Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Bila Politisi Intelek, Terdidik, dan Dekat Sastra

26 Desember 2020   20:54 Diperbarui: 29 Desember 2020   08:22 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari catatan sejarah di berbagai literasi tertulis bahwa para politisi Indonesia zaman masa pergerakan dan awal kemerdekaan disebut sebagai politikus dari genealogi intelektual terdidik. Saya juga sudah menulis artikel menyoal para pemimpin alias politisi yang bersastra di zaman itu.

Mengapa kini kembali saya ungkap menyoal politisi intelektual terdidik dan bersastra? Rasanya, dalam pentas politik sekarang, banyak pihak yang menganggap bahwa rakyat telah "ditipu" mentah-mentah oleh para politisi yang lebih keren disebut elite partai.

Di zaman ini, mereka juga dianggap benar-benar semakin menampakkan diri jauh dari kata intelek terdidik dan bersastra dalam sikap dan perilakunya, sebab keberadaannya tidak lagi atas dasar kepentingan, perasaan, dan amanah rakyat, tapi lebih kepada kolaborasi demi kepentingan mereka sendiri.

Inilah fenomena bahwa nampaknya Indonesia kini, tak lagi didominasi oleh para politisi intelektual terdidik dan dekat dengan sastra seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Tan Malaka dan lainnya.

Pada masa itu perdebatan intelektual ingar-bingar, terutama mengenai ideologi dan strategi pergerakan untuk mencapai kemerdekaan negara dan bangsa Indonesia.

Namun, setelah masa reformasi terlewati, harus diakui, cara berpolitik elite partai yang seharusnya menjadi contoh, panutan, teladan, kini malah membikin rakyat semakin antipati dengan sikap berpolitiknya yang semakin jauh dari cara-cara intelek terdidik dan jauh dari sastra.

Semisal Bung Karno, pada masa sebelum kemerdekaan, banyak menulis gagasan tentang bangsa, kemanusiaan, dan anti-penjajahan. Lalu, Mohammad Hatta, merumuskan soal kepemimpinan (leadership), sebab kewajiban utama seorang pemimpin adalah membaca perasaan rakyat dan memberikan jalan kepada perasaan itu. 

Karenanya, seorang pemimpin harus bisa menangkap persoalan rakyat dari yang terkecil hingga terbesar. Juga mengetahui persoalan yang masih terpendam.

Menurut Bung Hatta, rakyat tak tahu bergerak, sekalipun menanggung penindasan yang keji. Penyebabnya, langkah mereka masih terikat oleh pengetahuan mereka yang masih terbelakang. Dan rakyat hanya mampu berpikir pendek, yaitu bagaimana caranya agar tetap bisa makan sehari-hari dan pasrah pada keputusan Tuhan Yang Maha Kuasa karena terus tertindas.

Parahnya lagi, di zaman rezim yang otoriter, rakyat tak punya ruang untuk bersuara. Rakyat pun tetap dibuat bodoh seperti yang diwariskan penjajah kolonialisme.

Namun, Bung Hatta melihat bahwa rakyat tetap punya kemauan, tujuan, harapan, dan cita-cita. Sebab itu, seorang pemimpin harus bisa membaca perasaan rakyat, menggerakkan massa yang sulit bergerak sendiri, dan menyuluhi jalan pembebasan rakyat yang masih gelap, pemimpin menjadi pengemudi dan membukakan "mata" rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun