Jangan mengaku sudah ke Bandung kalau belum pernah ke Jalan Braga. Ini tentunya bukan sabda Kang Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, mantan Walikota Bandung yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat. Namun, bagi pelancong sejati, betapa mungkin melewatkan jalan paling kondang di seantero kota Bandung ini. Apalagi Braga sejak doeloe hingga kini tak pernah kehilangan pesonanya.
Jalan Braga terletak di salah satu kawasan bersejarah di kota Bandung. Ujung selatan Braga bersentuhan dengan Jalan Asia Afrika yang dibangun pada zaman pemerintahan Herman William Daendels. Dan hanya beberapa menit ke Jalan Merdeka, jalan ternama lainnya di ibu kota Provinsi Jawa Barat ini.
Jalan Braga membentang sekitar 900 meter dari pertigaan Jalan Asia Afrika- Jalan Braga sampai ke perempatan Jalan Perintis Kemerdekaan-Jalan Braga. Dan ke jalan yang sarat nilai historis inilah yang saya kembali datangi pada awal Februari ini. Suatu perjalanan bak menyusuri lorong sejarah kota Bandung.
Jalanan kota Bandung masih dibalut sepi ketika saya bergegas meluncur ke Jalan Braga. Dengan perkiraan Braga belum terlalu ramai di pagi hari, saya telah tiba di ujung selatan Braga sekitar jam 07.30 pagi. Namun, di luar dugaan, Braga ternyata telah dipadati banyak pengunjung.
Di sekitar Museum Konferensi Asia-Afrika, Braga sudah seperti studio foto raksasa saja. Ratusan pengunjung terlihat menyebar di beberapa titik. Mirip kawasan Kota Tua Jakarta di akhir pekan saja. Semua spot foto yang dianggap instagrammable tak lepas dari 'penjajahan' mereka. :)
Dari pasangan calon pengantin yang sibuk membuat foto pre-wedding hingga berbagai kelompok remaja dengan busana ala era kolonial. Hebatnya, ada yang sampai menyewa seorang fotografer profesional demi mendapatkan foto-foto keren di sepanjang Jalan Braga ini.
Jalan Braga yang kaya dengan bangunan tua peninggalan masa kolonial memang menarik dijelajahi dan berburu foto. Apalagi sebagian bangunan yang bergaya arsitektur art deco masih terawat dengan baik setelah direstorasi. Dan Braga pun seakan tidak mau kalah aksi. Tampil kinclong di pagi itu!
wisata kekinian. Misalnya, di wilayah sekitar Lembang. Tetapi, seperti di banyak kota terkenal di dunia, kawasan 'Old Town' dari sebuah kota selalu menarik dikunjungi. Terlebih lagi bila masih banyak bangunan berlabel ‘heritage’ tetap terjaga dengan baik.
Bandung sejatinya memiliki banyak destinasiJalan Braga pun demikian. Jalan yang awalnya bernama Karreweg ini juga tidak kalah memesona. Braga, yang konon berarti ‘bergaya’ alias ‘mejeng’ itu, memang bisa dibandingkan dengan semua kota tua terkenal lainnya di Indonesia. Tidak kalah bergaya!
Nama Jalan Braga, seperti tertulis di papan jalan yang juga menjadi salah satu spot foto, adalah nama sebuah jalan utama di kota Bandung. Braga, yang tampil menarik saat ini, pernah dijuluki Pedatiweg atau Jalan Pedati. Pasalnya, jalan ini dulu kerap dilewati pedati pengangkut kopi. Dari Koffie Pakhuis (kini gedung Balai Kota) menuju Grote Postweg (sekarang Jalan Asia Afrika).
Nama Jalan Braga baru mulai digunakan pada tahun 1882. Adalah Asisten Residen Bandung kala itu, yakni Pieter Sitjhoff, yang mengganti nama jalan ini menjadi Bragaweg alias Jalan Braga. Boleh jadi seperti makna jalan tersebut. Jalan Braga memang tempat bergaya kala itu. To see and to be seen! Tidak berbeda dengan Champs Elysees di jantung kota Paris.
Parijs van Java” alias Paris dari Jawa.
Begitulah, sejak era itu, Jalan Braga pun kian populer. Kawasan ini dipenuhi dengan kedai kopi, restoran, butik, ruang pamer mobil dan lain-lain. Bahkan pada awal abad ke-20, Braga disebut-sebut sebagai salah kawasan belanja terbaik di wilayah Hindia Belanda. Alhasil, pesona jalan penuh gaya inilah yang akhirnya melambungkan nama kota Bandung hingga dijuluki “Tentu saja popularitas jalan ini akan terlindas oleh zaman andaikan deretan bangunan tuanya telah hilang. Persis seperti yang terjadi di banyak kota tua lainnya. Namun, Braga yang sempat meredup ternyata sukses kembali meraih reputasinya. Banyak bangunan tua secara bertahap berhasil direstorasi.
Sekilas sejarah Braga itulah yang menemani langkah kaki saya kembali ke Braga. Ada yang mau ikut? Mau! Asyik. Kita mulai saja jelajah Braga ini dari arah selatan (Jalan Asia Afrika) ke utara. Jangan lupa siapkan kameramu! Dan pastikan Anda tidak tersesat di lorong waktu. :)
Jelajah Jalan Braga memang seakan menembus lorong waktu. Bak kembali ke era kolonialisme Hindia Belanda. Berbagai bangunan dengan arsitektur tempo doeloe berderet menyambut semua pengunjung.
Lihat saja bangunan pertama di kawasan ini. Itulah Gedung De Vries (1879) yang berdiri di Jalan Asia Afrika No. 81 dan tepat menghadap Jalan Braga. Gedung yang dipugar dan dikelola Bank OCBC NISP sejak 2010 itu dulunya merupakan sebuah toserba milik seorang Belanda bernama Andreas de Vries.
Tetapi, gedung de Vries tidak sendiri di situ. Persis di depannya berdiri sebuah gedung lain yang justru lebih terkenal. Tidak salah, itulah Gedung Merdeka yang kini difungsikan sebagai Museum Konferensi Asia Afrika. Bangunan berarsitektur art deco itu memang pernah menjadi tempat berlangsungnya Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika pada tahun 1955.
Tidak kalah menariknya adalah Gedung Apotek Kimia Farma yang berlokasi di Jalan Braga No. 6. Gedung yang telah ditetapkan sebagai bangunan Cagar Budaya itu dibangun pada tahun 1902. Kimia Farma sendiri dikenal sebagai perusahaan industri farmasi pertama di Indonesia yang awalnya bernama NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co.
Meskipun bangunan apotek berwarna putih yang sebagian ruangannya ditempati sebuah kedai kopi dari waralaba terkenal sangat menarik, tetapi mata saya segera beralih ke sebuah bangunan lain di seberangnya. Sebuah bangunan putih dengan arsitektur yang sangat indah.
Mau tahu nama gedung ini? Baiklah. Ini dia De Majestic (Majestic Cinema) yang dirancang arsitek ternama C.P.Wolf Schoemaker pada tahun 1925. Gedung bioskop dengan balutan arsitektur art deco itu adalah gedung bioskop pertama di kota Bandung. Konon inilah salah satu tempat hiburan favorit warga Belanda pada masanya.
Lokasinya yang ideal di jantung Braga membuatnya kian prestisius. Braga memang telah berkembang menjadi kawasan belanja bergengsi bagi kalangan elite bangsa Eropa kala itu. Namun, era bioskop telah lama berlalu. Kini gedung yang masih rajin memamerkan fasadnya yang indah itu digunakan sebagai gedung pertunjukkan seni dan budaya.
Masih di bagian selatan Braga ini, beberapa bangunan kuno lainnya yang telah direstorasi pun tidak kalah memikat. Misalnya, Gedung berwarna putih milik PLN dan juga Gedung Sarinah di seberangnya. Toserba Sarinah yang sempat berjaya di era 1970-an menggunakan bangunan bekas toko baju bernama Onderling Belang.
Setelah lama terbengkalai, bangunan ini kini kembali bersolek. Fasadnya yang didominasi warna putih itu dihiasi logo merah Sarinah yang menarik. Tentu saja menarik. Jenis huruf di logo ini adalah hasil tulisan tangan Bung Karno yang digunakan pada Toserba Sarinah pertama di Jakarta.
Persis di persimpangan Jalan Naripan – Braga, ada dua bangunan yang sama-sama berdiri di sudut jalan. Bak berhadap-hadapan saling adu keindahan arsitekturnya. Yang pertama gedung bergaya art deco milik Bank Jabar Banten (BJB). Dan di seberangnya adalah gedung Lembaga Kantor Berita Antara (LKBN) yang tidak kalah memesona.
Kantor BJB di Braga No. 12, yang pernah menjadi ikon di kawasan ini, adalah bekas Gedung Bank DENIS (De Eerste Nederlandsch-Indische Spaarkas). Bangunan ini didesain oleh Albert Frederik Aalbers, seorang arsitek Belanda yang banyak merancang gedung terkenal di Bandung.
Sama dengan gedung BJB, Gedung LKBN Antara pun dirancang oleh A.F. Aalbers pada tahun 1936. Gedung ini awalnya digunakan oleh Lager des Heilers (Bala Keselamatan), yakni sebuah badan pelayanan sosial gereja Protestan yang didirikan William Booth dan berpusat di London, Inggris.
Ruas Braga antara Gedung Antara hingga Indische Cafe Braga menampilkan wajah Braga yang berbeda. Rute sepanjang 350 meter ini dipenuhi restoran, kafe, toko roti, toko suvenir dan hotel. Sebagian di antaranya bahkan telah beroperasi sejak zaman kolonial. Jauh sebelum Indonesia merdeka.
Toko Roti Sumber Hidangan, misalnya, telah berusia hampir seabad. Toko roti legendaris yang terletak di Jalan Braga No. 20-22 awalnya bernama Het Snoephuis ketika dibuka pada tahun 1929. Meskipun digempur bakery modern, toko roti ini masih bertahan hingga kini.
Berjalan sekitar 100 meter terus ke utara, jangan lupa menengok ke sebelah kiri. Nama sebuah toko suvenir, yakni Sin Sin Art Shop (Braga No. 59) boleh jadi telah menjadi favorit wisatawan ke Braga sejak hadir di tahun 1943. Toko ini seakan mengkonfirmasi Braga pun telah menjadi destinasi wisata di masa lalu.
Tidak jauh dari sini, mari mampir sejenak di Kopi Toko Djawa (Braga No. 81) yang doeloe merupakan salah satu toko buku tertua di Bandung (sejak 1955). Jika doeloe Toko Djawa menjual buku, maka sejak 2015 toko buku ini telah bertransformasi menjadi Toko Kopi Djawa.
Braga Permai sebelumnya berlokasi di sisi timur Jalan Braga dan Jalan Lembong. Namun, sejak tahun 1923 pindah ke tempat sekarang ini. Konon restoran terkenal ini dulunya adalah tempat pertemuan favorit warga Belanda dan kalangan atas lainnya. Satu hal yang menarik dari resto ini adalah masih dipertahankannya berbagai menu khas dari Maison Bogerijen.
Deretan toko, butik, kafe, dan resto di sepanjang jalan ini memang penuh gaya. Tidak berbeda jauh dengan jalan-jalan di Eropa pada masa yang sama. Dan tidak mengherankan, sepotong jalan ini mengingatkan banyak pengunjung dari Eropa kala itu akan kota Paris. Sebuah kota yang sudah kondang sebagai pusat mode dunia.
Pesona Braga belum berakhir di sini. Di perempatan Jalan Braga dan Jalan Suniaraja, sebuah bangunan putih lainnya ikut membuat kita terhanyut ke Bandung tempo doeloe. Ada yang tahu bangunan ini? Hm, sudah tertulis jelas di bangunan ini: Centre Point.
Gedung Centre Point dulunya merupakan Toko Alat Musik terkenal di Bandung. Bangunan indah hasil rancangan arsitek CP Wolff Schoemaker itu pernah dikenal dengan nama Naessans & Co berdiri sejak tahun 1925. Dan tidak berbeda dengan toko pakaian di Braga yang mengimpor koleksi busananya dari Eropa. Toko ini pun dulu mengimpor berbagai alat musik mahal dari benua biru itu.
Braga masih menyimpan banyak pesona lainnya. Tetapi, seperti kata banyak pelancong dunia, jangan habiskan semua pesona itu dalam satu kunjungan. Biar punya alasan untuk berkunjung kembali ke Parijs van Java. Braga pasti akan selalu setia menantimu di sana.
***
Kelapa Gading, 4 Februari 2022
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
1) Semua foto-foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H