Memahami perseteruan tak berujung di Indonesia di ranah politik yang terus disemai oleh partai politik dan para elite partainya yang duduk di parlemen maupun pemerintahan hingga pandemi corona juga jadi kendaraan untuk berseteru, saya jadi teringat nasihat bijak Khalifah Ali Bin Abi Thalib.
Lihat saja, khususnya pesoalan PSBB total di DKI Jakarta yang berupaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 sesuai amanat Presiden terbaru "kesehatan adalah kunci menyelesaikan Covid-19", Â ternyata Presiden pun tak setuju dengan cara DKI. Sebelum Presiden mengungkap tak setujunya atas kebijakan pemimpin DKI, bahkan sejumlah menterinya dan para elite partai penduknynya, beejamaah menghujat pemimpin DKI.
Tak berhenti di situ, Â
Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) Airlangga Hartarto yang juga menghujat keras pemimpin DKI, menyatakan ada sederet perintah dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Senin (14/9/2020).
"Oleh karena itu, presiden meminta dalam dua minggu ini dikoordinasikan dan dikonsentrasi lebih khusus di delapan wilayah yang terdampak lebih besar kenaikannya. Dan menugaskan Wakil Ketua KPCPEN Pak Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) dan Ketua Satgas Covid-19 untuk memonitor dan sekaligus melakukan evaluasi," kata Airlangga, seperti saya kutip dari viva.co.id, Senin (14/9/2020).
Rupanya, kini Bapak LBP diturunkan dari Istana untuk melanjutkan pengawasan yang sejatinya khusus ditujukan untuk DKI. Sebab, masyarakat sudah sangat paham jejak dan tradisi Istana untuk hal-hal politik semacam ini.
Lebih dari itu, kini di berbagai kolom komentar setiap artikel terkait, khususnya di media online, apakah akun-akun yang berkomentar merupakan akun asli atau akun anomim yang sengaja dicipta yaitu para buzzer, terus berkeliaran dan terus saling menghujat.Â
Pertanyaannya lagi, apakah media-media yang menayangkan berita yang sudah pasti akan menjadi bahan komentar juga benar-benar media independen atau memang juga media yang sudah disusupi buzzer, karena setiap menanyangkan berita, judulnya saja sudah dibuat sedemikan rupa agar ada "efek".
Jadi, saya melihat, kini Indonesia sudah benar-benar dalam kondisi sangat memprihatinkan, karena orang-orang berakal, berilmu, cerdas, bahkan duduk menjadi pemimpin dan wakil rakyat, terus bersikap seperti orang bodoh.
Sebab itulah apa yang diungkap Khalifah Ali menjadi aktual khususnya untuk NKRI.
"Janganlah menasehati orang yang bodoh karena  dia akan membencimu. Nasehatilah orang yang berakal karena dia akan mencintaimu" (Ali Bin Abi Thalib)
Kutipan kalimat bijak Khalifah Ali ini, tak lekang oleh waktu, aktual sepajang masa, tetap dapat menjadi petuah untuk setiap orang dalam menjalani aktivitas kehidupannya di dunia.Â
Meski dalam praktiknya, tetap saja kalimat bijak yang saya sebut petuah itu, tetap sering dilupa oleh orang karena lebih dikuasai oleh hafa nafsu, yang mengalahkan akal sehat dan cerdasnya.
Sejak petuah bijak Khalifah Ali ini ada, banyak akademisi dan praktisi bahasa yang telah membahas dalam berbagai kesempatan menyoal sebutan orang bodoh itu seperti apa.
Saya kutip dari perkarahati.com (27/2/2019), sebutan bodoh ini lekat dengan pengertian jahilun, bukan dalam artian kemampuan akademis seseorang yang minim sehingga disebut bodoh. Makna bodoh atau jahilun lebih mengacu kepada orang yang selalu benar sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang ada sesuai tuntunan dan ajaran agama.Jadi, mereka bersikap bodoh karena hawa nafsu duniawi, meski sejatinya berakal, berilmu, cerdas.
Bila mau didekatkan dengan kondisi Indonesia terkini, mungkin nasihat Khalifah Ali inilah analogi yang paling tepat.
Perseteruan dan permusuhan terus terjadi dan malah terus dicipta oleh "kelompok" yang kini juga sudah dipahami rakyat. Namun, tatkala mereka diingatkan dan dinasihati, alih-alih dapat simpati dan terima kasih, sebaliknya kelompok orang-orang itu justru tersinggung dan malah menyerang balik. Begitu seterusnya.
Inilah yang kini sangat aktual terjadi di negeri kita, dipenuhi orang-orang bodoh dalam kategori jahilun, bukan bodoh seseuai arti KBBI, yaitu tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan dan tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman).
Kendati rakyat Indonesia masih banyak tertinggal dalam dunia pendidikan, pun masih ada yang bodoh (KBBI) karena belum dapat kesempatan mengenyam bangku sekolah, tetap saja orang bodoh jahilun masih lebih sangat menguasai Indonesia terkini.
Terus dipenuhi orang-orang yang menganggap dunia itu kekal. Tidak puas dengan apa yang sudah didapatnya. Kebodohannya semakin nampak karena tipuan-tipuannya dapat terbaca dan lebih mengedepankan hawa nafsunya menyesatkan. Tidak dapat membedakan lagi duduk dan menjabat sebagai apa, Â mana teman dan mana musuh. Yang dipikirkan hanya kekuasaan, tahta, dan harta.
Bila diidentifikasi lagi, kelompok orang-orang ini juga seperti sengaja menunjukkan kebodohannya karena hawa nafsunya karena selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya. Selalu mencari kambing hitam.
Kemudian, mereka juga merasa paling benar, sepanjang waktu, meski perbuatan salahnya sudah terbaca. Namun, karena sedang memegang kekuasaan, maka hanya superiornya yang cenderung ditonjoklan guna menekan lawan.
Lebih parah, kini apa yang terus terjadi di Indonesia sangat persis dengan definisi bodoh jahilun, penuh hawa nafsu, maka mereka selalu bereaksi terhadap konflik dengan kemarahan. Membuat kebijakan pun tak hanya memihak untuk kelompoknya.
Kelompok ini pun tak henti mengabaikan kebutuhan dan perasaan orang lain. Jauh dari empati, simpati, berbesar hati, dan rendah hati.Â
Dan, yang paling parah, kelompok ini pun
merasa lebih benar dan lebih baik dari siapapun.Â
Semoga apa yang saya ungkap tersebut adalah salah. Sehingga, bangsa dan negara ini memang dipenuhi orang-orang yang berakal sejati, sehingga saat diberikan kritik, saran, masukan, dan nasihat akan tambah mencintai, bukan sebaliknya tambah membenci.Â
Bila apa yang saya ungkap benar, apakah seperti dalam kisah sinetron, orang-orang bodoh jahilun ini harus dapat hidayah dulu dari Allah, sehingga mereka akan sadar dan bertobat?
Namun, berharap kisah nyata ini tiba-tiba terjadi seperti dalam kisah sinetron, rasanya mustahil. Tentu untuk membuat orang-orang bertobat, tidak lagi dirasuki hawa nafsu kekuasaan, tahta, dan harta, tidak akan semudah membalik telapak tangan karena akan sangat dipengaruhi oleh kadar keimanannya.
Sementara periode kekuasaan di negeri ini masih lama akan berakhir. Saat periode kekuasaan berakhir pun, estafet kekuasaan masih ingin dipegang dan dilanggengkan dan kini terus "dipersiapkan".
Mungkin nasib rakyat Indonesia memang harus terus seperti kondisi sekarang. Menderita sebelum corona dan tambah menderita setelah Covid-19 datang. Jauh dari amanat Pembukaan UUD 1945.
Terus dijajah oleh anak bangsa sendiri yang "dibiayai" karena hawa nafsu duniawi lebih diutamakan.Â
Indonesia yang "Gemah ripah loh jinawi" pun terus menjadi sekadar negeri dongeng bagi rakyat, dan siapa sebenarnya yang terus menguasai dan menikmati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H