Rakyat akan terus sebagai atas nama karena yang diberikan kuasa justru bertindak menguasai karena telah terjerat janji dan kontrak yang wajib dipenuhi kepada pihak yang "memodali".
Pada akhirnya, inilah yang harus diterima oleh rakyat seluruh negeri, bila tak bijak memilih dan dibuat terus menengadahkan tangan untuk terpaksa terus mau disuapi. Karena itulah politik orang-orang yang ahli dan berjiwa menguasai bukan menjaga, melindungi, mengayomi, dan mensejahterai.
Atas apa yang kini terus terjadi, siapa di bumi pertiwi ini yang wajib merefleksi diri dan tahu diri? Apa rakyatnya? Atau para partai politik penguasa negeri, elite partai yang duduk di parlemen dan pemerintahan?
Pemerintahan kedua Jokowi masih panjang. Tapi resistensi dan gesekan terus terjadi. Satu masalah belum selesai. Timbul masalah lain. Masalah lain belum kelar, muncul perseteruan baru. Perseteruan baru belum usai, timbul kisruh lain. Dan, semua itu terjadi seolah bagai simponi, yang memang sengaja dicipta demi pengalihan isu.
Mengapa pengalihan isu? Masih banyaknya rakyat NKRI yang belum mengenyam bangku pendidikan, di situlah dimanfaatkan untuk menghembuskan opini. Lalu, para petugas "survei" pun turun demi "melayani" mereka , kemudian memberikan cerita berdasarkan data versinya, dan melaporkan ini sikap dan pendapat rakyat. Pokoknya semua bekerja pada fungsinya dengan manis dan sebut-sebut atas nama rakyat.
Sekali lagi, masih panjang kekuasaan di negeri ini. Semoga milenial dan rakyat terus sabar dengan semua yang terus dibagi oleh yang dipercaya menguasa meski akhirnya menguasai. Sabar, sabar, sabar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H