Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Pariwisata, Antara Pelestarian Budaya dan Pengembangan Destinasi

14 Februari 2021   10:17 Diperbarui: 14 Februari 2021   15:34 1880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Khususnya, ketika begitu bersemangat menuruni lebih dari 400-an anak tangga menuju kampung. Dan sesudah itu baru ingat bahwa nantinya harus kembali menaiki jumlah anak tangga yang sama. Tanpa diskon. Hahaha.

Kampung Naga- Tasikmalaya. Sumber: www.sky-adventure.com
Kampung Naga- Tasikmalaya. Sumber: www.sky-adventure.com
Kampung Naga terletak di desa Neglasari, tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya dengan kota Garut. Meskipun berada begitu dekat dengan kehidupan masyarakat yang hidup di era modern, masyarakat di Kampung Naga masih konsisten memegang teguh kearifan lokal dan budaya leluhur mereka. Setelah lama tidak berkunjung, penulis berharap konsistensi itu tetap terjaga hingga kini.

Selain dampak pergeseran budaya yang bisa saja terjadi di masyarakat lokal, ada hal lain yang tidak kalah mencemaskan. Sebut saja, sudut pandang pengelola destinasi wisata yang seakan terobsesi untuk selalu menyediakan spot instagrammable (buatan) di setiap lokasi. Meskipun, dalam beberapa kasus, spot foto buatan itu justru mengganggu keaslian alam di destinasi itu. 

Beberapa tahun lalu, penulis pernah mengunjungi Lembah Harau di Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Keindahan alam lembah ini memang menakjubkan. 

Tebing batu granit menjulang setinggi 100 meter hingga 500 meter dan juga sebuah air terjun bernama Sarasah Bunta kian menegaskan pesonanya. Pantas kiranya Lembah Harau pun pernah disebut "Yosemite Park"-nya Indonesia.

Lembah Harau- Sumbar. Sumber: www.indonesia.travel/nl
Lembah Harau- Sumbar. Sumber: www.indonesia.travel/nl
Tetapi itu dulu. Lembah Harau kini bak berpindah wilayah. Dari Sumatra Barat ke Eropa Barat. Betapa mungkin sebuah keindahan alam asli Tanah Minangkabau yang permai harus menanggung 'beban' dengan memiliki segala replika objek wisata dari Eropa. Sungguh sulit dipercaya! Ada replika Eiffel, ada Kincir Angin KW, dan lain-lain. :(

Oh, tentu saja boleh membangun seperti itu demi memanjakan pengunjung yang mungkin ingin swafoto dengan latar belakang nuansa Eropa. Tetapi, mengapa harus di Lembah Harau? Bukankah masih banyak lokasi lain di provinsi nan luas ini, tanpa mengganggu keindahan alam asli Lemba Harau. 

Memang beberapa negara lain pun membuat model seperti ini, bahkan dalam bentuk sebuah theme park yang lebih luas. Misalnya, Petite France di Korsel atau Comar Tropicale di Malaysia. 

Namun, mereka tidak membuatnya di sebuah destinasi alam seperti Lembah Harau yang sudah puluhan tahun terkenal. Jika dalam sepakbola ada istilah 'blunder', bagi penulis apa yang dilakukan Pemda setempat yang mengijinkan projek "Harau Dream Park" persis sama. Sedih!

Pada dasarnya, pengembangan sebuah destinasi wisata di manapun harus tetap bertumpu pada dua aspek penting, yakni terjaganya budaya lokal dan lestarinya lingkungan alam asli setempat. Jika keduanya hilang, sensasi berwisata pun akan menguap. Setidaknya, itu yang penulis rasakan sebagai seorang traveler selama ini. 

Bagaimana pendapatmu, Sobat Kompasianer yang baik?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun