Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bansos dan Budaya Mencintai yang Bukan Milik

15 Desember 2020   21:12 Diperbarui: 15 Desember 2020   21:18 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Katanya, bukan karena sebab dikorup, maka bantuan sosial (bansos) sembako akan diubah menjadi tunai. Tapi siapa sebenarnya membuat pintu terbuka dan peluang lebar agar bansos dikorupsi?

Berikut adalah jawaban-jawaban yang barangkali dapat membuka mata hati dan kata hati kita semua menyadari, mengapa siapa pun pemimpinnya, Indonesia akan selalu dekat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), ditambah oligarki dan politik dinasti.

Sehingga, mencintai yang bukan milik, menguasai hak orang lain, menjauhkan yang salah dari jerat hukum karena kolega. Itulah fenomena yang tetap kental di Republik ini. Namun, ketika sudah berbau urusan rakyat dan pihak yang tak memihak, tak ada perhatian apalagi pembelaan. 

Bicara penegakkan hukum dan keadilan, rasanya semakin berujud retorika dan slogan. Bicara korupsi pun, malah terus menjadi komoditi. Bicara Pilkada, sama halnya bicara kursi pesanan.

Khusus untuk bansos yang akan berubah menjadi tunai, sepertinya beberapa pintu juga akan silau dan barangkali akan ambil bagian turut memanfaatkan celah.

Sebab, pemerintah tak akan lagi melanjutkan program bantuan sosial (bansos) sembako Rp 600 ribu per bulan, yang dibagi dalam dua paket Rp 300 ribu per 2 minggu untuk warga khususnya Jabodetabek di tahun 2021.

Bahkan, Menteri Sosial Ad Interim Muhadjir Effendy menegaskan, program tersebut akan digantikan dengan bantuan sosial tunai (BST) di tahun depan.

Kepada awak media di kantor Kemensos, Jakarta, Senin (14/12/2020), Muhadjir mengatakan bahwa khusus untuk Jabodetabek, nanti Bodetabek menggunakan skema BST, sedangkan untuk DKI juga tetap menggunakan BST. Tapi untuk teknisnya masih harus berkoordinasi dengan Pemprov DKI. 

Selain itu, saat ini pemerintah sedang mempertimbangkan untuk menaikkan nominalnya menjadi Rp 300.000 per  keluarga penerima manfaat
(KPM) dari sebelumnya Rp 200.000 per KPM.

Atas rencana ini, Muhadjir pun mengelak dan mengatakan bahwa rogram ini bukan karena sebab kasus korupsi bansos Corona yang dilakukan mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara, tapi sudah direncanakan pemerintah jauh-jauh hari. 

Bahkan, Muhadjir malah membuka kartu bahwa alasan pemerintah menyalurkan bansos sembako untuk warga di Jabodetabek di tahun 2020 untuk memenuhi kebutuhan saat perayaan Idul Fitri lalu, karena sebagian besar yang diberikan itu adalah orang dari luar Jakarta, sehingga berdalih bila bansosnya berbentuk tunai, uangnya itu kemudian dibawa mudik atau untuk mudik.

Sebetulnya alasan yang disampaikan Muhadjir logis, namun bila niat memberi bansos tanpa ada pemikiran lain, mengapa harus berpikir bila diberikan tunai, si penerima akan memandaatkan untuk apa. Seharusmya, hal seperti itu bukan lagi urusan yang memberi (pemerintah).

Namun, gara-gara bansosnya berbentuk sembako, malah menjadi lahan untuk korupsi. Terlebih sangat masuk akal, saat
alasan pemerintah melakukan penunjukan langsung dari vendor penyedia sembakonya, tanpa menggelar tender adalah untuk mempercepat proses penyaluran. Ini seperti akal-akalan saja.

Terlebih saat itu pun Presiden memberikan batas, 5 hari harus bansos sudah wajib tersalur. Jadi, menyoal bansos yang akhirnya dikorupsi ini, sepertinya memang sudah ada skenario. Tidak ada tender, harus tersalur dalam 5 hari. Maka, pantaslah hasil korupsinya puluhan miliar. 

Mungkinkah "otak" korupsi hanya berhenti pada menteri sosial yang notabennya adalah elite dari sebuah partai? Apa tidak ada pihak lain yang turut menjadi sutradara korupsi bansos ini? Rasa tidak mustahil bila korupsi bansos dan korupsi-korupsi lainnya tak ada mata rantai lain yang terlibat.

Kini, meski Muhadjir menyebut bansos akan menjadi tunai bukan program baru gara-gara ada korupsi, nampaknya hanya sekadar kata-kata saja, namun publik pun paham arahnya.

Bila Muhadjir akan meyakini pelaksanaan BST bisa lebih diawasi karena proses penyalurannya tidak dilakukan dengan penunjukan langsung vendor, tapi langsung ditransfer, melalui jasa PT Pos misalnya, apakah yakin penyaluran dana itu betul-betul tepat sasaran dan tidak akan ada pungli lagi?

Bila elite partai dan para pemimpin saja terus meneladani perbuatan korupsi, rasanya diubahnya bansos menjadi tunai pun akan ada pihak yang ikut-ikut korupsi dan bisa jadi, bayak warga masyarakat yang tidak lagi menjadi penerima karena ada akal-akalan lagi.

Susah, bila yang harus menjadi teladan saja masih mencintai yang bukan milik. Masih mau menguasai hak orang lain, maka rakyat di bawah pun tak mau ketinggalan meneladani mencintai dan menguasai bansos yang bukan milik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun