Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bila Politisi Intelek, Terdidik, dan Dekat Sastra

26 Desember 2020   20:54 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:22 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maximilian Weber, sosiolog dan pemikir sosial terkemuka berkebangsaan Jerman, yang pernah mengajukan gagasan menarik tentang karakter politisi, dalam sebuah artikelnya berjudul Politics as Vocation (1958), membedakan antara kualitas karakter politisi yang "hidup dari politik" (leben von politik) dengan politisi yang "hidup untuk politik" (leben fur politik).

Gagasan Weber ini, nampaknya sangat tepat dan aktual untuk peta politik di Indonesia sekarang.

Kini, di depan mata kita ada karakter politisi yang "hidup dari politik". Bagi politisi jenis ini, dunia politik hanyalah tempat persinggahan sementara. Karenanya politisi itu tidak akan mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk bidang di kursi jabatannya. Lebih memperhatikan hal-hal yang menguntungkan dirinya. 

Sehingga jelas tanggung jawab moral, keseriusan dan pengabdian bukan menjadi nilai utama, karena hanya bekerja demi "kepentingan", yaitu self-interest (kepentingan pribadi).

Selain itu, di Indonesia juga ditambah dengan fenomena group-interst (kepentingan kelompok), dan investors-interst (kepentingan pemodal/cukong).

Seharusnya, politisi itu "hidup untuk politik". Jadi, dunia politik bukan sekadar tempat persinggahan, melainkan dunia yang sesungguhnya. Maka, akan mencurahkan segala usaha, tenaga, pikiran dan segala kemampuannya, untuk memuliakan politik. Di sinilah kehormatan seorang pemimpin politik itu.

Politisi yang intelek, terdidik, dekat dengan sastra dalam menjalankan jabatan dan kekuasaannya, tidak menjadikan materi sebagai tujuan dari seluruh kekuasaannya, melainkan nilai-nilai intrinsik etis, yakni pengabdian, ketulusan, keseriusan, kepekaan sosial, rasa tanggung jawab terhadap kepentingan bersama, untuk amanah rakyat, sehingga tak akan ada ungkapan KKN, oligarki, dinasti  hingga kepentingan.

Jadi, bila para politisi intelek, terdidik, dan dekat dengan sastra, betapa indah, tentram, dan sejahteranya rakyat yang tinggal di negeri itu, sebab mereka "hidup untuk politik" bukan "hidup dari politik".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun