Budaya nyinyir dan mencuit di media sosial (medsos) khususnya di Twitter terus merajalela di dunia dan Indonesia.Ironisnya, urusan nyinyir dan mencuit ini, kini justru membudaya dilakukan oleh para tokoh seperti pemimpin bangsa di dunia, pejabat publik, elite partai di parlemen, elite partai di pemerintahan, hingga para politikus di partai politik yang berpengaruh.
Lalu, apa tujuan mereka nyinyir dan mencuit di medsos bernama Twitter? Sebab, rata-rata dari mereka bergelut dalam dunia politik, maka semua nyinyiran dan cuitannya tentu dilakukan dengan maksud untuk kepentingan politik dan kepentingan pribadi para tokoh dan pejabat tersebut dalam lingkup pergulatan hidupnya, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak yang didukungnya sesuai dengan konten nyinyir dan cuitannya untuk disebar, dipublikasikan, demi mendapat respon atau dukungan atau malah demi memancing suasana psikologis lawan politiknya dan pihak yang berseberangan dan tak sejalan.
Sehingga, kini banyak kita temukan contoh-contoh nyinyir dan cuitan yang cenderung kental dengan konten yang memancing, memanasi, dan provokatif. Terlebih bila nyinyiran dan cuitan dilakukan oleh seorang tokoh atau pejabat publik.
Nyinyiran yang maknanya sesuai KBBI adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan, nyenyeh, cerewet dan cuitan yang berarti menyentuh dengan ujung jari, menggamit, kini lebih dipahami sebagai sentuhan dengan ujung jari sewaktu berseloroh, memberi memberi isyarat, berkomentar, mengkritik  dan lainnya, khususnya di medsos bernama Twitter.
Setop mencuit yang nyinyir
Dari semua hal yang saya paparkan tersebut, dapat dikatakan antara nyinyir dan mencuit adalah satu paket dan kini lebih bertendensi sebagai kegiatan yang konotasinya negatif dan bukan menjadi hal yang patut ditiru, dicontoh, dan diteladani.Â
Pasalnya, nyinyiran yang ditampilkan dalam cuitan di Twitter, atau cuitan yang berisi nyinyiran khususnya dari para tokoh dan pejabat publik, hingga saat ini terus menjadi asal mula perseteruan dan konflik di Republik ini.
Mirisnya, media massa baik cetak mau pun online, televisi, hingga medsos, kini justru menjadikan cuitan sebagai sumber utama berita. Tak pelak, semua media kini sangat menanti-nanti setiap cuitan tokoh dan pejabat publik sebagai bahan berita untuk dikutip. Lalu, menjadi bahan gorengan sesuai kepentingan media bersangkutan demi rating dan viewers atau sesuai pesanan pihak yang membiayai.
Oleh karenanya, kini masyarakat dan berbagai pihak juga sudah sangat prihatin dan resah atas budaya mencuit para tokoh dan pejabat publik, yang justru tidak membikin nyaman suasana, sebaliknya malah menambah keruh suasana dari akibat cuitannya karena media massa dan masyarakat bebas memaknai yang bisa jadi tak sesuai maksud dan tujuan dari si pencuit.
Atas kondisi ini, dalam webiner Sabtu (21/11/2020), Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyebut, kemajuan teknologi masa kini khususnya perangkat berbasis internet dan sosial media telah membuat seluruh negara dunia merasa perlu menciptakan aturan kehidupan di dunia maya. Pasalnya, dampak penggunaanya dapat secara instan mempengaruhi keutuhan sebuah negeri.
Apa yang diungkap Hadi memang kini sudah menjadi fakta. Medsos telah dimanfaatkan sebagai media propaganda, media perang urat syaraf. Media untuk perang informasi atau pun perang psikologi dan kini kita mengenal ada hastag, ada tranding topic.
Masifnya propaganda melalui medsos, khususnya Twitter karena dilakukan oleh para tokoh dan pejabat publik di tanah air, sangat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Masyarakat pun jadi ikutan terbudaya mencuit penyebaran berita bohong atau hoaks yang mendiskreditkan pihak tertentu, kelompok tertentu, Â pemerintah, dan pihak lain yang berseberangan dengan sasaran utama menciptkan opini negatif pihak tertentu di benak pikiran dan hati masyarakat awam serta generasi muda agar terbakar emosinya.
Semua itu kini bukannya di cegah, namun justru semakin masif dan subur, sehingga medsos menjadi sarang mencuit hal-hal provokatif dan mengeksploitasi isu-isu seperti SARA, penistaan tokoh masyarakat, tokoh agama, perlakuan etnis tertentu, atau pun kasus rasisme.
Untuk itu, melalui tulisan ini, secara pribadi saya mengetuk hati Bapak Mahfud MD, yang juga sangat hobi mencuit di Twitter, dan setiap cuitannya pasti akan trending dan menjadi bahan gorengan berita media massa yang membikin suasana tambah tak nyaman.
Mahfud MD selaku mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), dikenal masyarakat sebagai tokoh politikus yang tegas dan karismatik.
Kini di NKRI, berposisi menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), dan cukup aktif sebagai pengguna medso, terutama Twitter. Sebab cukup aktif memberikan postingan atau cuitab, ditambah dengan sosoknya yang memang terkenal, menjadikannya memiliki banyak pengikut di Twitter.
Tak dapat dipungkiri, cuitan-cuitan di akunnya pun selalu menyorot perhatian dan menjadi topik perbincangan serta menimbulkan berbagai reaksi di kalangan Netizen.
Sudah tak terhitung Mahmud MD mencuit di akun Twitternya sebelum dan sesudah menjabat sebagai Menkopolhukam, dan hampir setiap cuitannya, pasti menimbulkan reaksi dan menjadi santapan empuk media massa untuk mengulik dan menggorengnya hingga ujungnya tercipta polemik baru.
Sikap Mahfud sebagai pejabat pemerintahan yang aktif mencuit ini, sungguh banyak disesalkan oleh netizen. Seharusnya, tokoh sekelas Mahfud MD dan sesuai jabatannya kini, Â justru menjadi penyejuk bagi NKRI. Berbicaralah di ruang-ruang yang resmi dan menyegarkan, bukan mencuit di medsos.
Coba, simak apa cuitan terbaru Mahfud MD yang diunggah hari Minggu, 1 November 2020? Mahfud mencuit perihal kehancuran bangsa dan penegakan keadilan di mata hukum.
Tentu, cuitan ini pun langsung trending dan menjadi bahan gorengan media massa dan terus menjadi pertanyaan netizen atau masyarakat. Haruskah seorang Menkopolhukam bicara hal yang penting hanya sekadar dalam cuitan?
Seperti apa yang diungkap oleh Hadi bahwa medsos telah dimanfaatkan sebagai media propaganda, media perang urat syaraf. Media untuk perang informasi atau pun perang psikologi dan provokasi, maka sudah saatnya Mahfud MD mengurangi atau bahkan menyetop budaya mencuit yang menimbulkan polemik.Â
Bahkan, Bapak Mahfud MD justru menjadi orang nomor satu yang menghimbau dan menyetop agar para tokoh dan pejabat publik tidak mencuit di Twitter menyoal hal yang ujungnya membahayakan disintegrasi bangsa, bukan malah menjadi "kompor".
Yang pasti, masyarakat hingga saat ini justru sangat terganggu oleh cuitan para pejabat dan tokoh publik, para influenser dan buzzer, serta media massa yang tidak membikin suasana nyaman.
Siapa yang sewajibnya menjadi contoh? Yakin Bapak Mahfud MD, sebagai Menkopolhukam mampu menjadi panutan bagi para tokoh masyarkat dan pejabat publik lainnya, serta teladan bagi masyarakat.
Mari, mencuitlah pada hal-hal yang membuat masyarakat tereduktif, menjadi cerdas, meningkat rasa memiliki NKRI, menjadi militan, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Bukan mencuit hal-hal yang timbulkan perseteruan, permusuhan, perpecahan, polemik dan polemik hingga disintegrasi bangsa terus menganga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H