namun, bagi sekolah atau klub profesional menerapkan program yang terstruktur untuk berlatih, dengan latihan dan pertandingan, namun tetap bukan untuk prestasi dan mencari kemenangan. Hasil pertandingan hanya untuk bahan evaluasi sesuai progam yang sama sekali jauh dari ambisi, ego, apalagi arogansi.
Grassroots menjadi dasar dan pondasi untuk melihat perkembangan masa depan anak karena di grassroots menjadi kawah candradimuka tempat ditemukannya anak berbakat.
Bagi orang tua pun sejatinya bisa menjadi saksi pribadi saat memasukkan anaknya ke SSB/ASB/DSB di usia akar rumput, bahwa anaknya berbakat atau tidak.
Jelas, di grassroots dapat teridentifikasi calon pemain sepak bola, meski tidak semua pemain muda tersebut akan menjadi bintang di masa depan dan tidak semua mempunyai skill yang dibutuhkan untuk menjadi pemain profesional. Oleh karena itu, sesi pelatihan yang intensif dan taktik yang rumit tidak dibutuhkan dalam grassroots.
Anak-anak di grassroots harus gembira dan harapan menjadi pesepak bola itu mengalir dengan sendirinya. Dan, bermain menjadi alat yang terbaik untuk belajar, anak belajar sepakbola dari bermain sepakbola itu sendiri.
Grassroots wajib ada coach-educator yang kompeten, memiliki kemampuan dan lisensi pelatih yang sesuai. Bila pelatih di grassroots tak kompeten, maka tak boleh mendampingi anak-anak grassroots dan mustahil dapat pula mengedukasi para orang tua yang penuh ambisi, ego, dan arogan.
Pasalnya, dalam grassroots, elemen yang sangat penting adalah membangun hubungan sosial, semangat tim, dan gembira dengan konsep belajar lewat bermain dengan bimbingan coach-educator. Di dalamnya wajib ada pendekatan spesifik yang didesain untuk merangkul anak-anak dan menciptakan proses yang terhubung dengan masa depan.
Karenanya, coach-educator harus dinamis, kompeten di bidangnya, dapat merancang program latihan sederhana, dan memotivasi. Harus selalu menghormati karakter fisik, fisiologis, dan psikologis anak-anak. Jadi, coach-educator ini sama dengan guru di sekolah formal. Di sekolah formal, menjadi guru PAUD saja, syaratnya minimal Sarjana (S1), lho?
Bagaimana keberadaan coach-educator di SSB/ASB/DSB di Indonesia?
Bila persoalan pelatihnya saja masalah, maka masalah yang terus mengalir dalam grassroots di Indonesia adalah pelatih tak mampu dan tak paham grassroots, tak paham karakter fisik, fisiologis, dan psikologis anak, pun mustahil mampu membangun hubungan baik dan tegas kepada orang tua yang ambisius, egois, dan arogan.
Ingat, di level grassroots, anak-anak bukan miniatur orang dewasa, tapi mereka adalah dirinya sendiri, anak dengan segala tingkah laku dan dinamikanya.
Sepakbola grassroots adalah aktivitas rekreatif anak-anak di seluruh dunia, dan menjadi alat luar biasa untuk integrasi sosial dan alat yang menakjubkan untuk berekspresi. Grassroots football menawarkan kesempatan bagi semua anak untuk bermain sepakbola, tanpa diskriminasi, dan tanpa harus menyediakan infrastruktur yang mewah.
Dan seharusnya, grassroots sepak bola juga bekerjasama dan melibatkan semua stakeholders, mulai dari pemerintah, kementerian pendidikan, kementerian olahraga, LSM, komunitas dll.
Sudahkah pembinaan dan pelatihan sepak bola grassroots di Indonesia melalui wadah SSB/ASB/DSB sesuai standar grassroots FIFA? Bagaimana para pelatih SSB/ASB/DSB yang mengampu anak-anak 6-12 tahun sudah sesuai standar coach-educator grassroots?
Hai para orang tua, yang ambisius, egois, dan arogan, berhentilah menciderai grassroots di mana pun Anda berada dan jangan mempermalukan diri Anda sendiri. Yang anaknya terlihat berbakat, jangan kegayaan jadi musafir yang terus melanglang buana ke luar masuk SSB/ASB/DSB hanya karena ambisi, ego, dan arogansi orang tua dan iming-iming.
Bagi orang tua yang anaknya tak berbakat, nikmati kegembiraan anaknya bergabung dengan teman-temannya, tak harus berpikir menjadi pemain sepak bola hebat, namun dapat mengasah karakter, Â fisik, fisiologis, dan psikologis anak hingga sosialisasi kehidupan bermasyarakat. Menjadi tahu teori dan bermain sepak bola yang benar, dan menjadi pondasi untuk masa depan anak di luar sepak bola terutama menjadi manusia yang berbudi pekerti luhur dan rendah hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H