Sedangkan basis di Morotai sangat dibutuhkan untuk penyerangan ke Filipina. Dan pada tahun 1944 itulah, MacArthur merebut Kepulauan Morotai yang tercatat sebagai Pertempuran Morotai pada tanggal 15 September 1944.
Menariknya, beberapa prajurit Jepang di Morotai masih terus bertahan dan menolak menyerah. Salah satu di antaranya, yakni Teruo Nakamura, yang baru ditemukan pada tanggal 18 Desember 1974 di hutan Morotai. Pulau yang sepi itu pun sontak dihebohkan penemuan Nakamura yang telah bersembunyi selama 30 tahun!
Koran-koran nasional pun ramai memberitakannya. Kisah persembunyian Nakamura yang dramatis juga menyita perhatian berbagai media internasional. Tentu saja termasuk di Taiwan, negara tempat lahirnya mantan prajurit berpangkat taico itu. Di Taiwan sendiri, Nakamura dikenal dengan nama Lee Guang-Hui.
Nakamura memang bukan seorang pahlawan ternama bagi negara yang dibelanya selama Perang Dunia II. Ia pun bukan seorang jenderal hebat layaknya MacArthur. Namun, dari sisi kemanusiaan, kisah Nakamura telah membuat banyak pihak pun bersimpati padanya.
Bayangkan saja, demi menolak menyerah dan menghindari pasukan musuh, Nakamura terpaksa bersembunyi di dalam hutan Morotai dalam kondisi memprihatinkan. Dan saking lamanya bersembunyi, Nakamura bahkan tidak mengetahui bahwa Jepang telah menyerah kalah. Perang Dunia II pun sudah lama berlalu.
Nama MacArthur dan Nakamura pun akhirnya tercatat dalam tinta sejarah Pulau Morotai. Dan meskipun dalam posisi yang berseberangan di masa lalu, keduanya secara tidak langsung telah mengangkat nama Morotai ke puncak pemberitaan pada suatu masa tertentu.
Boleh jadi dengan kontribusi yang diberikan bagi nama Morotai di pentas dunia itulah, baik MacArthur maupun Nakamura mendapat tempat tersendiri di hati warga Morotai. Dan Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai pun membangun patung bagi keduanya.
Patung Nakamura didirikan di sebuah pertigaan jalan di desa Dehegila, Morotai. Hanya sekitar 6 km dari pusat kota Daruba. Sedangkan Patung McArthur dibangun di Pulau Zum Zum yang terletak di seberang kota Daruba, ibu kota Morotai. Kurang lebih 15 menit dengan speed boat.
Dengan semua kombinasi di atas, dari jejak sejarah Perang Dunia II hingga pesona wisata alamnya, Morotai memang layak menjadi destinasi wisata impian.
Namun, seperti tantangan di banyak destinasi wisata lain di Indonesia, Morotai harus terus menjaga keasrian lingkungan wisatanya. Jika tidak, maka suatu saat pulau ini akan kembali tidur panjang. Bagaimanapun juga, wisatawan yang datang tidak hanya mengagumi keindahan alam semata, tetapi jelas menuntut suatu lingkungan yang bersih dari setiap destinasi wisata yang 'dijual'.
Setelah mengelilingi hampir setengah Pulau Morotai serta mengunjungi beberapa pulau di sekitarnya, saya harus meminjam ungkapan Douglas MacArthur yang terkenal, “I Shall Return!”. Yes, Morotai, Saya akan kembali!