Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilkada di Tengah Musibah, Semoga Rakyat Tetap Dapat Berkah

8 Desember 2020   17:59 Diperbarui: 8 Desember 2020   17:59 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Detik-detik Pemilihan Kepala Daerah (Pilkda) serentak di Indonesia telah sampailah pada waktunya. Pilkada yang identik dengan Pemilihan Umum (Pemilu) dan sebelumnya sangat berkonotasi sebagai "Pesta Rakyat" untuk memilih calon pemimpin dan wakilnya, rasanya kini sudah bergeser tak lagi menjadi pesta rakyat, karena jauh hari sebelum Pilkada digelar, para pemodal alias cukong telah mengambil pesta itu dari rakyat dan membayari dengan sistem "ijon". 

Sehingga, Pilkada kini menjadi "Pesta Cukong" dan pintu menuju derita lagi bagi rakyat dan pemimpin daerah yang terpilih nanti, sebab karena sudah dibiayai, maka pemimpin daerah harus patuh kepada cukong, dan suara rakyat hanya dibutuhkan saat pencoblosan di bilik pemilihan. Setelahnya, rakyat hanya akan menjadi saksi "umbar janji", rakyat pun kelak akan kembali disuguhi drama korupsi, kolusi, dan nepotisme( KKN) lagi, karena para pemimpin daerah akan terjerat lagi pada ikatan kontrak oligarki dan dinasti.

Semua itu tak mustahil terjadi, terlebih bila mengingat apa yang telah diungkap oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang mengatakan hampir 92 persen calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong. 

Bahkan Mahfud pun mengungkap bahwa rata-rata, setelah terpilih nanti, para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut. 

"Di mana-mana, calon-calon itu 92 persen dibiayai oleh cukong dan sesudah terpilih, itu melahirkan korupsi kebijakan," kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan Covid-19 dan Korupsi yang disiarkan melalui kanal Youtube resmi Pusako FH Unand, Jumat (11/9). 

Luar biasa, belum lagi Pilkada serentak digelae pada Rabu, 9 Desember 2020 dan akan dilaksankan di 270 daerah, dengan rincian sembilan provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten, rakyat sudah dibukakan pintu mata dan hatinya, bahwa Pilkada ini hanya sekadar formalitas.

Bila Mahfud mwnyebut ada lebih dari 92 persen calon kepala daerah yang dibiayai cukong, maka bila dihitung 92 persen saja yang sudah menerima dana dari cukong, maka ada sekitar 248 daerah yang telah dibeli. Sisanya, 22 daerah yang aman. 

Namun, dalam perjalanannya, karena Mahfud menyebut dibiayai cukong pada Jumat (11/9/2020), maka bukan mustahil, 22 calon kepala daerah lainnya pun kini sudah dibiayai cukong. Artinya, 100 persen calon kepala daerah sudah mustahil akan berdaulat dan amanah kepada rakyat. Sebaliknya akan berjuang sekuat daya mewujudkan timbal baliknya kepada para cukong.

Dengan demikian jelas, Pilkada itu pesta siapa? Makanya, dengan berbagai alasan yang dilogiskan, meski dalam pandemi corona dan ditentang rakyat, Presiden Jokowi pun tak bergeming. Pilkada yang kali ini juga menjadi sejarah dinasti politik bagi keluarganya, wajib tetap digulirkan.

Akibatnya, demi mengamankan Pilkada, dengan alasan corona, berbagai kegiatab yang menyangkut hajat hidup rakyat pun dicekal, termasuk kompetisi sepak bola nasional yang menjadi gantungan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.

Bila dalam hitungan jam Pilkada sudah tinggal kick off, dan masih ada yang membicarakan dan mengaitkan Pilkada dengan kasus Covid-19 di Indonesia yang belum mereda, rasanya percuma.

Meski demikian, kini berbagai pihak juga sedang menunggu bukti bagaimana kasus corona setelah Pilkada, pasalnya berlangsungya Pilkada di saat penambahan kasus baru corona masih tinggi, dan terbukti tanpa Pilkada saja beberapa daerah kewalahan.

Apakah yakin pemerintah dan penyelenggara pemilu sudah siap mengantisipasi munculnya kerumunan yang berpotensi menjadi medium penularan Covid-19, klaster baru?

Sudah begitu, berbagai pihak juga sangat kawatir bila Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak dapat mendeteksi pasien Covid-19 maupun petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang ternyata OTG. 

Yang pasti, risiko Pilkada terhadap ancaman baru klaster corona di depan mata. Dan, Pilkada kali ini pun hanya sekadar melayani cukong. Rakyat hanya dijadikan alat untuk mencoblos suara dan korban politik "mereka".

Selamat datang "Pesta Cukong" dalam Pilkada bersejarah di tengah pandemi Covid-19 2020, demi oligarki dan dinasti politik.

Namun begitu, rakyat masih boleh bermimpi dan berharap tak menderita usai Pilkada, meski kecil kemungkinannya. Yah, di tengah musibah, usai Pilkada rakyat tetap berharap dapat berkah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun