Urusan antre ternyata bisa menjadi isu nasional. Setidaknya, itu yang terjadi di London beberapa waktu lalu. Gegara dituduh melakukan 'Jump the queue' atau memotong antrean panjang saat melayat jenazah Ratu Elizabeth II di Westminster Hall, dua presenter terkenal dari ITV, yakni Phillip Schofield dan Holly Willoughby pun menuai hujatan.Â
Pasalnya, selebritas sekaliber David Beckham dan Ozzy Osbourne saja tidak mau memanfaatkan ketenaran mereka untuk mendapatkan dispensasi. Dan bersama ribuan warga Inggris lainnya, mereka rela mengantre hingga lebih dari 12 jam demi melihat jenazah sang ratu.Â
Budaya antre sejatinya telah lama mengakar dalam kehidupan keseharian di Inggris. Jadi terang saja, banyak yang marah ketika ada yang nekat melewati antrean.Â
Sebuah julukan khusus pun disematkan bagi penyusup seperti itu, yakni "Queue-Jumper". Predikat yang dianggap sangat memalukan di negeri itu.
Tidak itu saja. Seseorang dalam antrean boleh saja ke luar dari garis tunggu. Bisa ke toilet ataupun duduk sejenak di sudut lain. Lalu ketika kembali dia berhak mengklaim posisinya tadi. Persis di belakang orang yang tadi berdiri di depannya. Dan itulah yang pernah saya alami kala sedang mengantre di depan Casa Batllo, sebuah bangunan terkenal karya Antoni Gaudi di Barcelona.
Bangunan indah karya arsitek Catalan ternama itu memang sedang ramai didatangi pengunjung kala itu. Antrean panjang pun tidak terhindarkan. Di saat itulah, tetiba seseorang menyelinap masuk di tengah antrean.Â
Beberapa orang sudah hendak berseru, "Come on!, Antre dong!". Namun, seakan mengerti keadaan, seorang pengunjung lain pun menjelaskan bahwa 'penyusup' itu tadinya sudah ikut antre di situ. Oh, gitu ya....
Gaya antrean ala Spanyol itulah yang disebut "La Vez" yang secara harafiah berarti "waktu". Namun, di Spanyol, kata itu bermakna lebih jauh dari itu, yakni "a way of queuing"Â atau suatu cara mengantre yang lebih fleksibel. Dan tidak harus dalam satu baris antrean yang kaku. Selain itu, juga memungkinkan seseorang untuk ke luar antrean lalu kembali lagi.
Bukan hanya di Spanyol, di negeri pizza Italia pun demikian. Ketika hendak memesan secangkir espresso di depan konter Antigua Tazzadoro, sebuah kedai kopi ternama di dekat Pantheon, Rome, seorang Senorita dengan dandanan aduhai tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan memesan duluan.
Eh, bukankah seharusnya saya yang berhak memesan terlebih dahulu. Namun, bagaimana bisa mengeluh, ketika Nona cantik itu menoleh sambil menyapa dengan manis, "Buongiorno!".Â
Seketika saya pun melupakan makna definisi sebuah antrean. Lagipula, saya masih bisa memesan espresso. Hanya selisih beberapa menit kemudian. No problema!Â
Beberapa pengunjung yang sepertinya dari Eropa Timur yang awalnya berada di belakang kami, beberapa saat kemudian sudah tampak sekian meter di depan. Wow, sungguh sakti mandraguna!
Boleh jadi grup kami yang memang terlalu asyik sendiri. Sibuk swafoto tiada henti dan rajin bersenda gurau. Lalu sejenak melupakan barisan sendiri. Alhasil, kami pun disalib kelompok lain. Tapi tidak ada yang mempersoalkan hal-hal seperti itu. Lagipula semuanya mau masuk ke gereja, jadi lupakan saja. :) Â
Ihwal antre-mengantre ini terkadang bukan soal rebutan posisi di barisan terdepan. Namun, di sebagian negara, mereka hanya tidak mau terlalu memusingkannya. Apalagi di negara yang penduduknya sedikit. Dan kurang lebih seperti itulah pengalaman berbeda yang saya temui kala berkunjung ke Swiss.
Swiss adalah sebuah negara kecil nan indah di Eropa Barat. Dengan jumlah penduduk yang hanya 8.6 juta, maka sejatinya kita tidak akan melihat banyak antrean di negara itu. Tentu saja, kecuali di kota-kota besar seperti Zurich dan Jenewa. Dan itupun lebih terlihat di objek-objek wisata yang dipadati wisatawan di puncak musim liburan.
Rasanya memang sedikit lebih bebas. Boleh berdiri sesuka hati. Misalnya, di perhentian bus, di platform kereta dan seterusnya. Dan ketika waktunya tiba, semuanya tetap bisa naik tanpa perlu berebutan. Lalu apakah bangsa Swiss tidak menghargai budaya antre? Tidak demikian juga. Kata seorang pejalan lain, "It's just their way of life!".
Dari banyak negara-negara di Asia, saya selalu terkagum-kagum dengan budaya antre di Jepang. Bukan hanya taat antre, tetapi hebatnya, warga Negeri Sakura itu selalu membentuk barisan antrean dengan sangat baik dan rapi. Pantas saja banyak yang menyebut bentuk antrean di Jepang sudah seperti sebuah seni saja.
"Queuing in Japan is an art form", begitu kata orang. Dan lebih dari itu, orang Jepang sangat mengagungkan budaya antre. Ketika mereka berdiri di garis antrean itu, mereka seakan begitu menikmati kesendiriannya. Sambil membaca buku atau membuka gadget masing-masing. Tidak ada suara apapun. Semuanya dilakukan dalam diam yang panjang. Hingga bus atau kereta yang ditunggu tiba.
Masyarakat Jepang memang dikenal sangat disiplin. Selalu antre dengan sabar dan teratur di mana-mana. Di stasiun kereta yang sibuk, misalnya, penumpang yang hendak naik akan selalu berdiri di sisi kiri dan kanan di depan pintu kereta yang terbuka. Lalu menunggu hingga penumpang terakhir turun baru mereka masuk.Â
Hampir tidak pernah terlihat ada yang nekat menyerobot naik ketika masih ada penumpang yang hendak ke luar dari kereta. Bagi mereka, perilaku seperti itu, yakni menyerobot masuk, bisa jadi dianggap memalukan. Haik, wakarimashita!
Sikap disiplin dalam soal antre ini bisa dilihat di berbagai tempat. Di halte bus, stand taxi, dan sebagainya. Seakan sudah menjadi bagian keseharian hidup mereka. Bahkan wisatawan Indonesia yang ke Singapore pun akhirnya segan dan ikut antre. Padahal ketika di negeri sendiri.... ah, sudahlah. Dan jika ada yang melanggar antrean, siap-siap saja diperingati, "Queue up!".
Di China, misalnya, masih banyak penduduknya belum disiplin dalam hal mengantre untuk suatu layanan. Perilaku seperti itu pun kerap terbawa-bawa ketika wisatawan dari negeri Tirai Bambu berwisata ke mancanegara
Dan itu pula yang ikut dikhawatirkan Pemerintah China. Bagaimana pun juga, perilaku tidak terpuji yang dibawa wisatawan negeri itu akan berdampak pada citra China di mata dunia. Sebuah negara yang sudah makin maju, tetapi masyarakatnya sama sekali tidak menghargai budaya antre di negeri lain.
Alhasil, pada tahun 2013 silam, China's National Tourism Administration pun menerbitkan sebuah buku panduan bagi wisatawan China berjudul "Guidebook to Civilised Tourism". Buku setebal 64 halaman itu berisi semacam "Dos and Don'ts" (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) yang harus diperhatikan selama berwisata ke luar negeri.
Lalu apa saja isi buku itu? Sangat menarik. Isinya dimulai dari himbauan untuk ikut menjaga kebersihan lingkungan; berpakaian yang pantas; tidak  berbicara dengan suara keras; ramah terhadap orang tua dan anak-anak; selalu tepat waktu; hingga ikut antrean di manapun.
Lalu apakah kita perlu meniru cara Inggris? Ataukah bikin panduan berperilaku yang baik ala China? Tentu saja, jangan dulu bayangkan bisa seperti bangsa Jepang. Â
Budaya antre seyogianya sudah ditanamkan jauh sejak di bangku sekolah. Pun di semua lingkungan di sekitar kita. Siapapun harus membiasakan diri ikut mengantre. Baik untuk suatu layanan umum, hendak naik bus, turun dari pesawat, dan sebagainya. Tanpa terkecuali.
Langit Jakarta disapu mendung tebal di Selasa sore kemarin. Di sebuah persimpangan jalan menuju ke Kelapa Gading, lampu merah baru sedetik berganti hijau, tapi klakson mobil di belakang langsung menyalak dengan kencang. Sementara itu, puluhan pesepeda motor dari sisi lain terus merangsek maju. Jauh dari batas garis berhenti di sisinya.Â
Hm, budaya antre memang masih akan melalui jalan yang sangat panjang di negeri ini...
***
Kelapa Gading, 5 Oktober 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua sumber foto yang digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI