Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Belajar Antre di Garis Tunggu

5 Oktober 2022   10:47 Diperbarui: 7 Oktober 2022   12:45 844
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antrian di Apple store-Orchard, Singapore. Sumber: Bryan van der Beek/Getty Image /www.fortune.com

Urusan antre ternyata bisa menjadi isu nasional. Setidaknya, itu yang terjadi di London beberapa waktu lalu. Gegara dituduh melakukan 'Jump the queue' atau memotong antrean panjang saat melayat jenazah Ratu Elizabeth II di Westminster Hall, dua presenter terkenal dari ITV, yakni Phillip Schofield dan Holly Willoughby pun menuai hujatan. 

Antrean satu baris di depan Istana Buckingham. Sumber: Alamy/ www.bbc.com
Antrean satu baris di depan Istana Buckingham. Sumber: Alamy/ www.bbc.com
Kasus itu memang cukup menyedot perhatian publik di negara yang budaya antre sudah begitu melekat. 

Pasalnya, selebritas sekaliber David Beckham dan Ozzy Osbourne saja tidak mau memanfaatkan ketenaran mereka untuk mendapatkan dispensasi. Dan bersama ribuan warga Inggris lainnya, mereka rela mengantre hingga lebih dari 12 jam demi melihat jenazah sang ratu. 

Budaya antre sejatinya telah lama mengakar dalam kehidupan keseharian di Inggris. Jadi terang saja, banyak yang marah ketika ada yang nekat melewati antrean. 

Sebuah julukan khusus pun disematkan bagi penyusup seperti itu, yakni "Queue-Jumper". Predikat yang dianggap sangat memalukan di negeri itu.

David Beckham pun ikut antrean. Sumber: Avalon/ www.metro.co.uk
David Beckham pun ikut antrean. Sumber: Avalon/ www.metro.co.uk
Lain di Inggris, lain pula di Spanyol. Meskipun penduduk Negeri Matador itu pun sejatinya menghargai sebuah antrean. Tetapi, gaya antre mereka agak berbeda. Tidak dalam formasi sebaris, tetapi terlihat bak bergerombol saja. Dan kebiasaan itu menyebabkan pengantre berikutnya cukup kesulitan. Dia harus mencari tahu siapa pengantre terakhir di kelompok itu sebelum mengambil posisi di belakangnya.

Tidak itu saja. Seseorang dalam antrean boleh saja ke luar dari garis tunggu. Bisa ke toilet ataupun duduk sejenak di sudut lain. Lalu ketika kembali dia berhak mengklaim posisinya tadi. Persis di belakang orang yang tadi berdiri di depannya. Dan itulah yang pernah saya alami kala sedang mengantre di depan Casa Batllo, sebuah bangunan terkenal karya Antoni Gaudi di Barcelona.

Antrean yang cukup membingungkan di Spanyol. Sumber: www.acrossthewater.blog
Antrean yang cukup membingungkan di Spanyol. Sumber: www.acrossthewater.blog

Bangunan indah karya arsitek Catalan ternama itu memang sedang ramai didatangi pengunjung kala itu. Antrean panjang pun tidak terhindarkan. Di saat itulah, tetiba seseorang menyelinap masuk di tengah antrean. 

Beberapa orang sudah hendak berseru, "Come on!, Antre dong!". Namun, seakan mengerti keadaan, seorang pengunjung lain pun menjelaskan bahwa 'penyusup' itu tadinya sudah ikut antre di situ. Oh, gitu ya....

Gaya antrean ala Spanyol itulah yang disebut "La Vez" yang secara harafiah berarti "waktu". Namun, di Spanyol, kata itu bermakna lebih jauh dari itu, yakni "a way of queuing" atau suatu cara mengantre yang lebih fleksibel. Dan tidak harus dalam satu baris antrean yang kaku. Selain itu, juga memungkinkan seseorang untuk ke luar antrean lalu kembali lagi.

Bukan hanya di Spanyol, di negeri pizza Italia pun demikian. Ketika hendak memesan secangkir espresso di depan konter Antigua Tazzadoro, sebuah kedai kopi ternama di dekat Pantheon, Rome, seorang Senorita dengan dandanan aduhai tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan memesan duluan.

Eh, bukankah seharusnya saya yang berhak memesan terlebih dahulu. Namun, bagaimana bisa mengeluh, ketika Nona cantik itu menoleh sambil menyapa dengan manis, "Buongiorno!". 

Seketika saya pun melupakan makna definisi sebuah antrean. Lagipula, saya masih bisa memesan espresso. Hanya selisih beberapa menit kemudian. No problema! 

Antrean pengunjung di Basilika Santo Petrus di Vatikan. Sumber: dokumentasi pribadi
Antrean pengunjung di Basilika Santo Petrus di Vatikan. Sumber: dokumentasi pribadi
Pelompat antrean bisa terjadi di mana-mana. Tidak terkecuali ketika sedang mengantre masuk ke Basilika Santo Petrus di Vatikan. 

Beberapa pengunjung yang sepertinya dari Eropa Timur yang awalnya berada di belakang kami, beberapa saat kemudian sudah tampak sekian meter di depan. Wow, sungguh sakti mandraguna!

Boleh jadi grup kami yang memang terlalu asyik sendiri. Sibuk swafoto tiada henti dan rajin bersenda gurau. Lalu sejenak melupakan barisan sendiri. Alhasil, kami pun disalib kelompok lain. Tapi tidak ada yang mempersoalkan hal-hal seperti itu. Lagipula semuanya mau masuk ke gereja, jadi lupakan saja. :)  

Ihwal antre-mengantre ini terkadang bukan soal rebutan posisi di barisan terdepan. Namun, di sebagian negara, mereka hanya tidak mau terlalu memusingkannya. Apalagi di negara yang penduduknya sedikit. Dan kurang lebih seperti itulah pengalaman berbeda yang saya temui kala berkunjung ke Swiss.

Swiss adalah sebuah negara kecil nan indah di Eropa Barat. Dengan jumlah penduduk yang hanya 8.6 juta, maka sejatinya kita tidak akan melihat banyak antrean di negara itu. Tentu saja, kecuali di kota-kota besar seperti Zurich dan Jenewa. Dan itupun lebih terlihat di objek-objek wisata yang dipadati wisatawan di puncak musim liburan.

Rumah-rumah penduduk di Zermatt-Swiss. Sumber: dokumentasi pribadi
Rumah-rumah penduduk di Zermatt-Swiss. Sumber: dokumentasi pribadi
Di negara yang sangat kondang dengan jam tangan buatannya yang sangat presisi itu, kita tidak perlu pusingkan jika tidak tampak adanya sistem antrean yang jelas. Mau antre silakan, tidak pun no problem. Dan di banyak kesempatan, memang tidak perlu antre. Toh, setiap orang pasti mendapatkan gilirannya dengan cepat.

Rasanya memang sedikit lebih bebas. Boleh berdiri sesuka hati. Misalnya, di perhentian bus, di platform kereta dan seterusnya. Dan ketika waktunya tiba, semuanya tetap bisa naik tanpa perlu berebutan. Lalu apakah bangsa Swiss tidak menghargai budaya antre? Tidak demikian juga. Kata seorang pejalan lain, "It's just their way of life!".

Dari banyak negara-negara di Asia, saya selalu terkagum-kagum dengan budaya antre di Jepang. Bukan hanya taat antre, tetapi hebatnya, warga Negeri Sakura itu selalu membentuk barisan antrean dengan sangat baik dan rapi. Pantas saja banyak yang menyebut bentuk antrean di Jepang sudah seperti sebuah seni saja.

Antrean kereta di Jepang. Sumber: www.samurai.com
Antrean kereta di Jepang. Sumber: www.samurai.com

"Queuing in Japan is an art form", begitu kata orang. Dan lebih dari itu, orang Jepang sangat mengagungkan budaya antre. Ketika mereka berdiri di garis antrean itu, mereka seakan begitu menikmati kesendiriannya. Sambil membaca buku atau membuka gadget masing-masing. Tidak ada suara apapun. Semuanya dilakukan dalam diam yang panjang. Hingga bus atau kereta yang ditunggu tiba.

Masyarakat Jepang memang dikenal sangat disiplin. Selalu antre dengan sabar dan teratur di mana-mana. Di stasiun kereta yang sibuk, misalnya, penumpang yang hendak naik akan selalu berdiri di sisi kiri dan kanan di depan pintu kereta yang terbuka. Lalu menunggu hingga penumpang terakhir turun baru mereka masuk. 

Hampir tidak pernah terlihat ada yang nekat menyerobot naik ketika masih ada penumpang yang hendak ke luar dari kereta. Bagi mereka, perilaku seperti itu, yakni menyerobot masuk, bisa jadi dianggap memalukan. Haik, wakarimashita!

Warga Jepang sedang antre menunggu datangnya bus. Sumber: www.businessinsider.com
Warga Jepang sedang antre menunggu datangnya bus. Sumber: www.businessinsider.com
Warga negara Singapore pun sudah lama dikenal dengan budaya antrenya. Sangat khas Inggris! Mungkin inilah salah satu budaya yang diwariskan Inggris, selain bahasanya itu. Mereka tentunya percaya bahwa hanya dengan mengantre secara teratur, semua orang akan mendapatkan gilirannya dengan lebih cepat.

Sikap disiplin dalam soal antre ini bisa dilihat di berbagai tempat. Di halte bus, stand taxi, dan sebagainya. Seakan sudah menjadi bagian keseharian hidup mereka. Bahkan wisatawan Indonesia yang ke Singapore pun akhirnya segan dan ikut antre. Padahal ketika di negeri sendiri.... ah, sudahlah. Dan jika ada yang melanggar antrean, siap-siap saja diperingati, "Queue up!".

Antrian di Apple store-Orchard, Singapore. Sumber: Bryan van der Beek/Getty Image /www.fortune.com
Antrian di Apple store-Orchard, Singapore. Sumber: Bryan van der Beek/Getty Image /www.fortune.com
Berbeda sekali dengan banyak negara lain di Asia dan Mediteranean. Sebut misalnya, di China, India, Mesir, Turkiye dan sebagainya. 

Di China, misalnya, masih banyak penduduknya belum disiplin dalam hal mengantre untuk suatu layanan. Perilaku seperti itu pun kerap terbawa-bawa ketika wisatawan dari negeri Tirai Bambu berwisata ke mancanegara

Dan itu pula yang ikut dikhawatirkan Pemerintah China. Bagaimana pun juga, perilaku tidak terpuji yang dibawa wisatawan negeri itu akan berdampak pada citra China di mata dunia. Sebuah negara yang sudah makin maju, tetapi masyarakatnya sama sekali tidak menghargai budaya antre di negeri lain.

Alhasil, pada tahun 2013 silam, China's National Tourism Administration pun menerbitkan sebuah buku panduan bagi wisatawan China berjudul "Guidebook to Civilised Tourism". Buku setebal 64 halaman itu berisi semacam "Dos and Don'ts" (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) yang harus diperhatikan selama berwisata ke luar negeri.

Lalu apa saja isi buku itu? Sangat menarik. Isinya dimulai dari himbauan untuk ikut menjaga kebersihan lingkungan; berpakaian yang pantas; tidak  berbicara dengan suara keras; ramah terhadap orang tua dan anak-anak; selalu tepat waktu; hingga ikut antrean di manapun.

Antrean di sebuah butik di China. Sumber: C.K. Tan / www.asia.nikkei.com
Antrean di sebuah butik di China. Sumber: C.K. Tan / www.asia.nikkei.com
Bagaimana dengan budaya antre di tanah air? Sejujurnya, masih perlu lebih banyak edukasi ke masyarakat. Apalagi di pelayanan umum yang belum menggunakan sistem nomor antrean. Dan jangan tanya lagi bagaimana perilaku pemakai jalan di kota-kota besar. Rasanya begitu langka melihat pengendara motor dengan sabar menunggu di garis stop.  

Lalu apakah kita perlu meniru cara Inggris? Ataukah bikin panduan berperilaku yang baik ala China? Tentu saja, jangan dulu bayangkan bisa seperti bangsa Jepang.  

Budaya antre seyogianya sudah ditanamkan jauh sejak di bangku sekolah. Pun di semua lingkungan di sekitar kita. Siapapun harus membiasakan diri ikut mengantre. Baik untuk suatu layanan umum, hendak naik bus, turun dari pesawat, dan sebagainya. Tanpa terkecuali.

Langit Jakarta disapu mendung tebal di Selasa sore kemarin. Di sebuah persimpangan jalan menuju ke Kelapa Gading, lampu merah baru sedetik berganti hijau, tapi klakson mobil di belakang langsung menyalak dengan kencang. Sementara itu, puluhan pesepeda motor dari sisi lain terus merangsek maju. Jauh dari batas garis berhenti di sisinya. 

Hm, budaya antre memang masih akan melalui jalan yang sangat panjang di negeri ini...

***

Kelapa Gading, 5 Oktober 2022

Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2, 3, 4

Catatan: Semua sumber foto yang digunakan sesuai keterangan di masing-masing foto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun