Meski dalam praktiknya, tetap saja kalimat bijak yang saya sebut petuah itu, tetap sering dilupa oleh orang karena lebih dikuasai oleh hafa nafsu, yang mengalahkan akal sehat dan cerdasnya.
Sejak petuah bijak Khalifah Ali ini ada, banyak akademisi dan praktisi bahasa yang telah membahas dalam berbagai kesempatan menyoal sebutan orang bodoh itu seperti apa.
Saya kutip dari perkarahati.com (27/2/2019), sebutan bodoh ini lekat dengan pengertian jahilun, bukan dalam artian kemampuan akademis seseorang yang minim sehingga disebut bodoh. Makna bodoh atau jahilun lebih mengacu kepada orang yang selalu benar sendiri dan tidak mau menerima kebenaran yang ada sesuai tuntunan dan ajaran agama.Jadi, mereka bersikap bodoh karena hawa nafsu duniawi, meski sejatinya berakal, berilmu, cerdas.
Bila mau didekatkan dengan kondisi Indonesia terkini, mungkin nasihat Khalifah Ali inilah analogi yang paling tepat.
Perseteruan dan permusuhan terus terjadi dan malah terus dicipta oleh "kelompok" yang kini juga sudah dipahami rakyat. Namun, tatkala mereka diingatkan dan dinasihati, alih-alih dapat simpati dan terima kasih, sebaliknya kelompok orang-orang itu justru tersinggung dan malah menyerang balik. Begitu seterusnya.
Inilah yang kini sangat aktual terjadi di negeri kita, dipenuhi orang-orang bodoh dalam kategori jahilun, bukan bodoh seseuai arti KBBI, yaitu tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan dan tidak memiliki pengetahuan (pendidikan, pengalaman).
Kendati rakyat Indonesia masih banyak tertinggal dalam dunia pendidikan, pun masih ada yang bodoh (KBBI) karena belum dapat kesempatan mengenyam bangku sekolah, tetap saja orang bodoh jahilun masih lebih sangat menguasai Indonesia terkini.
Terus dipenuhi orang-orang yang menganggap dunia itu kekal. Tidak puas dengan apa yang sudah didapatnya. Kebodohannya semakin nampak karena tipuan-tipuannya dapat terbaca dan lebih mengedepankan hawa nafsunya menyesatkan. Tidak dapat membedakan lagi duduk dan menjabat sebagai apa, Â mana teman dan mana musuh. Yang dipikirkan hanya kekuasaan, tahta, dan harta.
Bila diidentifikasi lagi, kelompok orang-orang ini juga seperti sengaja menunjukkan kebodohannya karena hawa nafsunya karena selalu menyalahkan orang lain atas kesalahan yang diperbuatnya. Selalu mencari kambing hitam.
Kemudian, mereka juga merasa paling benar, sepanjang waktu, meski perbuatan salahnya sudah terbaca. Namun, karena sedang memegang kekuasaan, maka hanya superiornya yang cenderung ditonjoklan guna menekan lawan.
Lebih parah, kini apa yang terus terjadi di Indonesia sangat persis dengan definisi bodoh jahilun, penuh hawa nafsu, maka mereka selalu bereaksi terhadap konflik dengan kemarahan. Membuat kebijakan pun tak hanya memihak untuk kelompoknya.