Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sudah Bayar Mahal, tapi "Disuruh" Jalan Kaki

14 Oktober 2022   10:56 Diperbarui: 20 Oktober 2022   18:46 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan kaki membuatku bisa melihat sisi lain dari sebuah kota. | Sumber: Dokumentasi pribadi

Orang Indonesia paling malas jalan kaki? Boleh jadi tidak semuanya sependapat. Tetapi, labelling seperti ini memang bisa dimengerti. Bukan semata hasil sebuah riset dari Stanford University yang menghebohkan itu. Tetapi, setidaknya begitulah pengalaman sendiri kala mengantar berbagai grup wisatawan Indonesia ke berbagai kota di dunia.

Sebuah riset dari Stanford University pernah membuat banyak pihak tersengat. Siapa yang suka jika dikatakan sebagai bangsa yang paling malas berjalan kaki di dunia. Apalagi riset itu pun sebetulnya hanya berdasarkan data yang diambil dari ponsel pintar.

Sebagian besar ponsel pintar saat ini memang dilengkapi akselerometer yang dapat merekam aktivitas langkah kaki pemiliknya. Dan ilmuwan dari universitas ternama itu kabarnya mengumpulkan data hingga 700 ribu orang yang menggunakan aplikasi pemantauan aktivitas Argus.

Alhasil, hasil riset itu pun banyak dipertanyakan. Jangan-jangan hanya menyasar masyarakat urban yang memang minim jalan kaki. Dari para pemilik ponsel pintar nan mahal itu. 

Soalnya, berbeda dengan di kota-kota besar, jalan kaki sudah menjadi bagian dari keseharian banyak penduduk di pedesaan. Ke mana-mana lebih sering berjalan kaki. 

Warga desa sudah terbiasa jalan kaki ke mana-mana. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Warga desa sudah terbiasa jalan kaki ke mana-mana. | Sumber: Dokumentasi pribadi

Betapapun, tidak ada salahnya menyimak hasil riset universitas terkenal dari California, AS itu. Setidaknya, itu memang menggambarkan kebiasaan sebagian masyarakat kita. Tidak hanya ketika di negeri sendiri, tetapi kala bepergian pun sebisa mungkin tidak terlalu banyak berjalan kaki. :)

Singkatnya, berdasarkan data yang dianalisis, ditemukanlah jumlah rata-rata langkah kaki secara global adalah 4,961/hari. Suatu angka yang masih sangat jauh di bawah jumlah langkah kaki yang umumnya direkomendasikan, yakni antara 8,000--10,000 langkah kaki per hari.

Warga Hong Kong-China dikenal sangat suka jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi
Warga Hong Kong-China dikenal sangat suka jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi

Nah, menariknya, dari hasil riset ini, warga Hong Kong disebut sebagai yang paling aktif berjalan kaki di dunia. Tercatat 6,880 langkah kaki per hari. Hongkongers (orang Hong Kong) memang sangat suka berjalan kaki. Dan jalannya pun sangat cepat. Sementara itu, berdasarkan kategori per negara, China menempati posisi pertama dengan 6,189 langkah kaki.

Bagaimana dengan Indonesia? 

Sayang sekali, kita hanya menempati ranking terbawah alias bangsa yang disebut sebagai yang paling sedikit berjalan kaki. Sebabnya, rata-rata orang Indonesia hanya melakukan 3,513 langkah kaki per hari! Hm, kebanyakan mager ya. Lebih jelasnya, silakan perhatikan tabel "The World's Most and Least Active Countries"

Daftar Negara yang paling aktif dan tidak aktif jalan kaki. Sumber: statista/www.forbes.com
Daftar Negara yang paling aktif dan tidak aktif jalan kaki. Sumber: statista/www.forbes.com

Soal anggapan orang Indonesia enggan berjalan kaki memang tidak sepenuhnya salah. Seperti tergambar dalam sebuah pengalaman sendiri ketika singgah di kota Bruges- Belgia beberapa tahun lalu. Walking City Tour di kota abad pertengahan itu mestinya menjanjikan suatu petualangan menarik. Tetapi, ternyata tidak semua peserta tur antusias. 

Pasalnya, seperti dihampir semua kota tua lain di Eropa, kami harus berjalan kaki cukup jauh. Bus wisata memang hanya bisa mendekat sampai Bargeplein, sedikit di pinggir kota tua. Sekitar 2.5 km dari Market Square yang berada di jantung kota tua Bruges.

"Jadi kami harus berjalan ke Market Square?", tanya seseorang. "Berapa lama jalan ke sana?", timpal yang lain. 

Begitulah, pertanyaan seperti itu kerap muncul setiap kali diajak jalan kaki. Dan pengalaman yang sama terjadi ketika mengajak wisata jalan kaki di kota tua lainnya. Misalnya, di Praha- Ceko, dan lain-lain.

Wisata jalan kaki di kota tua Praha- Ceko. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Wisata jalan kaki di kota tua Praha- Ceko. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Memang sangat berbeda dengan orang Hong Kong atau Jepang yang sudah terbiasa berjalan kaki ke mana-mana. Dari rumah ke stasiun kereta. Lalu berjalan kaki lagi sekian blok menuju kantornya. Eh, Jepang tetiba mengingatkan kembali sebuah pengalaman lucu di Osaka bertahun-tahun silam.

Suatu kali kala mengikuti sebuah pertemuan di Osaka, staf agen yang mengundangku mengatakan, "Tonny san, I'll pick you up tonight for dinner". Wow, asyik dijemput. Saya pun membayangkan dia bakal datang dengan sebuah mobil untuk menjemputku. Ternyata tidak kawan! 

Dia datang berjalan kaki saja. Dan saya pun "dijemput" dengan berjalan kaki menuju restoran yang letaknya lumayan jauh juga. Jauh bagiku, tapi tentu saja tidak baginya. Bagi mereka jarak sekitar 2-3 km sama sekali tidak dirasakan jauh. Bagaimana dengan kita? Boleh jadi langsung memesan Uber. :)

Warga negara Sakura memang suka jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi
Warga negara Sakura memang suka jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi
Jika pengalaman wisata jalan kaki di Bruges tadi dianggap cukup jauh, saya masih bisa mengerti. Tetapi, bagaimana mungkin sebuah jarak yang hanya sekitar 700-an meter pun dianggap jauh. Dan itulah yang pernah saya hadapi ketika mengajak sebuah grup makan malam di sebuah restoran Thailand yang kebetulan terletak di jalan kecil. 

Restoran Thai yang kami tuju memang berada di sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilewati mobil. Bus besar jelas tidak bisa masuk. Namun, restoran ini sebetulnya tidak jauh. Hanya sekitar 750 meter dari sebuah toko duty free yang terletak di Boulevard Haussman- Paris. Dan kebetulan kami sudah ada di toko tersebut. 

Dalam kesempatan lain, menggunakan bus terkadang membuat perjalanan lebih jauh karena harus melewati jalan memutar. Berbeda dengan berjalan kaki yang bisa langsung ke titik lokasi melewati rute terpendek. "Tetapi, bukankah bus sudah disewa mahal? Kenapa harus sering berjalan kaki," bisik angin yang berlalu. :)

Mau ke sini? Tidak ada jalan lain selain jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi
Mau ke sini? Tidak ada jalan lain selain jalan kaki.| Sumber: Dokumentasi pribadi

Akan tetapi, tentu saja tidak semuanya seperti itu. Banyak juga peserta tur yang senang diajak blusukan menyusuri jalan-jalan kecil bak labirin di kota-kota tua. Seperti ketika membawa grup memasuki kota tua di Florence. Jalan kaki yang cukup jauh dari stasiun kereta menuju Piazza del Duomo, Piazza della Signoria, sampai Piazza Santa Croce. Semuanya happy!

Berbeda dengan sebagian wisatawan Indonesia, turis asal Eropa, misalnya, sangat suka mengikuti wisata jalan kaki. Jalan kaki sejatinya merupakan cara terbaik untuk lebih mengenal sebuah kota. Anda tidak hanya sekadar berfoto di depan sebuah objek wisata, tetapi akan lebih mengenal kota itu di sepanjang jalan menuju objek wisata yang dituju.

Jalan kaki membuatku bisa melihat sisi lain dari sebuah kota. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Jalan kaki membuatku bisa melihat sisi lain dari sebuah kota. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Dalam sebuah perjalanan lain di kota Roma, saya mengikuti persis rute "Baroque Tour" yang berdurasi sekitar 3 jam. Tur itu memang cukup jauh. Diawali dari Piazza San Pietro ke Castel San't Angelo. Lalu lanjut ke Piazza Navona. Terus berturut-turut ke Pantheon, Trevi Fountain dan Spanish Steps. Dan akhirnya berujung di Piazza del Popolo.

Panjang rute sekitar 4 km. Cukup jauh, bukan? Namun, tur ini sebetulnya singgah di setiap objek terkenal itu. Baik untuk penjelasan dari local guide maupun kesempatan yang diberikan untuk memotret. Tetapi, ketika diterapkan ke grup wisatawan Indonesia, rute ini terpaksa dipangkas menjadi hanya setengah perjalanan saja.

Piazza Navona - Roma. Salah satu spot untuk wisata jalan kaki. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Piazza Navona - Roma. Salah satu spot untuk wisata jalan kaki. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Wisata jalan kaki yang dilakukan di musim semi yang sejuk saja sudah membuat banyak peserta tercecer di sepanjang jalan. Tidak terbayangkan jika berlangsung di musim panas yang menyengat. Jangan-jangan semuanya malah berhenti di kedai gelato. Dan jangan kaget jika ada yang mengeluh, "Sudah bayar tur mahal-mahal, tetapi disuruh jalan kaki.". Hahaha.

Meskipun demikian, keengganan sebagian masyarakat kita untuk berjalan kaki tetap saja tidak bisa serta merta disebut malas. Pun kala dikaitkan dengan kebiasaan sebagian wisatawan yang lebih suka 'hemat energi'. Boleh jadi mereka hanya lebih suka jalan santai. Pelan-pelan, tidak harus bergegas ala orang Hong Kong. :)

Orang China yang suka jalan kaki. Sebuah foto di Hangzhou. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Orang China yang suka jalan kaki. Sebuah foto di Hangzhou. | Sumber: Dokumentasi pribadi

Lalu apakah saya sendiri suka berjalan kaki? Tentu saja. Sewaktu ke Yogyakarta beberapa bulan lalu, sedikitnya 5-6 kali saya bolak-balik menyusuri kawasan Malioboro. Dari stasiun Tugu sampai Titik Nol Kilometer. Begitupun ketika terakhir kali ke Georgetown di Penang, hampir setiap hari saya jelajahi kota itu dengan berjalan kaki.

Jangan berpikir jalan kaki hanya membuat tubuh sehat. Kalau itu, semuanya sudah tahu. Tetapi, lebih dari itu, ketika bepergian ke sebuah kota tua, Anda hanya akan mengenal roh kota itu ketika menyusurinya dengan berjalan kaki. Berbagai kejutan menyenangkan bisa Anda temukan hanya dengan berjalan kaki.

Suasana di sebuah alun-alun di Roma. | Sumber: Dokumentasi pribadi
Suasana di sebuah alun-alun di Roma. | Sumber: Dokumentasi pribadi

Mungkin sebuah kedai kopi lokal yang tersembunyi. Beberapa sapaan ramah dari warga lokal kala berpapasan. Singgah di sebuah pasar setempat. Ada toko bunga yang cantik. Duduk sejenak di bangku jalan. Ikut menikmati gaya seniman jalanan. Dan sejuta warna-warni kota yang membuat sebuah perjalanan lebih bermakna.

***

Kelapa Gading, 14 Oktober 2022

Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2

Catatan: Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun