Dan Anda tahu berapa jumlah halaman di edisi perdana itu?Â
Sudah 128 halaman. Hebat! Jumlah halaman yang masih lebih banyak dari jumlah halaman di Intisari era sekarang. Intisari yang sekarang dikomandani Mahandis Yoanata Thamrin, sebagai Editor in Chief, kian menipis saja. Cuma sekitar 114 halaman.
majalah Intisari hanya dicetak dengan oplah 11.000. Namun, kemudian terus berkembang. Bahkan pernah mencapai 350.000 eksemplar per edisi. Suatu pencapaian fantastis untuk sebuah majalah bulanan.
Dikutip dari situs Gramedia.com, pada awalnya,Akan tetapi, semuanya telah berubah di era digital seperti sekarang. Suatu masa yang begitu sulit bagi media cetak manapun untuk survive. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia. Dan di tengah badai ini, Intisari ternyata masih tetap bertahan. Suatu perjuangan yang layak diacungi jempol.Â
Majalah Intisari sejatinya telah banyak memberikan sumbangsih bagi pembacanya di Indonesia. Berbagai informasi dan referensi cerdas selalu disajikan di setiap edisinya. Dan di tengah tantangan zaman serta disrupsi digital, Intisari masih terus berusaha menyapa pembacanya. Tentunya sambil terus beradaptasi.
Lihat saja tampilan Intisari dalam beberapa edisi terakhir. Sekalipun sudah tua, Intisari masih berusaha tampil muda dan menarik. Fokus konten pun telah berubah. Tidak lagi variatif seperti dulu. Tetapi, lebih fokus pada satu tema besar. Seperti edisi Februari 2023 yang mengulas habis tentang "Riwayat Berbangsa Etnis Tionghoa".
Strategi ini kabarnya sudah diterapkan setidaknya dalam dua tahun terakhir. Satu tema besar dengan sudut pandangan beragam. Jadilah Intisari mulai menyasar segmen pasar khusus. Pembaca yang tidak sekedar membaca, tapi juga berhasrat mengoleksinya. Dan Intisari memang pantas menjadi koleksi berharga!
Bagaimanapun juga, jika ada rubrik khas yang paling dirindukan dari Intisari era doeloe, tidak lain tentang cerita perjalanan. Bahkan cerita perjalanan sudah mendapat tempat sejak awal terbitnya Intisari. Beberapa nama kondang tercatat pernah membagikan kisah perjalanannya di Intisari.
Cerita perjalanan memang termasuk langka di masa itu. Berbeda dengan era sekarang, ketika makin banyak saja wisatawan asal Indonesia yang bisa bepergian ke mana-mana. Termasuk berkelana ala backpacker ke mancanegara. Di masa lalu, tidak demikian. Sarana transportasi masih sangat terbatas. Biaya perjalanan pun sulit dijangkau. Dan belum banyak destinasi wisata yang dikenal luas.
Namun, di antara sedikit orang Indonesia yang bisa bepergian kala itu, tersebutlah nama H.O.K. Tanzil. Guru besar Mikrobiologi di Universitas Indonesia itu kabarnya sudah gemar melakukan perjalanan sejak tahun 1975. Dan semua catatan perjalanan itu dituangkan dalam artikel perjalanan yang menarik di Intisari.Â