Nama Jalan Braga baru mulai digunakan pada tahun 1882. Adalah Asisten Residen Bandung kala itu, yakni Pieter Sitjhoff, yang mengganti nama jalan ini menjadi Bragaweg alias Jalan Braga. Boleh jadi seperti makna jalan tersebut. Jalan Braga memang tempat bergaya kala itu. To see and to be seen! Tidak berbeda dengan Champs Elysees di jantung kota Paris.
Parijs van Java” alias Paris dari Jawa.
Begitulah, sejak era itu, Jalan Braga pun kian populer. Kawasan ini dipenuhi dengan kedai kopi, restoran, butik, ruang pamer mobil dan lain-lain. Bahkan pada awal abad ke-20, Braga disebut-sebut sebagai salah kawasan belanja terbaik di wilayah Hindia Belanda. Alhasil, pesona jalan penuh gaya inilah yang akhirnya melambungkan nama kota Bandung hingga dijuluki “Tentu saja popularitas jalan ini akan terlindas oleh zaman andaikan deretan bangunan tuanya telah hilang. Persis seperti yang terjadi di banyak kota tua lainnya. Namun, Braga yang sempat meredup ternyata sukses kembali meraih reputasinya. Banyak bangunan tua secara bertahap berhasil direstorasi.
Sekilas sejarah Braga itulah yang menemani langkah kaki saya kembali ke Braga. Ada yang mau ikut? Mau! Asyik. Kita mulai saja jelajah Braga ini dari arah selatan (Jalan Asia Afrika) ke utara. Jangan lupa siapkan kameramu! Dan pastikan Anda tidak tersesat di lorong waktu. :)
Jelajah Jalan Braga memang seakan menembus lorong waktu. Bak kembali ke era kolonialisme Hindia Belanda. Berbagai bangunan dengan arsitektur tempo doeloe berderet menyambut semua pengunjung.
Lihat saja bangunan pertama di kawasan ini. Itulah Gedung De Vries (1879) yang berdiri di Jalan Asia Afrika No. 81 dan tepat menghadap Jalan Braga. Gedung yang dipugar dan dikelola Bank OCBC NISP sejak 2010 itu dulunya merupakan sebuah toserba milik seorang Belanda bernama Andreas de Vries.
Tetapi, gedung de Vries tidak sendiri di situ. Persis di depannya berdiri sebuah gedung lain yang justru lebih terkenal. Tidak salah, itulah Gedung Merdeka yang kini difungsikan sebagai Museum Konferensi Asia Afrika. Bangunan berarsitektur art deco itu memang pernah menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pada tahun 1955.
Tidak kalah menariknya adalah Gedung Apotek Kimia Farma yang berlokasi di Jalan Braga No. 6. Gedung yang telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya itu dibangun pada tahun 1902. Kimia Farma sendiri dikenal sebagai perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia yang awalnya bernama NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co.
Meskipun bangunan apotek berwarna putih yang sebagian ruangannya ditempati sebuah kedai kopi dari waralaba terkenal sangat menarik, tetapi mata saya segera beralih ke sebuah bangunan lain di seberangnya. Sebuah bangunan putih dengan arsitektur yang sangat indah.
Mau tahu nama gedung ini? Baiklah. Ini dia De Majestic (Majestic Cinema) yang dirancang arsitek ternama C.P.Wolf Schoemaker pada tahun 1925. Gedung bioskop dengan balutan arsitektur art deco itu adalah gedung bioskop pertama di kota Bandung. Konon inilah salah satu tempat hiburan favorit warga Belanda pada masanya.
Lokasinya yang ideal di jantung Braga membuatnya kian prestisius. Braga memang telah berkembang menjadi kawasan belanja bergengsi bagi kalangan elite bangsa Eropa kala itu. Namun, era bioskop telah lama berlalu. Kini gedung yang masih rajin memamerkan fasadnya yang indah itu digunakan sebagai gedung pertunjukkan seni dan budaya.