Sepotong berita kurang sedap berhembus kencang dari dunia aviasi di tanah air. Dua maskapai nasional disebut-sebut terlilit utang ke sejumlah Aircraft Lessor atau perusahaan leasing (penyewaan) pesawat. Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di belahan dunia lain pun banyak maskapai terpaksa mengembalikan sebagian armada yang disewanya. 'Covid Attack' telah membuat puluhan maskapai pun terjerembab.Â
Di industri penerbangan dunia, boleh jadi maskapai ternama asal negeri Paman Sam, yakni American Airlines (AA) adalah maskapai penerbangan komersial terbesar di dunia. Betapa tidak, AA yang berbasis di Fort Worth, Texas- Amerika Serikat itu memiliki tidak kurang dari 891 pesawat terbang.
Akan tetapi, andaikata diukur dari jumlah armada pesawat semata, maka sesungguhnya GECAS (GE Capital Aviation Services)-lah yang menyandang predikat sebagai perusahaan penerbangan terbesar di dunia. Bayangkan saja, anak perusahaan General Electric Capital ini memiliki sekitar 1,074 pesawat. Luar biasa, bukan?Â
Perusahaan raksasa yang bermarkas di Shannon- Irlandia dan di Norwalk - AS ini adalah perusahaan pembiayaan dan penyewaan pesawat terbang. Baik ke maskapai penerbangan komersial (Passenger Airlines) maupun ke maskapai penerbangan kargo (Freighter). Yang satu hanya menjual 'seat'Â di dalam pesawat, yang lain menyewakan pesawatnya.
Mulai dari hanya sekitar 15% dari semua pesawat yang dioperasikan di dunia pada era 1990-an, perusahaan leasing pesawat makin dominan di tahun 2000-an dengan menguasai lebih dari 25% total pesawat yang mengudara. Dan pertumbuhan ini kian menakjubkan dalam dekade terakhir.
Dari data yang dilansir Statista, misalnya, saat ini terdapat sekitar 158 Aircraft Lessors yang menguasai 46% total pesawat yang beroperasi di dunia. Suatu pencapaian yang mencengangkan. Betapa tidak, selama ini banyak yang mengira maskapai ternama di dunia mestinya memiliki armada sendiri.
Selain GECAS, nama besar lainnya di bisnis penyewaan pesawat tidak lain adalah AerCap. Inilah salah satu Lessor yang ikut menyewakan pesawat ke Garuda. Armada perusahaan asal Dublin- Irlandia ini sudah mencapai 1,036 pesawat per Juni 2020. AerCap memiliki customer-base yang sangat besar di dunia. Perusahaan ini melayani lebih dari 200 pelanggan di 80 negara.
Irlandia sendiri makin mengokohkan posisinya sebagai kiblat bisnis penyewaan pesawat di dunia. Negara yang juga terkenal dengan bir Guinness ini sejatinya bukan negara pembuat pesawat terbang. Tetapi, Irlandia saat ini diperkirakan menguasai 60 persen pangsa pasar leasing global. Suatu strategi bisnis yang cerdas. Biarkan negara lain yang membuat, Irlandia cukup memasarkannya. :)
Iklim bisnis yang kondusif inilah yang boleh jadi memungkinkan dua maskapai kategori LCC (Low Cost Carrier) asal Dublin dan London, yakni Ryanair dan Easyjet pun melaju kencang sebagai LCC terkemuka di dunia.
Sejatinya, di industri aviasi terkini, banyak maskapai penerbangan dunia memilih opsi menyewa pesawat daripada membelinya sendiri. Ini adalah salah satu cara cepat untuk menambah kapasitas armada dan memperluas rute penerbangan. Dan tentunya tanpa terbeban biaya pengadaan pesawat yang fantastis.
Dikutip dari sebuah panduan yang dirilis FAA (Federation Aviation Administration), terdapat dua model leasing pesawat yang berlaku saat ini, yakni Wet Lease (Sewa Basah) dan Dry Lease (Sewa Kering).
Wet Lease biasanya dipilih oleh maskapai untuk tujuan operasional jangka pendek. Misalnya, ketika terjadi penambahan jumlah penumpang yang signifikan di periode musim liburan atau high season. Sebaliknya, Dry Lease lebih disukai maskapai yang ingin mengoperasikan pesawat untuk jangka waktu panjang.
Garuda Indonesia, sebagai contoh, konon menggunakan opsi 'Dry Lease' atau penyewaan jangka panjang. Bisa dimengerti. Sebagai maskapai besar, Garuda tentu saja lebih suka mengelola aspek layanan dari kru didikan sendiri yang memahami persis budaya korporasinya. Sementara untuk aspek perawatan, maskapai pelat merah ini sudah memiliki GMF (Garuda Maintenance Facility).
Itu sebabnya, selain Garuda, maskapai lain pun ramai-ramai kembali ke Lessor untuk mencoba negosiasi kembali hutangnya. Ada yang mengajukan 'Early Termination' alias pemutusan kontrak lebih awal. Dan ada pula yang meminta opsi 'Pay by the Hour' yang kini kembali menjadi salah satu solusi yang paling diminati.
'Pay by the Hour', yang juga populer disebut 'Power by the Hour', adalah skema perjanjian sewa pesawat di mana maskapai hanya membayar sewa pesawat ke Lessor per jamnya jika pesawat digunakan. Terminologi ini sebetulnya sudah muncul sejak 1960-an ketika Roll-Royce menyewakan mesin pesawatnya ke perusahaan penerbangan.
Lalu, bagaimana dengan prospek bisnis penyewaan pesawat ke depannya? Mungkin tidak salah ada ungkapan terkenal, "Di balik setiap krisis selalu ada peluang". Lihat saja pertumbuhan Avolon Aerospace, anak perusahaan Bohai Capital Holding Co., salah satu pemain besar di bisnis penyewaan pesawat.
Yang tidak kalah menarik adalah klien yang dilayani di awal tahun ini. Dari beberapa maskapai yang baru saja menyewa pesawat dari Avolon, tiga di antaranya adalah maskapai penerbangan berbiaya murah (LCC), yakni Spirit Airlines dan Frontier Airlines dari AS, serta Vistara Airlines asal India.
Menurut media aviasi Simple Flying, maskapai yang membidik pasar milenial ini menyewa tiga pesawat jenis Airbus A320-200 dari dua Lessor asal Dublin - Irlandia, yakni CDB Aviation dan Orix Aviation. CDB Aviation sendiri adalah anak perusahaan China Development Bank.
Ada yang tertarik? :)
***
Kelapa Gading, 7 Juli 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Semua foto yg digunakan sesuai keterangan di foto masing-masing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H