Sebuah peta berjudul "Historic City of George Town World Heritage Site" terbentang di hadapanku. Godaan untuk menjelajahi seluruh kawasan yang termasuk dalam "Penang Heritage Trail" itu pun kian tidak tertahankan. Apalagi saya memang pecinta berat kota-kota tua.
Zona bersejarah di kota George Town- Penang, yang dijuluki "The City of Living Culture" itu, memang menakjubkan. Area yang sudah terdaftar sebagai “UNESCO World Heritage Site” sejak tahun 2008 ini begitu luas. Sekitar 100 hektar dan konon meliputi lebih dari 5,000 bangunan bersejarah. Fantastis!
Mulai dari kawasan sekitar Eastern & Oriental Hotel di Lebuh Farquhar sampai area di sepanjang Pangkalan Weld (Weld Quay). Suatu rute jalan kaki yang lumayan menguras energi. Apalagi di tengah matahari tropis yang menyengat. Tetapi, siapa takut? :)
Namun, memilih 'starting point' di kota ini ternyata tidak mudah. Ada yang menyarankan memulainya dari Komtar (Kompleks Tun Abdul Razak), yakni pencakar langit tertinggi di Penang. Ada pula yang merekomendasikan dari sekitar Esplanade Park, tempat berdirinya Penang City Hall, Fort Cornwallis, dan lain-lain.
Sedangkan sebuah situs wisata jalan kaki menyarankan langsung dari titik sentral di kawasan yang dilindungi itu. Dan itulah yang saya lakukan, yakni menggunakan lokasi George Town World Heritage Inc (GTWHI) sebagai titik awal untuk menjelajahi sebagian besar kawasan bersejarah ini.
GTWHI yang dibentuk pada tahun 2010 silam bertugas untuk mengawasi dan merawat semua warisan sejarah yang sudah termasuk dalam daftar UNESCO. Kantornya sendiri, yang berdiri persis di sudut jalan antara Lebuh Acheh dan Lebuh Carnarvon, pun sangat menarik.
Bangunan bergaya arsitektur kolonial itu pernah digunakan sebagai sebuah klinik pada tahun 1930-an. Lalu berubah menjadi sebuah barbershop dan untuk usaha lainnya. Tetapi, setelah direstorasi pada tahun 2003, gedung cantik ini selanjutnya digunakan sebagai kantor George Town World Heritage Inc.
Dari titik ini saja, saya langsung terjebak pada dua pilihan sulit. Mau langsung berbelok ke Lebuh Armenian (Jalan Armenian) atau lurus saja ke Lebuh Acheh. Namun, sesaat berikutnya, saya akhirnya membiarkan saja kaki melangkah bebas. Tanpa mau terikat pada jadwal layaknya ikut grup wisata.
Lebuh Acheh pantas menjadi salah satu jalan favorit banyak wisatawan. Selain deretan rumah tuanya yang masih terjaga baik, jalan kecil ini juga menjadi lokasi berdirinya Masjid Lebuh Acheh. Salah satu masjid bersejarah yang dibangun oleh Tengku Syed Hussain Al-Aidid pada tahun 1808.
Dan persis di seberang masjid, Lebuh Cannon, yang menghubungkan Lebuh Acheh dan Lebuh Armenian, pun memiliki daya tarik tersendiri. Jalan kecil yang dipenuhi deretan kafe dan toko suvenir itu selalu ramai dipadati wisatawan. Tidak hanya singgah ngupi-ngupi cantik dan berbelanja, tapi juga berfoto-ria di jalan yang cukup instagrammable itu.
Akan tetapi, jika ada yang paling layak dikunjungi di jalan ini, maka itulah Leong San Tong Khoo Kongsi. Kelenteng milik marga Khoo, salah satu marga terkemuka di Penang, yang telah berdiri sejak tahun 1906. Dan inilah kelenteng yang disebut-sebut sebagai kelenteng paling populer di pusat kota tua George Town.Tepat di ujung Lebuh Cannon, sebelum berbelok kiri ke arah Lebuh Armenian, jangan lupa siapkan kameramu. Sebuah kelenteng cantik lainnya berdiri persis di pojok jalan menghadap tiga jalan yang bertemu di situ. Meskipun tidak besar, kelenteng milik marga Yap yang dibangun pada tahun 1920 ini pun kerap sukses menahan langkah kaki banyak wisatawan.
Tidak jauh dari Yap Temple ini, sebuah rumah yang berlokasi di Lebuh Armenian No. 120 pun tidak kalah kondang. Lagipula, siapa yang tidak kenal nama mantan penghuni rumah itu. Di rumah itulah Sun Yat Sen pernah tinggal selama 6 bulan. Sang tokoh yang ikut menggulingkan Dinasti Qing itu tercatat pernah ke Penang pada tahun 1910.
Kini rumah Presiden Pertama Republik Tiongkok itu telah dijadikan sebuah museum yang didedikasikan untuknya. Sayang sekali, Museum Sun Yat Sen, demikian namanya saat ini, kini sedang ditutup untuk renovasi.
Lebuh Armenian sendiri sangat populer di Penang. Di jalan ini pula, banyak wisatawan tampil penuh gaya demi sebuah foto di Penang Street Art atau mural di dinding yang terdapat di jalan ini. Begitu pun dengan Umbrella Lane, yakni sebuah gang kecil yang dihiasi banyak payung warna-warni di atasnya. Sebuah jalan yang seolah disiapkan buat turis yang gemar foto-foto.
Nama Armenian pasti mengingatkan Anda akan Armenia, sebuah negara di Asia Barat yang termasuk dalam wilayah Kaukasus. Tidak salah, kawan! Di jalan ini dulunya memang banyak didiami warga Armenia. Dan orang Armenia yang paling terkenal tentu saja adalah Sarkies Brothers yang membangun Eastern & Oriental Hotel- Penang pada tahun 1886.
Kembali ke persimpangan Lebuh Cannon dan Lebuh Armenian, saya melanjutkan langkah ke Jalan Masjid Kapitan Keling yang dulu disebut Pitt Street. Sebuah jalan utama yang tampil bak simbol keberagaman etnis di George Town.
Bagaimana tidak, di jalan in berderet masjid, kelenteng, kuil dan gereja. Dimulai dari Masjid Kapitan Keling yang sangat memesona. Lalu ada Kuan Im Teng (Goddess of Mercy Temple), kelenteng Taoist tertua di Penang.
Dan masih di jalan yang sama, kita juga bisa menyaksikan keunikan Sri Mahamariamman Temple yang sudah berdiri sejak tahun 1833. Dan tentunya St. George’s Church, sebuah gereja Anglikan yang dibangun pada tahun 1818-1819. Semua tempat ibadah ini ikut mengangkat pamor jalan ini di kalangan wisatawan dunia.
Masjid Kapitan Keling sendiri berbalut latar belakang sejarah yang menarik. Baik nama maupun gaya arsitekturnya. Nama Keling adalah sebutan bagi warga keturunan India bagian selatan. Sedangkan Kapitan adalah perwakilan dari Komunitas India. Mirip dengan Kapitan China bagi Komunitas Tionghoa.
Bagaimana dengan gaya arsitektur masjid yang sangat indah itu?
Masjid yang kental dengan pengaruh arsitektur Mughal dari India itu pun mestinya berkaitan dengan bangsa di Asia Selatan itu. Dan ternyata benar, masjid ini memang dibangun oleh para pedagang India yang beragama Islam pada tahun 1801. Melihat tahun berdirinya, masjid pun didaulat sebagai masjid tertua di Penang.
Setelah tiba di St. George’s Church, yang berada di pojok Jalan Masjid Kapitan Keling dan Lebuh Farquhar, saya sebetulnya ingin langsung menyeberang ke arah Lebuh Light lalu berbelok ke Jalan Padang Kota Lama untuk melihat Town Hall dan City Hall.
Tapi, entah mengapa, saya malah berbelok ke kiri. Boleh jadi, karena hanya sekitar 290 meter dari situ terdapat gereja bersejarah lainnya, yakni The Church of the Assumption. Menurut sejarah, gereja dengan dua menara lonceng ini dibangun oleh orang-orang Eurasian pada tahun 1861.
Eh, sudah ke kiri, rasanya tanggung jika balik lagi ke arah St. George's Church. Jadi lanjut terus menyusuri Lebuh Farquhar dan Jalan Sultan Ahmad Shah menuju Cheong Fatt Tze- The Blue Mansion yang beralamat di Lebuh Leith. Tidak jauh sih, paling sekitar 350 meter saja.
Cheong Fatt Tze – The Blue Mansion adalah sebuah rumah besar yang dibangun oleh Cheong Fatt Tze, salah satu industrialis terkaya di Asia Tenggara pada masanya. Bangunan dari abad ke-19 yang kini telah dikonversi menjadi sebuah museum dan hotel butik mewah ini seketika mengingatkan saya akan Tjong A Fie Mansion di Medan.
Setelah rehat sebentar sambil menyeruput secangkir Americano di Cafe Mangga, yang ada di depan Cheong Fatt Tze, saya terpaksa mengalah terhadap kaki yang sudah minta maaf berkali-kali. Panasnya itu bro! Meskipun jarak menuju Town Hall, tujuan berikutnya, hanya sekitar 1 km, tetapi di tengah sengatan matahari, jarak sependek itu seakan tidak berujung.
Alhasil, dengan menumpang Grab berbiaya 5 ringgit, saya sudah tiba di depan Town Hall. Sebuah bangunan dari abad ke-19 dengan fasad cantik yang didominasi warna pastel kuning muda dan putih. Town Hall ini adalah salah satu lokasi syuting film “Anna and the King” yang dibintangi Jodi Foster dan Chow Yun-Fat.
Selain Town Hall, Penang juga memiliki City Hall yang berdiri tidak jauh dari situ. Agak unik, bukan? Biasanya di setiap kota hanya ada satu Town Hall atau City Hall. Kedua bangunan cantik ini menghadap ke arah Esplanade Park atau Padang Kota Lama. O ya, City Hall berarsitektur gotik itu kini digunakan sebagai kantor Dewan Kota Pulau Penang.
Kawasan Padang Kota Lama juga ditempati Fort Cornwallis, sebuah benteng pertahanan yang dibangun Bristish East India Company pada akhir abad ke-18. Benteng yang kini sedang direstorasi itu dinamai seperti nama Lieutenant-General The 2nd Earl Cornwallis, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Bengal.
Dari pintu masuk benteng yang berada tidak jauh dari Tourist Information Centre di Jalan Tun Syed Sheh Barakbah, sebuah menara jam nan cantik segera tampak. Itulah Queen Victoria Memorial Clock Tower atau juga dikenal sebagai The Jubilee Clock Tower.
Menara jam bergaya Moorish, yang konstruksinya dirancang milyarder Cheah Chen Eok , dibangun pada tahun 1897 untuk memperingati 60 tahun pemerintahan Ratu Victoria (1837 – 1897). Selanjutnya, monumen setinggi 18 meter ini dipersembahkan bagi kota George Town pada tahun 1902.
Dari perempatan Lebuh Light and Lebuh Pantai, lokasi berdirinya menara jam, ayo lanjut menyusuri Lebuh Pantai. Sebuah jalan yang sangat terkenal dengan banyak sekali bangunan bergaya kolonial yang kini menjadi kantor bank, perusahaan asuransi, dan sebagainya.
Persis di persimpangan Lebuh Pantai dan Lebuh Pasar, saya sejenak meragu. Sebuah papan nama bertuliskan Little India sungguh menggoda. Kawasan yang dihuni warga Indian-Malaysian ini berpusat di sekitar Lebuh Pasar, Lebuh China, Lebuh Penang, Lebuh King dan sekitarnya.
Namun, sedetik kemudian saya kembali meneruskan langkah. Ada sebuah bangunan yang harus diabadikan. Hanya sekitar 200 meter di depan. Dan yes, dari kejauhan sudah terlihat pesona bangunan empat lantai dengan arsitektur klasik itu.
Inilah Central Fire Station, markas pemadam kebakaran di George Town yang dibangun pada tahun 1909. Kantor pemadam ini berada di pojok jalan antara Lebuh Pantai dan Lebuh Chulia. Sudah lihat bangunannya? Cantik, yaa!
Dan dari perempatan jalan ini, lagi-lagi saya dihadapkan pada dua pilihan. Jika belok kiri ke Lebuh Chulia arah waterfront, saya akan menemukan deretan Clan Jetties dari berbagai marga. Sebut di antaranya, Ong Jetty, Lim Jetty dan Chew Jetty. Namun, belok ke kanan pun tidak kalah menarik.
Lebuh Chulia adalah salah satu jalan tertua di George Town, Penang. Jalan ini langsung dibangun tidak lama setelah kota George Town didirikan pada tahun 1786. Jalan ini kian terkenal karena berbatasan dengan Little India di satu sisi dan pemukiman Tionghoa di sisi lainnya.
Di ujung Lebuh Carnavorn yang bersentuhan dengan Lebuh Chulia sangat populer dengan “Chulia Street Night Hawker Stalls”. Sementara tidak jauh di seberangnya, yakni di Love Lane atau Lorong Love pun termasyhur sebagai kawasan hiburan malam dengan banyak kafe dan bar.
Pada akhirnya saya kembali terdampar di sebuah kafe bergaya India di Lebuh Chulia. Rasanya sudah cukup menjelajahi kota ini. Setidaknya untuk hari ini. Apalagi atmosfer di jalan ini kian memikat, khususnya ketika menjelang malam. Wajah jalan ini pun seketika berubah. Makin seronok!
Kota-kota tua sejatinya selalu bisa menjadi destinasi wisata andalan. Di mana pun itu. Baik di George Town - Penang, maupun di beberapa kota di Indonesia. Sebut misalnya, Kota Tua di Jakarta dan Kota Lama di Semarang.
Dan jika ditata dengan baik, semua kawasan kota tua itu bisa sukses menjadi destinasi wisata andalan dalam jangka waktu panjang. Persis seperti kota tua di George Town ini. Namun, jangan lupa! Jika gagal merawatnya dengan baik, maka sang andalan itu pun akan dengan cepat ditinggal pergi.
***
George Town, 19 Agustus 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
Semua foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H