Konsep adalah mengumpulkan orang sebanyak mungkin secara bersama-sama melalui sepakbola. Memfasilitasi pertukaran dan saling berbagi nilai-nilai kemanusiaan, mempromosikan kenyamanan berlatih olahraga yang mengagumkan.
Grassroots football fokus pada aktivitas rekreatif. Namun, bagi sekolah atau klub profesional menerapkan program yang terstruktur untuk berlatih, dengan latihan dan pertandingan, namun tetap bukan untuk prestasi dan mencari kemenangan. Hasil pertandingan hanya untuk bahan evaluasi sesuai progam yang sama sekali jauh dari ambisi, ego, apalagi arogansi.
Grassroots menjadi dasar dan pondasi untuk melihat perkembangan masa depan anak karena di grassroots menjadi kawah candradimuka tempat ditemukannya anak berbakat.
Bagi orang tua pun sejatinya bisa menjadi saksi pribadi saat memasukkan anaknya ke SSB/ASB/DSB di usia akar rumput, bahwa anaknya berbakat atau tidak.
Jelas, di grassroots dapat teridentifikasi calon pemain sepak bola, meski tidak semua pemain muda tersebut akan menjadi bintang di masa depan dan tidak semua mempunyai skill yang dibutuhkan untuk menjadi pemain profesional. Oleh karena itu, sesi pelatihan yang intensif dan taktik yang rumit tidak dibutuhkan dalam grassroots.
Anak-anak di grassroots harus gembira dan harapan menjadi pesepak bola itu mengalir dengan sendirinya. Dan, bermain menjadi alat yang terbaik untuk belajar, anak belajar sepakbola dari bermain sepakbola itu sendiri.
Grassroots wajib ada coach-educator yang kompeten, memiliki kemampuan dan lisensi pelatih yang sesuai. Bila pelatih di grassroots tak kompeten, maka tak boleh mendampingi anak-anak grassroots dan mustahil dapat pula mengedukasi para orang tua yang penuh ambisi, ego, dan arogan.
Pasalnya, dalam grassroots, elemen yang sangat penting adalah membangun hubungan sosial, semangat tim, dan gembira dengan konsep belajar lewat bermain dengan bimbingan coach-educator. Di dalamnya wajib ada pendekatan spesifik yang didesain untuk merangkul anak-anak dan menciptakan proses yang terhubung dengan masa depan.
Karenanya, coach-educator harus dinamis, kompeten di bidangnya, dapat merancang program latihan sederhana, dan memotivasi. Harus selalu menghormati karakter fisik, fisiologis, dan psikologis anak-anak. Jadi, coach-educator ini sama dengan guru di sekolah formal. Di sekolah formal, menjadi guru PAUD saja, syaratnya minimal Sarjana (S1), lho?
Bagaimana keberadaan coach-educator di SSB/ASB/DSB di Indonesia?
Bila persoalan pelatihnya saja masalah, maka masalah yang terus mengalir dalam grassroots di Indonesia adalah pelatih tak mampu dan tak paham grassroots, tak paham karakter fisik, fisiologis, dan psikologis anak, pun mustahil mampu membangun hubungan baik dan tegas kepada orang tua yang ambisius, egois, dan arogan.
Ingat, di level grassroots, anak-anak bukan miniatur orang dewasa, tapi mereka adalah dirinya sendiri, anak dengan segala tingkah laku dan dinamikanya.