Nama Morotai boleh jadi belum begitu terkenal di pentas pariwisata nasional. Namun, sejatinya nama pulau di utara Halmahera ini telah lama dikenal dunia sejak tahun 1944. Di pulau inilah Jenderal Douglas MacArthur, Komandan South West Pacific Area dari pasukan AS, memilih Morotai sebagai pangkalannya.
Akan tetapi, setelah periode bersejarah itu, Morotai bak tidur panjang. Nama pulau yang termasuk jajaran pulau-pulau terluar di Indonesia ini baru disebut-sebut kembali pasca event besar yang diadakan di wilayah ini pada tahun 2012, yakni 'Sail Morotai' yang sangat sukses.
Apalagi setelah itu Morotai ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata pada tahun 2014. Dan selanjutnya dinobatkan sebagai salah satu dari 10 Destinasi Wisata Utama di Indonesia yang disebut 'The 10 New Bali' atau 10 Bali Baru. Dengan penetapan ini, Morotai pun mendapat prioritas pengembangan wisata nasional. Dan tentunya diharapkan bisa menyamai reputasi Bali yang telah lama mendunia.
Betapa tidak. Morotai memiliki modal yang kuat untuk mengembangkan industri pariwisatanya. Di samping mempunyai banyak sekali bukti peninggalan bersejarah dari Perang Dunia II, Morotai juga memiliki kekayaan alam yang fantastis.
Sebut misalnya, Pulau Mitita, Pulau Kokoya, Pulau Kolorai, Pulau Zum Zum dan Pulau Dodola. Nama pulau terakhir ini bahkan telah melambung tinggi sebagai salah satu destinasi wisata yang menjadi impian banyak pelancong di tanah air dalam beberapa tahun terakhir.
Seperti tertulis di patungnya yang berdiri gagah di atas Pulau Zum-Zum, Morotai, Jenderal Angkatan Darat yang menjabat sebagai Komandan Pasukan Amerika Serikat di Filipina tahun 1942 itu kemudian menjadi Komandan Pasukan Sekutu Wilayah Pasifik Barat Daya.
Sedangkan basis di Morotai sangat dibutuhkan untuk penyerangan ke Filipina. Dan pada tahun 1944 itulah, MacArthur merebut Kepulauan Morotai yang tercatat sebagai Pertempuran Morotai pada tanggal 15 September 1944.
Menariknya, beberapa prajurit Jepang di Morotai masih terus bertahan dan menolak menyerah. Salah satu di antaranya, yakni Teruo Nakamura, yang baru ditemukan pada tanggal 18 Desember 1974 di hutan Morotai. Pulau yang sepi itu pun sontak dihebohkan penemuan Nakamura yang telah bersembunyi selama 30 tahun!
Nakamura memang bukan seorang pahlawan ternama bagi negara yang dibelanya selama Perang Dunia II. Ia pun bukan seorang jenderal hebat layaknya MacArthur. Namun, dari sisi kemanusiaan, kisah Nakamura telah membuat banyak pihak pun bersimpati padanya.
Bayangkan saja, demi menolak menyerah dan menghindari pasukan musuh, Nakamura terpaksa bersembunyi di dalam hutan Morotai dalam kondisi memprihatinkan. Dan saking lamanya bersembunyi, Nakamura bahkan tidak mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kalah. Perang Dunia II pun sudah lama berlalu.
Boleh jadi dengan kontribusi yang diberikan bagi nama Morotai di pentas dunia itulah, baik MacArthur maupun Nakamura mendapat tempat tersendiri di hati warga Morotai. Dan Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai pun membangun patung bagi keduanya.
Patung Nakamura didirikan di sebuah pertigaan jalan di desa Dehegila, Morotai. Hanya sekitar 6 km dari pusat kota Daruba. Sedangkan Patung McArthur dibangun di Pulau Zum Zum yang terletak di seberang kota Daruba, ibu kota Morotai. Kurang lebih 15 menit dengan speed boat.
Namun, seperti tantangan di banyak destinasi wisata lain di Indonesia, Morotai harus terus menjaga keasrian lingkungan wisatanya. Jika tidak, maka suatu saat pulau ini akan kembali tidur panjang. Bagaimanapun juga, wisatawan yang datang tidak hanya mengagumi keindahan alam semata, tetapi jelas menuntut suatu lingkungan yang bersih dari setiap destinasi wisata yang 'dijual'.
Setelah mengelilingi hampir setengah Pulau Morotai serta mengunjungi beberapa pulau di sekitarnya, saya harus meminjam ungkapan Douglas MacArthur yang terkenal, “I Shall Return!”. Yes, Morotai, Saya akan kembali!
***
Tobelo, 26 November 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan:
1) Semua sumber foto yang digunakan adalah dokumentasi pribadi.
2) Artikel ini ditulis khusus untuk Kompasiana. Dilarang menyalin/menjiplak/menerbitkan ulang untuk tujuan komersial tanpa seijin penulis.