Adakah kota yang tidak tergiur menjadi Tuan Rumah Olimpiade? Apalagi untuk Olimpiade Musim Panas (Summer Olympic Games) yang begitu bergengsi.Â
Bayangan keuntungan berskala jumbo serta publikasi fantastis di seluruh dunia menjadi daya tarik yang sulit dilewatkan. Nama kota dan negara penyelenggara pun dipastikan melambung tinggi ke angkasa dunia.
Namun, seperti kata pepatah, "No party lasts forever". Tidak ada pesta yang abadi. Di ujung perhelatan pesta multi-sport event ini, tidak semua penyelenggara bisa tidur nyenyak. Sebagian di antaranya bahkan terperosok jauh ke dalam lubang kerugian yang kelam.
Sejak Olimpiade modern pertama di Athena- Yunani pada tahun 1896, Olimpiade sejatinya sudah mulai tersentuh dukungan sponsor. Meskipun tentu saja tidak seperti sponsorship di era sekarang. Kodak, misalnya, konon sudah membayar biaya iklan untuk brand-nya yang tampil di salah satu program saat itu.
Anda masih ingat Kodak, bukan? Eastman Kodak Company, yang cukup dikenal sebagai Kodak, adalah perusahaan pembuat peralatan fotografi legendaris asal AS yang berdiri pada tahun 1892. Hanya beberapa tahun sebelum Olimpiade pertama di era modern berlangsung.
Pada tahun 1908, ketika London menjadi tuan rumah '1908 Summer Olympics', beberapa perusahaan lain ikut mensponsori. Di antaranya, Oxo dan Odol, dua perusahaan ternama asal Inggris. Odol adalah salah satu jenama di bawah grup GlaxoSmithKline yang membuat produk perawatan gusi, gigi, dan tenggorokan.
Kisah sponsor masih berlanjut di '1928 Summer Olympics' yang diadakan di Amsterdam, Belanda. Saat itu, Coca-Cola, perusahaan minuman raksasa asal AS mulai masuk sebagai salah satu sponsor utama Olimpiade yang ternyata berlanjut hingga kini.
Akan tetapi, era komersialisasi di bawah Panitia Pelaksana Nasional itu berakhir setelah semua urusan sponsorship diambil alih IOC (International Olympic Committee). IOC sendiri awalnya menolak pendanaan Olimpiade dari perusahaan sponsor.
Perubahan signifikan mulai terjadi di era Juan Antonio Samaranch, tokoh olahraga asal Barcelona, Spanyol yang sangat terkenal. Olimpiade pun mulai melirik berbagai peluang pendapatan dari sektor media televisi, iklan, dan sebagainya. Dan sejak Olimpiade Musim Panas di Los Angeles, pesta Olimpiade pun tidak pernah lagi lepas dari dukungan sponsor raksasa.
1984 Summer Olympics (Los Angeles 1984) yang berlangsung di Los Angeles adalah tonggak bersejarah dalam penyelenggaraan Olimpiade. Inilah penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas pertama yang sukses meraih keuntungan sejak tahun 1932.
Dengan biaya penyelenggaraan ala paket hemat sekitar 413 juta dolar saja, Panitia Los Angeles 1984Â sukses meraup keuntungan lebih dari 250 juta dolar AS. Suatu pendapatan yang mencengangkan kala itu. Sukses Los Angeles (LA) pun membuat minat berbagai kota dunia untuk menjadi tuan rumah meningkat tajam.
Los Angeles 1984 ini awalnya tidak banyak menarik minat calon penyelenggara. Betapa tidak, pasca kerugian besar dari penyelenggaraan Olimpiade Musim Panas di Montreal (1976), tidak banyak kota yang tertarik menjadi tuan rumah Olimpiade edisi ke XXIII ini.
Alhasil, dari dua kota yang ikut bidding sebagai tuan rumah, yakni Los Angeles dan Teheran, hanya LA yang paling serius. Dan dalam IOC Session ke-80 di Athena, 18 Mei 1978, LA akhirnya ditetapkan sebagai Tuan Rumah Olimpiade 1984. Teheran sendiri sudah mengundurkan diri karena masalah internal di Iran.
Sukses Los Angeles tentunya bukan suatu kebetulan. Jika Montreal 1976Â menghabiskan biaya fantastis untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, maka tidak demikian dengan LA yang justru berusaha memanfaatkan semua infrastukur yang sudah ada.
Hanya terdapat dua venue baru yang dibangun khusus untuk Olimpiade LA ini, yakni Olympic Velodrome yang sebagian besar didanai 7-Eleven dan Olympic Swim Stadium oleh McDonald's.Â
Selain itu, Panitia Pelaksana Olimpiade LA yang dipimpin Peter Ueberroth juga sukses meraup tambahan laba sebesar 225 juta dolar dari penjualan hak siar ke stasiun tv ABC (American Broadcasting Company).
Dengan kesuksesan ini, tidak heran Peter Ueberroth mendapat sanjungan di mana-mana. Majalah berita paling bergengsi di dunia saat itu, yakni TIME pun memberikan penghormatan ke Ueberroth di sampul depannya sebagai "Man of the Year". Suatu penghargaan yang biasanya diberikan ke tokoh-tokoh dunia ternama.
Keberhasilan LA sebagai Tuan Rumah Olimpiade pun selalu dijadikan benchmark bagi semua calon tuan rumah berikutnya. Begitupun dengan kegagalan Montreal yang meninggalkan timbunan utang sekitar 1.5 milyar dolar.Â
Majalah Fortune pernah menempatkan Montreal 1976 sebagai salah satu dari "the Biggest Financial Disaster in Modern Olympic History".
Kisah sukses seperti Los Angeles maupun kegagalan serupa Montreal rupanya masih berlanjut di beberapa  pagelaran Olimpiade berikutnya. Mulai dari Barcelona 1992 yang sukses hingga Athens 2004 dan Rio 2016 yang terpuruk. Dan sepertinya kisah yang sama akan berulang di Tokyo 2020.
Barcelona yang tampil gemilang sebagai Tuan Rumah '1992 Barcelona Summer Olympics' pantas disejajarkan dengan Los Angeles 1984. Bahkan dalam beberapa aspek, kota cantik di tepi Laut Mediteranean ini malah lebih unggul.
Tidak hanya sukses sebagai penyelenggara dengan menyisakan laba sebesar 10 juta dolar. Barcelona juga diakui sangat berhasil meningkatkan kualitas hidup di kota Barcelona, yakni melalui Urban Renewal Program yang dikerjakan dalam menyambut Olimpiade 1992 di kota itu.
Kiat Barcelona memoles wajah kotanya ini layak diacungi jempol. Berbeda dengan kota tuan rumah lainnya yang lebih memprioritaskan konstruksi berbagai venue pertandingan. Barcelona justru memilih membenahi kotanya agar tampil memesona .
Barcelona 1992Â mengalokasikan 83% anggaran yang ada untuk perbaikan sebagian besar wajah kotanya. Mulai dari pembangunan jalan lingkar kota (the Rondas), hingga perbaikan taman-taman kota dan kawasan tepi pantai (waterfront). Dan 17% sisanya untuk membangun infrastruktur yang terkait arena olahraga.
Hasilnya, Barcelona pun makin menawan. Beberapa kawasan yang diperbaiki, seperti Port Vell, Port Olympic, dan Montjuic, kini menjadi destinasi wisata ternama di Barcelona. Port Vell, misalnya, menjadi tempat berlabuh ratusan yacht dan dipenuhi banyak resto dan kafe populer.
Kisah tuan rumah Olimpiade lainnya, yakni Athens 2004Â juga tidak mudah dilupakan. Meskipun tidak persis sama dengan tragedi Montreal 1976, tetapi '2004 Summer Olympics' (Athens 2004)Â juga menyisakan banyak timbunan utang dan bekas venue yang kini terbengkalai. Padahal Olimpiade bak pulang ke rumahnya. Pulang ke kota tempat lahirnya Olimpiade pertama di era modern.
Pangkal sebabnya banyak. Sebut di antaranya, terlambatnya pembangunan berbagai sarana pertandingan serta infrastruktur lainnya. Bahkan IOC sempat mengancam pemindahan kota tuan rumah jika Athena tidak bergerak lebih cepat. Pekerjaan berbagai proyek pun dikebut dengan biaya yang sudah melonjak jauh di atas bujet.
Dari tujuh tahun waktu persiapan, Athena seakan baru bangun tidur setelah tiga tahun pertama berlalu begitu saja. Kebiasaan menunda yang berakibat fatal. Biaya terbesar Athens 2004 meliputi pembangunan bandara internasional baru, perluasan jaringan metro, berbagai venue pertandingan dan sebagainya.
Biaya yang meroket hingga 9 milyar dolar itu begitu menguras kas negara Yunani. Bahkan disebut-sebut sebagai salah satu biang keladi krisis utang yang melanda Negeri Para Dewa itu di penghujung tahun 2009. Dan yang makin memprihatinkan, sebagian besar venue yang dibangun kini tidak terurus.
Namun demikian, gelar sebagai "The Worst Host City of Summer Olympics" terpaksa diberikan ke Rio de Janeiro, Tuan Rumah Olimpiade 2016. Status terburuk ini disebabkan akumulasi masalah selama penyelenggaraan Olimpiade di kota terbesar di Brazil itu.
2016 Summer Olympics alias Rio 2016 memang penuh isu kontroversial. Dari organisasi penyelengaraan yang buruk; polusi di Teluk Guanabara yang digunakan untuk perlombaan layar dan selancar angin; tuduhan korupsi terkait perusahaan konstruksi di sejumlah venue; ancaman virus sika; dan lain-lain.
Di samping itu, Pemerintah Brazil pun tidak sepenuhnya berhasil mengatasi tingkat kriminalitas yang tinggi di Rio maupun merapikan kawasan kumuh favela yang sudah ada di Rio sejak akhir abad ke-19. Puncak dari semua itu, Rio 2016 mencatat rekor kerugian sampai 2 milyar dolar!
Bagaimana dengan '2020 Summer Olympics' atau Tokyo 2020Â yang masih berlangsung saat ini di Tokyo?Â
Melihat begitu banyak tantangan yang dihadapi selama ini, Anda pun bisa menduga betapa besar kerugian yang sudah terbayang di depan mata. Sejak penundaan penyelenggaraan yang seharusnya berlangsung Juli-Agustus 2020 lalu, sampai keputusan pelaksanaan Olimpiade tanpa penonton.
Andrew Zimbalist, seorang profesor di Smith College- Massachusetts yang telah menulis tiga buku tentang Ekonomi Olimpiade, bahkan memperkirakan kerugian Tokyo 2020 bisa mencapai 35 milyar dolar. Demikian kutipan dari harian New York Times, edisi 24 Juli 2021 lalu. Suatu kerugian yang fantastis!
Tokyo 2020 memang diliputi sejuta dilema. Ibarat maju kena, mundur kena. Ada yang mendukung. Namun, tidak sedikit juga yang memprotes. Tetapi, pada akhirnya, Perdana Menteri Jepang- Yoshihide Suga telah memilih. "The show must go on!".
 ***
Kelapa Gading, 27 Juli 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto yg digunakan sesuai keterangan di foto masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H