Orang Indonesia paling malas jalan kaki? Boleh jadi tidak semuanya sependapat. Tetapi, labelling seperti ini memang bisa dimengerti. Bukan semata hasil sebuah riset dari Stanford University yang menghebohkan itu. Tetapi, setidaknya begitulah pengalaman sendiri kala mengantar berbagai grup wisatawan Indonesia ke berbagai kota di dunia.
Sebuah riset dari Stanford University pernah membuat banyak pihak tersengat. Siapa yang suka jika dikatakan sebagai bangsa yang paling malas berjalan kaki di dunia. Apalagi riset itu pun sebetulnya hanya berdasarkan data yang diambil dari ponsel pintar.
Sebagian besar ponsel pintar saat ini memang dilengkapi akselerometer yang dapat merekam aktivitas langkah kaki pemiliknya. Dan ilmuwan dari universitas ternama itu kabarnya mengumpulkan data hingga 700 ribu orang yang menggunakan aplikasi pemantauan aktivitas Argus.
Alhasil, hasil riset itu pun banyak dipertanyakan. Jangan-jangan hanya menyasar masyarakat urban yang memang minim jalan kaki. Dari para pemilik ponsel pintar nan mahal itu.Â
Soalnya, berbeda dengan di kota-kota besar, jalan kaki sudah menjadi bagian dari keseharian banyak penduduk di pedesaan. Ke mana-mana lebih sering berjalan kaki.Â
Betapapun, tidak ada salahnya menyimak hasil riset universitas terkenal dari California, AS itu. Setidaknya, itu memang menggambarkan kebiasaan sebagian masyarakat kita. Tidak hanya ketika di negeri sendiri, tetapi kala bepergian pun sebisa mungkin tidak terlalu banyak berjalan kaki. :)
Singkatnya, berdasarkan data yang dianalisis, ditemukanlah jumlah rata-rata langkah kaki secara global adalah 4,961/hari. Suatu angka yang masih sangat jauh di bawah jumlah langkah kaki yang umumnya direkomendasikan, yakni antara 8,000--10,000 langkah kaki per hari.
Nah, menariknya, dari hasil riset ini, warga Hong Kong disebut sebagai yang paling aktif berjalan kaki di dunia. Tercatat 6,880 langkah kaki per hari. Hongkongers (orang Hong Kong) memang sangat suka berjalan kaki. Dan jalannya pun sangat cepat. Sementara itu, berdasarkan kategori per negara, China menempati posisi pertama dengan 6,189 langkah kaki.
Bagaimana dengan Indonesia?Â
Sayang sekali, kita hanya menempati ranking terbawah alias bangsa yang disebut sebagai yang paling sedikit berjalan kaki. Sebabnya, rata-rata orang Indonesia hanya melakukan 3,513 langkah kaki per hari! Hm, kebanyakan mager ya. Lebih jelasnya, silakan perhatikan tabel "The World's Most and Least Active Countries"
Soal anggapan orang Indonesia enggan berjalan kaki memang tidak sepenuhnya salah. Seperti tergambar dalam sebuah pengalaman sendiri ketika singgah di kota Bruges- Belgia beberapa tahun lalu. Walking City Tour di kota abad pertengahan itu mestinya menjanjikan suatu petualangan menarik. Tetapi, ternyata tidak semua peserta tur antusias.Â
Pasalnya, seperti dihampir semua kota tua lain di Eropa, kami harus berjalan kaki cukup jauh. Bus wisata memang hanya bisa mendekat sampai Bargeplein, sedikit di pinggir kota tua. Sekitar 2.5 km dari Market Square yang berada di jantung kota tua Bruges.
"Jadi kami harus berjalan ke Market Square?", tanya seseorang. "Berapa lama jalan ke sana?", timpal yang lain.Â
Begitulah, pertanyaan seperti itu kerap muncul setiap kali diajak jalan kaki. Dan pengalaman yang sama terjadi ketika mengajak wisata jalan kaki di kota tua lainnya. Misalnya, di Praha- Ceko, dan lain-lain.
Suatu kali kala mengikuti sebuah pertemuan di Osaka, staf agen yang mengundangku mengatakan, "Tonny san, I'll pick you up tonight for dinner". Wow, asyik dijemput. Saya pun membayangkan dia bakal datang dengan sebuah mobil untuk menjemputku. Ternyata tidak kawan!Â
Dia datang berjalan kaki saja. Dan saya pun "dijemput" dengan berjalan kaki menuju restoran yang letaknya lumayan jauh juga. Jauh bagiku, tapi tentu saja tidak baginya. Bagi mereka jarak sekitar 2-3 km sama sekali tidak dirasakan jauh. Bagaimana dengan kita? Boleh jadi langsung memesan Uber. :)
Restoran Thai yang kami tuju memang berada di sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilewati mobil. Bus besar jelas tidak bisa masuk. Namun, restoran ini sebetulnya tidak jauh. Hanya sekitar 750 meter dari sebuah toko duty free yang terletak di Boulevard Haussman- Paris. Dan kebetulan kami sudah ada di toko tersebut.Â
Dalam kesempatan lain, menggunakan bus terkadang membuat perjalanan lebih jauh karena harus melewati jalan memutar. Berbeda dengan berjalan kaki yang bisa langsung ke titik lokasi melewati rute terpendek. "Tetapi, bukankah bus sudah disewa mahal? Kenapa harus sering berjalan kaki,"Â bisik angin yang berlalu. :)
Akan tetapi, tentu saja tidak semuanya seperti itu. Banyak juga peserta tur yang senang diajak blusukan menyusuri jalan-jalan kecil bak labirin di kota-kota tua. Seperti ketika membawa grup memasuki kota tua di Florence. Jalan kaki yang cukup jauh dari stasiun kereta menuju Piazza del Duomo, Piazza della Signoria, sampai Piazza Santa Croce. Semuanya happy!
Berbeda dengan sebagian wisatawan Indonesia, turis asal Eropa, misalnya, sangat suka mengikuti wisata jalan kaki. Jalan kaki sejatinya merupakan cara terbaik untuk lebih mengenal sebuah kota. Anda tidak hanya sekadar berfoto di depan sebuah objek wisata, tetapi akan lebih mengenal kota itu di sepanjang jalan menuju objek wisata yang dituju.
Panjang rute sekitar 4 km. Cukup jauh, bukan? Namun, tur ini sebetulnya singgah di setiap objek terkenal itu. Baik untuk penjelasan dari local guide maupun kesempatan yang diberikan untuk memotret. Tetapi, ketika diterapkan ke grup wisatawan Indonesia, rute ini terpaksa dipangkas menjadi hanya setengah perjalanan saja.
Meskipun demikian, keengganan sebagian masyarakat kita untuk berjalan kaki tetap saja tidak bisa serta merta disebut malas. Pun kala dikaitkan dengan kebiasaan sebagian wisatawan yang lebih suka 'hemat energi'. Boleh jadi mereka hanya lebih suka jalan santai. Pelan-pelan, tidak harus bergegas ala orang Hong Kong. :)
Lalu apakah saya sendiri suka berjalan kaki? Tentu saja. Sewaktu ke Yogyakarta beberapa bulan lalu, sedikitnya 5-6 kali saya bolak-balik menyusuri kawasan Malioboro. Dari stasiun Tugu sampai Titik Nol Kilometer. Begitupun ketika terakhir kali ke Georgetown di Penang, hampir setiap hari saya jelajahi kota itu dengan berjalan kaki.
Jangan berpikir jalan kaki hanya membuat tubuh sehat. Kalau itu, semuanya sudah tahu. Tetapi, lebih dari itu, ketika bepergian ke sebuah kota tua, Anda hanya akan mengenal roh kota itu ketika menyusurinya dengan berjalan kaki. Berbagai kejutan menyenangkan bisa Anda temukan hanya dengan berjalan kaki.
Mungkin sebuah kedai kopi lokal yang tersembunyi. Beberapa sapaan ramah dari warga lokal kala berpapasan. Singgah di sebuah pasar setempat. Ada toko bunga yang cantik. Duduk sejenak di bangku jalan. Ikut menikmati gaya seniman jalanan. Dan sejuta warna-warni kota yang membuat sebuah perjalanan lebih bermakna.
***
Kelapa Gading, 14 Oktober 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI