Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Wisata Museum, dari Pacitan hingga Mancanegara

19 Februari 2021   09:19 Diperbarui: 19 Februari 2021   09:57 957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Museum Ferrari- Maranello. Sumber: koleksi pribadi

Dari kota Pacitan di Jawa Timur tetiba mencuat berita tentang sebuah museum dan galeri seni yang tengah dibangun. Tidak tanggung-tanggung, desain bangunannya saja konon dikonsep mirip seperti gedung United States Capitol di Washington, DC, AS. Hebat, bukan? 

Masih ingat gedung Capitol? Itu lho, gedung kongres AS yang pernah diserbu pendukung Donald Trump pada 6 januari 2020. Ya, betul. Anda cepat sekali menemukan fotonya. Tidak mirip ya? Hm, minimal bentuk kubahnya kan hampir sama. Begitu kata beberapa media. :)

Sejatinya, pembangunan sebuah museum sah saja. Apalagi jika sepenuhnya menggunakan dana Yayasan sendiri, seperti banyak museum di dunia lainnya. Tetapi, menggunakan dana hibah dari Pemda (jika jadi) dengan premis bahwa museum tersebut akan menjadi destinasi unggulan mungkin layak dipertanyakan. Apalagi ada embel-embel bakal mendatangkan devisa. :)

Apakah "Museum dan Galeri Seni SBY - Ani" akan menarik bagi wisatawan asing? Mungkin saja. Namun, ada baiknya kita melihat potret museum di Indonesia atau setidaknya memahami sejauh mana minat wisatawan domestik terhadap eksistensi sebuah museum. Ekspektasi yang terlalu tinggi bisa saja berujung patah hati.

Patah hati? Ah, penulis jadi ingat sebuah museum patah hati di Zagreb- Kroasia. Persisnya, museum itu bernama "Museum of Broken Relationship". Semoga saja, museum di Pacitan ini nantinya tidak mencatat kisah patah hati lainnya akibat harapan yang melambung terlalu tinggi.

Museum of Broken Relationship. Sumber: Krism /wikimedia
Museum of Broken Relationship. Sumber: Krism /wikimedia
Sudah bukan cerita baru lagi bahwa museum-museum di Indonesia masih belum menjadi destinasi wisata favorit di tanah air. Bahkan museum terbaik di tanah air, yakni Museum Nasional - Jakarta atau kerap disebut Museum Gajah pun masih susah bersaing untuk menjadi destinasi wisata favorit di ibukota Jakarta. Tahun 2019 lalu, misalnya, Museum Nasional hanya mampu menarik sekitar 301 ribu pengunjung.

Museum Nasional telah berdiri jauh sebelum Indonesia Merdeka atau pada tahun 1778. Dengan koleksi museum yang lebih dari 109 ribu buah, maka seharusnya museum ini menjadi salah satu atraksi wisata ternama di Indonesia. Akan tetapi, jangankan bersaing dengan atraksi wisata lainnya, dengan sesama museum lain pun, Museum Nasional masih tertinggal.

Museum Nasional - Jakarta. Sumber: CEphoto, Uwe Aranas/ wikimedia
Museum Nasional - Jakarta. Sumber: CEphoto, Uwe Aranas/ wikimedia
Beberapa situs wisata bahkan menempatkan Museum Fatahillah dan Museum Bank Mandiri di atas Museum Nasional. Tentu saja, Museum Fatahillah memiliki keunggulan lokasi yang cantik di alun-alun Kota Tua Jakarta yang terkenal. Ibarat sekali ke kota tua, dua tiga objek wisata sekaligus bisa dikunjungi.

Tidak itu saja, hampir tidak pernah terdengar berita viral tentang antrian di Museum Nasional. Yang pernah terjadi malah di sebuah museum milik sebuah korporasi, yakni Museum MACAN (The Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara) yang berlokasi di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Padahal harga tiket Museum Nasional yang sangat bersejarah itu hanya setara biaya 1 jam parkir mobil di Jakarta atau Rp 5,000 (dewasa/ wisatawan domestik). Dan tahukah Anda berapa harga tiket masuk Museum MACAN? Rp 100,000 / orang. Apakah mendadak wisatawan kita menjadi pecinta karya seni modern dan kontemporer? Oh, belum tentu bro.

Museum MACAN- Jakarta. Sumber: www.time.com/ Museum MACAN
Museum MACAN- Jakarta. Sumber: www.time.com/ Museum MACAN
Yang pasti, Museum MACAN menjadi begitu atraktif, karena menampilkan banyak spot instagrammable. Pengunjung konon lebih sibuk swafoto dibandingkan mengagumi karya seni yang dipajang. Begitulah sepak terjang sebagian wisatawan kita. :)

Penulis sendiri sudah pernah mengunjungi berbagai museum di tanah air maupun di mancanegara. Baik museum kategori serius hingga museum bernuansa hiburan. Dari museum sejarah, seni rupa, musik, bir, whiskey, mobil, moge, hingga museum kategori khusus untuk pengunjung dewasa. Hahaha.

Mengelola sebuah museum memang tidak mudah. Di berbagai museum di belahan dunia lainnya, banyak museum dikelola sangat profesional. Selain penataan koleksi yang menarik, pencahayaan di museum juga diperhatikan secara serius. Dan museum bukan sekedar memajang koleksi-koleksi yang ada. Pengelola museum juga rajin membuat berbagai aktivitas pameran tematik, promosi, dan sebagainya.

Museum Ferrari- Maranello. Sumber: koleksi pribadi
Museum Ferrari- Maranello. Sumber: koleksi pribadi
Meskipun penampilan museum kian menarik, tetapi dalam banyak kesempatan, mayoritas wisatawan asal Indonesia masih termasuk pengunjung tercepat di sebuah museum. Reputasi ini mirip 'prestasi' pengunjung museum asal Negeri Tirai Bambu. Sebuah rekor yang tidak perlu dibanggakan.

Di sebuah museum besar dan sangat ternama sekaliber Museum Louvre di Paris saja, wisatawan (grup) kita rata-rata hanya membutuhkan waktu satu jam. Dalam waktu sekejab itu, yang penting sudah melihat lukisan Mona Lisa karya Leonardo da Vinci. Mereka lebih suka menghabiskan waktu lebih lama di department store, toko bebas bea, ataupun di butik-butik mahal.

Dalam suatu kunjungan ke Museum Hermitage, museum kedua terbesar di dunia dan berada di kota Saint Petersburg- Russia, penulis pernah tercengang atas pertanyaan seorang peserta tour. "Kenapa harus lama di dalam museum?". Lalu, lanjutnya, "Isi museum kan sama saja di mana-mana!". Alamak! 

Museum Hermitage- St. Petersburg, Russia. Sumber: A.Savin/ wikimedia
Museum Hermitage- St. Petersburg, Russia. Sumber: A.Savin/ wikimedia

Baik Museum Louvre maupun Museum Hermitage membebankan biaya masuk yang cukup mahal. Tiket di Museum Louvre sekitar Euro 15 atau kurang lebih Rp 250,000. Cukup mahal, bukan? Tetapi, sangat sebanding dengan isi kedua museum yang luar biasa itu. Bagi pecinta museum, keduanya bak surga karya seni dan harta karun sejarah yang menakjubkan.

Sebelum pandemi atau di tahun 2019, Museum Louvre menerima sekitar 9.6 juta kunjungan wisatawan. Anda bisa bayangkan berapa besar pendapatan museum ini setiap tahun. Belum lagi dari penjualan di The Book and Gift Shop-nya yang selalu ramai. Inilah museum terbesar dan tersukses di Prancis dan sekaligus di dunia.

Di samping pendapatan di atas, museum milik Pemerintah Prancis ini masih mendapatkan pendapatan lainnya. Misalnya saja, dari aktivitas kurasi untuk pameran di museum lain dan penggunaan sebagian ruangan museum untuk kepentingan khusus.

Pernah nonton film Da Vinci Code? Dalam film box office itu, ada beberapa adegan dilakukan di koridor  Museum Louvre. Untuk ijin lokasi syuting itu saja, produsen film tersebut menyetor ke Louvre sedikitnya 2.5 juta dolar. Jumlah yang fantastis! Belum lagi nilai publikasi gratis yang didapatkan Louvre dari larisnya film tersebut.

Da Vinci Code membuat Louvre kian terkenal. Sumber: koleksi pribadi
Da Vinci Code membuat Louvre kian terkenal. Sumber: koleksi pribadi
Bagi museum-museum dengan reputasi tinggi, pendapatan tiket masuk sangat menggiurkan. Jangan lupa juga, salah satu biaya terbesar museum adalah biaya pemeliharaan semua koleksinya. Barang-barang koleksi berharga jelas harus disimpan sesuai standar penyimpanan yang tepat. Dan itu cukup menguras kas museum.

Kenyataannya, tidak semua museum tergoda mengandalkan pemasukan dari tiket masuk pengunjung. Apalagi misi museum yang lebih mengutamakan aspek pendidikan buat pengunjung. Di negara adidaya AS dan Inggris, misalnya, banyak museum yang bisa dikunjungi secara gratis. Padahal banyak dari museum gratis itu termasuk deretan museum terkenal di negara masing-masing.

Mari kita menuju ke Washington, DC, ibukota negara AS. Di kota ini puluhan museum bisa dikunjungi tanpa perlu membayar sepeser pun. Museum-museum yang berada di bawah kendali Smithsonian Institution adalah museum kelas dunia. Dari sekitar 19 museumnya, beberapa di antaranya sangat terkenal, seperti National Museum of Natural History dan National Air and Space Museum.

National Museum of Natural History- Washington DC. Sumber: Blake Patterson/ wikimedia
National Museum of Natural History- Washington DC. Sumber: Blake Patterson/ wikimedia

Smithsonian Institution sendiri adalah salah satu institusi terkaya di AS. Awalnya didirikan oleh ilmuwan Inggris, James Smithson pada tahun 1846. Smithson meninggalkan semua kekayaannya untuk institut ini. Selanjutnya, dana pengembangan museum juga didapatkan dari donasi keanggotan eksklusif dan berbagai penggalangan dana lainnya. 

Sama dengan Washington, DC, di ibukota Inggris, London, juga menawarkan banyak museum yang bisa dikunjungi secara gratis. Misalnya, The British Museum, salah satu museum terbaik di dunia. Ada lagi "Natural History Museum", "The Science Museum", dan lain-lain.

British Museum telah berdiri sejak tahun 1753 dan memiliki sekitar 8 juta koleksi. Koleksi museumnya berasal dari era kolonialisme Inggris di masa lalu.  Termasuk di antaranya koleksi tidak ternilai dari zaman Mesir Kuno. Salah satu sponsor utama museum ini adalah perusahaan minyak British Petroleum (BP).

British Museum- London. Sumber: Luke Massey/ wikimedia
British Museum- London. Sumber: Luke Massey/ wikimedia

Museum hanya mengenakan biaya masuk untuk eksibisi khusus atau event tertentu di dalam museum. Selebihnya, museum hanya membuka donasi dari pengunjung yang hendak ikut menyumbang.

Berbeda dengan museum milik pemerintah, banyak museum swasta lainnya sepenuhnya mengandalkan pendapatan dari kunjungan wisatawan maupun penjualan berbagai produk merchandising dari museum. Contohnya, Madame Tussaud Wax Museum, serta jaringannya di berbagai negara. Kini Madame Tussaud Museum juga membuka peluang waralaba. Anda tertarik membukanya di Jakarta?

Yang tidak kalah menarik adalah museum yang dikelola langsung sebuah korporasi atau sebut saja "Corporate Museum". Museum seperti ini didukung sepenuhnya induk perusahaan. Salah satu tujuannya adalah untuk memperkuat jenama perusahaan. Dan tentu saja sebagai salah satu sumber pendapatan lainnya. Terbukti beberapa di antaranya kini telah berkembang menjadi destinasi wisata populer.

Mau tahu museum-museum apa saja di kategori ini? Banyak. Di Jerman, misalnya, ada Museum BMW di Munich, Museum Mercedez-Benz di Stuttgart, Museum Ferrari di Maranello, Heineken Experience di Amsterdam, Carlsberg Museum di Copenhagen, dan lain-lain.

Museum BMW di Munich. Sumber: Arnaud 25/ wikimedia
Museum BMW di Munich. Sumber: Arnaud 25/ wikimedia
Sementara itu di Indonesia ada Museum House of Sampoerna di Surabaya, Museum Bank Mandiri dan Museum BI di Jakarta. Museum MACAN pun berada di bawah group perusahaan AKR Corporindo. Meskipun koleksi museum ini jelas berbeda dengan bisnis AKR (Aneka Kimia Raya).

Kembali ke "Museum dan Galeri Seni SBY - Ani" yang mengundang pro-kontra terkait dana hibah. Penulis tidak akan membahas soal hibah itu lagi. Soal tepat tidaknya, dst, yang sudah banyak ditulis Kompasianer lainnya. Mari kita melihat dari sisi wisata saja. Dari aspek museum sebagai destinasi wisata.

Apakah museum ini bisa lebih sukses dibandingkan museum lainnya di tanah air? Well, kalau ditanya ke Bupati Pacitan, Indartato, jawabannya luar biasa optimis. 

Seperti dikutip dari Kompas, sang Bupati mengatakan, "Sepanjang 2019, kunjungan wisata ke Pacitan sebanyak 2,3 juta orang. Jika museum sudah beroperasi, kami berharap kunjungan wisatawan bisa sampai 5 juta."  Kenaikan yang luar biasa. Entah bagaimana cara menghitungnya. :)

Terlalu optimis? Bisa saja. Sebagai pembanding, Museum Sejarah Jakarta yang termasuk paling populer dengan potensi kunjungan yang jauh lebih besar pun hanya dikunjungi 741,487 wisatawan. 

Padahal museum ini berada di ibukota Jakarta dengan populasi lebih dari 10 juta. Dan persis berdiri di Kota Tua, salah satu destinasi wisata ternama dengan segala kemudahan akses ke sana. Bandingkan dengan Pacitan yang tentunya membutuhkan usaha ekstra bagi pengunjung dari berbagai kota lainnya. Apakah penulis terlalu pesimis? Oh, bukan begitu kawan. Hanya lebih realistis saja. :) 

Terkadang menggantung harapan yang terlalu tinggi, tanpa perhitungan jelas, pada ujungnya hanya membuat patah hati. Dan penulis tentunya tidak berharap suatu saat kita akan memiliki "Museum Patah Hati" kedua di dunia. Hahaha.

Ayo, ke museum lagi! 

Kelapa Gading, 19 Februari 2021

Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2 , 3, 4

Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto masing-masing

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun