Restoran Thai yang kami tuju memang berada di sebuah jalan sempit yang hanya bisa dilewati mobil. Bus besar jelas tidak bisa masuk. Namun, restoran ini sebetulnya tidak jauh. Hanya sekitar 750 meter dari sebuah toko duty free yang terletak di Boulevard Haussman- Paris. Dan kebetulan kami sudah ada di toko tersebut.Â
Dalam kesempatan lain, menggunakan bus terkadang membuat perjalanan lebih jauh karena harus melewati jalan memutar. Berbeda dengan berjalan kaki yang bisa langsung ke titik lokasi melewati rute terpendek. "Tetapi, bukankah bus sudah disewa mahal? Kenapa harus sering berjalan kaki,"Â bisik angin yang berlalu. :)
Akan tetapi, tentu saja tidak semuanya seperti itu. Banyak juga peserta tur yang senang diajak blusukan menyusuri jalan-jalan kecil bak labirin di kota-kota tua. Seperti ketika membawa grup memasuki kota tua di Florence. Jalan kaki yang cukup jauh dari stasiun kereta menuju Piazza del Duomo, Piazza della Signoria, sampai Piazza Santa Croce. Semuanya happy!
Berbeda dengan sebagian wisatawan Indonesia, turis asal Eropa, misalnya, sangat suka mengikuti wisata jalan kaki. Jalan kaki sejatinya merupakan cara terbaik untuk lebih mengenal sebuah kota. Anda tidak hanya sekadar berfoto di depan sebuah objek wisata, tetapi akan lebih mengenal kota itu di sepanjang jalan menuju objek wisata yang dituju.
Dalam sebuah perjalanan lain di kota Roma, saya mengikuti persis rute "Baroque Tour" yang berdurasi sekitar 3 jam. Tur itu memang cukup jauh. Diawali dari Piazza San Pietro ke Castel San't Angelo. Lalu lanjut ke Piazza Navona. Terus berturut-turut ke Pantheon, Trevi Fountain dan Spanish Steps. Dan akhirnya berujung di Piazza del Popolo.
Panjang rute sekitar 4 km. Cukup jauh, bukan? Namun, tur ini sebetulnya singgah di setiap objek terkenal itu. Baik untuk penjelasan dari local guide maupun kesempatan yang diberikan untuk memotret. Tetapi, ketika diterapkan ke grup wisatawan Indonesia, rute ini terpaksa dipangkas menjadi hanya setengah perjalanan saja.
Wisata jalan kaki yang dilakukan di musim semi yang sejuk saja sudah membuat banyak peserta tercecer di sepanjang jalan. Tidak terbayangkan jika berlangsung di musim panas yang menyengat. Jangan-jangan semuanya malah berhenti di kedai gelato. Dan jangan kaget jika ada yang mengeluh, "Sudah bayar tur mahal-mahal, tetapi disuruh jalan kaki.". Hahaha.
Meskipun demikian, keengganan sebagian masyarakat kita untuk berjalan kaki tetap saja tidak bisa serta merta disebut malas. Pun kala dikaitkan dengan kebiasaan sebagian wisatawan yang lebih suka 'hemat energi'. Boleh jadi mereka hanya lebih suka jalan santai. Pelan-pelan, tidak harus bergegas ala orang Hong Kong. :)
Lalu apakah saya sendiri suka berjalan kaki? Tentu saja. Sewaktu ke Yogyakarta beberapa bulan lalu, sedikitnya 5-6 kali saya bolak-balik menyusuri kawasan Malioboro. Dari stasiun Tugu sampai Titik Nol Kilometer. Begitupun ketika terakhir kali ke Georgetown di Penang, hampir setiap hari saya jelajahi kota itu dengan berjalan kaki.