Sepanjang tahun 2020, di tengah pandemi Covid-19, berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, bisa ditarik benang merah, penuh dengan berbagai persoalan yang mengerucut kepada dua kata, yaitu nurani dan tirani.
Bagaimana tidak, di saat rakyat bangsa ini yang seharusnya menerima kesejahteraan dan keadilan di usia kemerdekaan yang ke-75, nyatanya boleh dibilang nurani rakyat terus diobok-obok oleh berbagai peraturan, kebijakan, dan ketidakadilan yang terus dipraktikkan oleh pemimpin negeri dengan berbagai dalih.
Bahkan, begitu detik tahun baru 2021 tiba, berbagai peraturan yang memberatkan rakyat sudah menunggu di depan mata. Rasanya, datangnya tahun baru bagi rakyat jelata, tetap saja tak membawa perubahan dalam tingkat kesejahteraan dan keadilan di tanah dan negerinya sendiri.
Terbayang, tahun baru yang seharusnya memiliki harapan baru, nampaknya harapan suram yang akan dilakoni lagi oleh rakyat. Sepanjang tahun 2020, apa pun bentuk suara dan keberatan rakyat atas kebijakan dan peraturan yang dibikin oleh pemerintah yang seharusnya amanah, boleh disebut tak ada satu pun suara yang didengar meski sudah melalui jalur demokrasi. Pun, saat melalui jalur hukum, rakyat jelata juga tak kuasa melawan "petugas" pemerintah.
Kata taipan, cukong, bahkan nyata-nyata disebut oleh pejabat pemerintah maupun elite partai politik, dan ada di negeri ini. Merekalah yang seolah menjadi raja diraja para pemimpin pemerintah pusat dan daerah, karena telah memberikan modal untuk mereka hingga dapat duduk di kursi pemimpin.
Meski, suara rakyat diandalkan demi kursi mereka, namun setelah duduk di kursi, mereka justru wajib membalas budi kepada para taipan, cukong, bukan amanah mensejahterakan rakyat.
Ironisnya, meski kata taipan dan cukong jelas-jelas menjadi pemodal bagi partai politik dan elite partainya, hingga detik ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih membiarkan praktik percukongan dan tak pernah niat menangkap satu pun dari mereka. Padahal jelas, praktik dan delik mereka sudah masuk ranah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
Perlu disadari, apa pun yang sepanjang tahun 2020, bahkan produk kebijakan dan Undang-Undangnya pun akan direalisasikan di tahun 2021, tak ubahnya semua itu sama dengan tindakan tirani.
Hati dan nurani rakyat terus dicabik-cabik. Hanya dimanfaatkan suaranya untuk kursi dan jabatan, namun terus dibikin menderita saat mereka telah duduk di singgasana.
Pahamilah, hati nurani adalah suatu proses kognitif yang menghasilkan perasaan dan pengaitan secara rasional berdasarkan pandangan moral atau sistem nilai seseorang. Hati nurani berbeda dengan emosi atau pikiran yang muncul akibat persepsi indrawi atau refleks secara langsung.
Sehingga, dengan sangat dalam, rakyat jelata sangat terusik, sangat tidak dihargai atas perasaan rasionalnya dan pemahaman moralnya, karena para pemimpin tetap buta dan tuli dari derita rakyat sesuai hati nurani terdalam.
Rakyat jelata sangat paham dan tahu bahwa apa yang dilakukan pemimpin jauh dari memerhatikan perasaan dan moral, karena mereka semua bertindak dan bekerja tidak lagi dengan hati, tapi berlandaskan ambisi karena sudah terlebih dahulu hutang modal dan kepentingan.
Terpenting bagi mereka, sepertinya bagaimana membuat dirinya dan partainya tetap sejahtera, mampu mengembalikan modal dan hutang budi kepada taipan dan cukong, bukan bekerja dan amanah untuk rakyat.
Rasanya, sepanjang 2020, rakyat Indonesia benar-benar tak dapat lepas dari cengkeraman tiran. Ibaratnya sudah jatuh, ditimpa tangga lagi. Di tengah corona, uang rakyat pun jadi bancakan.
Mungkinkah, tiran itu masih akan mencengkeram di 2021, setelah berbagai peristiwa suara rakyat tak didengar di 2020? Akankah luka hati nurani rakyat akan sembuh, karena diobati dan dirawat, lalu disayang? Apakah harapan ini, sekadar utopia? Rasanya ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H