Industri pariwisata telah lama menjadi salah satu sektor ekonomi yang sangat penting. Tidak sekedar sebagai penyumbang devisa bagi negara, tetapi juga sangat padat karya. Namun demikian, laju pariwisata juga kerap diikuti gelombang modernisasi yang dibawa wisatawan. Dan tidak kalah memprihatinkan adalah salah kaprah dalam konteks 'pengembangan' suatu destinasi wisata. Bukannya membuatnya makin baik, tetapi justru merusak keaslian alam di destinasi itu sendiri.
Indonesia bisa dibilang sangat beruntung. Selain memiliki keragaman budaya yang sangat kaya, tanah air kita juga dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa memesona. Dari ujung paling barat di provinsi Aceh, hingga ujung paling timur di provinsi Papua. Dan kekayaan budaya dan alam inilah yang sejatinya menjadi modal utama Indonesia dalam menjaring kunjungan wisatawan.
Siapa yang tidak mengenal nama Kuta di Bali? Desa wisata yang memiliki pantai terkenal adalah contoh klasik bagaimana sebuah desa berjuang mempertahankan sebagian tradisinya di tengah arus deras wisatawan asing yang masuk ke seluruh pelosok Kuta. Nyaris tidak ada ruang tersisa yang tidak tersentuh wisatawan. Dalam situasi tertentu Kuta seolah telah menjadi desa internasional.
Kuta seakan sudah tercerabut dari akar budayanya. Di kawasan ini, arus pertemuan budaya, yang sekalipun tidak merubah segalanya, terlihat begitu kasatmata. Di sini pula, kita dengan mudah menyaksikan suatu pergeseran budaya. Pelan tapi pasti.
Tidak mengejutkan jika di masa lalu, seorang Putu Setia (kini dikenal sebagai Mpu Jaya Prema Ananda), misalnya, sampai merasa perlu menggugat tanah kelahirannya sendiri dalam bukunya "Menggugat Bali". Atau, masih ingat lagu "Kembalikan Baliku", ciptaan Guruh Sukarno Putra?
Bukan hanya Kuta dan kawasan sekitarnya. Ubud yang elok pun telah berubah. Dari desa yang bersahaja di masa lalu, Ubud kini telah menjadi salah satu destinasi wisata yang sangat eksklusif. Dan di banyak lokasi lain, kita menemukan Bali yang telah banyak berubah.
Akan tetapi, Bali masih beruntung. Masyarakat Bali umumnya masih sangat tegar menjaga berbagai ritualitas yang digenggam kuat. Entah sampai kapan. Suatu perjuangan yang tidak mudah di tengah gempuran modernisasi yang kian menekan.
Tidak hanya Bali. Pulau tetangganya, Lombok yang indah, juga mengalami hal yang sama. Dan bukan semata Desa Sasak Sade yang kian turistik, tetapi Gili Trawangan yang makin internasional. Sehingga, sesaat kita pun terbuai seakan berada di sebuah pulau di negeri berbeda.
Suatu saat cobalah berkunjung ke Gili Trawangan, sebuah pulau kecil nan elok di barat laut Pulau Lombok. Dibandingkan dua pulau lainnya, yakni Gili Meno dan Gili Air, pesona Gili Trawangan yang paling banyak memikat wisatawan asing menyambanginya.
Begitu populernya pulau ini di kalangan wisatawan asing, wajah Gili Trawangan pun ikut berubah. Mulai dari area sekitar dermaga feri di sisi timur pulau, hingga kawasan sekitar Hotel Ombak Sunset di bagian barat pulau, dipenuhi puluhan hotel, kafe, resto, bar, dan sebagainya yang serba internasional.
Di atas pulau dengan panjang 3km dan lebar 2km, nuansa pesta pantai begitu terasa. Tidak mengejutkan, Gili Trawangan pernah disebut sebagai "Ibiza of the East". Ibiza sendiri adalah sebuah pulau terkenal di Laut Mediteranean dan termasuk wilayah Spanyol, yang sangat terkenal dengan kehidupan malam dan pesta pantainya.
Setelah dua malam di Trawangan, satu hal yang mengingatkan penulis bahwa Trawangan masih di wilayah Lombok adalah kehadiran Cidomo, alat transportasi tradisional khas Lombok. Satu-satunya alat transportasi, selain sepeda, yang diijinkan di atas pulau itu.
Kekayaan budaya asli suatu bangsa, apalagi dari sebuah suku asli di sebuah destinasi, selalu menjadi daya tarik wisata yang sangat menarik bagi banyak wisatawan. Tidak semata soal tari-tarian yang biasanya merepresentasi budayanya, tetapi juga cara hidup sehari-hari pun sukses menarik datangnya wisatawan.
Namun, sebuah kejadian tidak biasa seketika menyadarkan kita semua bahwa ada yang salah dalam cara kita mengelola semua warisan budaya itu. Pada tanggal 6 juli 2020 lalu, jagat pariwisata nasional dikejutkan sepotong surat yang dikirimkan Suku Baduy ke Presiden Jokowi. Seperti diberitakan banyak media nasional, Suku Baduy meminta Presiden untuk mencoret wilayahnya dari daftar wisata nasional. Ada apa?
Rupanya suku asli yang berdiam di Kecamatan Kanekes, Kabupaten Lebak mempunyai alasan khusus. Dampak negatif modernisasi yang dibawa masuk wisatawan dianggap mengancam pelestarian adat mereka yang selalu dijaga sangat ketat. Selain gaya hidup yang modern serta perilaku sebagian wisatawan memang bisa saja memberikan pengaruh negatif terhadap masyarakat Baduy.
Dalam beberapa kasus, terungkap sebagian wisatawan melanggar tatanan adat. Misalnya saja, membuat foto atau video dari wilayah Baduy Dalam dan menyebarkannya via medsos. Padahal jelas sekali, sebelum memasuki Desa Adat Baduy sudah ada papan pengumuman Tata Tertib yang wajib dipatuhi semua pengunjung.
Memang sudah saatnya kita wajib memperhatikan dampak yang dibawa wisatawan. Sudah saatnya pula, etiket di destinasi wisata adat harus lebih ditegakkan. Berwisata ke desa adat memang berbeda dengan wisata ke destinasi umum lainnya. Suku Baduy telah menyuarakan kekuatirannya. Jika masih mau ke Baduy, cukup patuhi semua aturan Tata Tertib yang telah ditetapkan.
Kisah tentang desa adat yang menolak modernisasi mengingatkan penulis akan kisah Kampung Naga di Tasikmalaya yang tidak kalah menarik. Meskipun terakhir ke kampung indah itu telah lama berlalu, tetapi banyak kenangan yang masih tersimpan di hati.Â
Khususnya, ketika begitu bersemangat menuruni lebih dari 400-an anak tangga menuju kampung. Dan sesudah itu baru ingat bahwa nantinya harus kembali menaiki jumlah anak tangga yang sama. Tanpa diskon. Hahaha.
Selain dampak pergeseran budaya yang bisa saja terjadi di masyarakat lokal, ada hal lain yang tidak kalah mencemaskan. Sebut saja, sudut pandang pengelola destinasi wisata yang seakan terobsesi untuk selalu menyediakan spot instagrammable (buatan) di setiap lokasi. Meskipun, dalam beberapa kasus, spot foto buatan itu justru mengganggu keaslian alam di destinasi itu.Â
Beberapa tahun lalu, penulis pernah mengunjungi Lembah Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Keindahan alam lembah ini memang menakjubkan.Â
Tebing batu granit menjulang setinggi 100 meter hingga 500 meter dan juga sebuah air terjun bernama Sarasah Bunta kian menegaskan pesonanya. Pantas kiranya Lembah Harau pun pernah disebut "Yosemite Park"-nya Indonesia.
Oh, tentu saja boleh membangun seperti itu demi memanjakan pengunjung yang mungkin ingin swafoto dengan latar belakang nuansa Eropa. Tetapi, mengapa harus di Lembah Harau? Bukankah masih banyak lokasi lain di provinsi nan luas ini, tanpa mengganggu keindahan alam asli Lemba Harau.Â
Memang beberapa negara lain pun membuat model seperti ini, bahkan dalam bentuk sebuah theme park yang lebih luas. Misalnya, Petite France di Korsel atau Comar Tropicale di Malaysia.Â
Namun, mereka tidak membuatnya di sebuah destinasi alam seperti Lembah Harau yang sudah puluhan tahun terkenal. Jika dalam sepakbola ada istilah 'blunder', bagi penulis apa yang dilakukan Pemda setempat yang mengijinkan projek "Harau Dream Park" persis sama. Sedih!
Pada dasarnya, pengembangan sebuah destinasi wisata di manapun harus tetap bertumpu pada dua aspek penting, yakni terjaganya budaya lokal dan lestarinya lingkungan alam asli setempat. Jika keduanya hilang, sensasi berwisata pun akan menguap. Setidaknya, itu yang penulis rasakan sebagai seorang traveler selama ini.Â
Bagaimana pendapatmu, Sobat Kompasianer yang baik?
Kelapa Gading, 14 Februari 2021
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto masing2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H