Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

"Travel Bubble", Kiat Jitu di Tengah Stagnasi Bisnis Wisata

12 Oktober 2020   09:24 Diperbarui: 13 Oktober 2020   14:57 1437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terminologi "Travel Bubble" menjadi topik yang kian sexy di jagat industri pariwisata yang tengah terpuruk. Dari berbagai belahan dunia, para pemangku kebijakan di industri pariwisata makin intens menjalin komunikasi dengan mitra dari negara tetangganya terkait tren ini.

Lalu, apa itu Travel Bubble atau Gelembung Perjalanan? Mengapa Travel Bubble seolah hadir sebagai solusi kreatif di tengah stagnasi bisnis pariwisata saat ini?

Travel Bubble, yang juga dikenal dengan nama "Travel Corridor" atau ada juga yang menyebutnya "Corona Corridor", adalah suatu kemitraan eksklusif antara negara-negara tetangga atau dengan negara-negara terdekat yang telah sukses mengontrol virus corona di wilayah masing-masing.

Negara-negara ini selanjutnya sepakat untuk membangun hubungan di antara mereka dengan membuka perbatasan yang memungkinkan penduduk masing-masing bisa bepergian dengan bebas di dalam zona tersebut. Dan tentunya, tanpa harus menjalani karantina mandiri saat kedatangan. Sesuatu yang pasti dihindari hampir semua calon wisatawan.

Dengan kata lain, negara yang sudah sehat atau telah mampu mengontrol virus corona akan mencari tetangganya yang juga setara dalam pengendalian covid-19 ini. Gerbang pariwisata pun akan dibuka secara terbatas di antara keduanya agar industri pariwisata bisa menggeliat kembali.

Perintis Travel Bubble bisa dibilang berasal dari dua negara Oseania, yakni Australia dan Selandia Baru. Pada Mei lalu, keduanya mengumumkan rencana menciptakan kemitraan perjalanan pertama selama pandemi yang disebut "Trans-Tasman Bubble".

Travel Bubble Australia & Selandia Baru. Sumber: Sam Aitken/7News.com.au
Travel Bubble Australia & Selandia Baru. Sumber: Sam Aitken/7News.com.au
Dalam kemitraan khusus ini, penduduk kedua negara bisa bepergian ke wilayah satu sama lain secara bebas, tanpa adanya kewajiban karantina. 

Dan setelah rencana tersebut sempat ditunda karena covid-19 kembali menyebar di wilayah Victoria pada Agustus lalu, kini Australia sudah siap membuka sebagian wilayahnya untuk warga negara Selandia Baru.

Seperti dikutip dari Bloomberg, 11 Oktober 2020, pemerintah Australia mulai membuka wilayah New South Wales dan Northern Territory bagi warga negara Selandia Baru pada tanggal 16 Oktober 2020 ini.

Sementara itu, tidak lama setelah berita Travel Bubble dari kawasan Oseania menyebar, negara-negara di Eropa dengan cepat bereaksi positif dengan mencari celah untuk segera membuka kembali pintu perbatasan antar negara, khususnya di wilayah Uni Eropa.

Komisi Eropa, sebuah badan eksekutif Uni Eropa, lalu menciptakan "Re-open EU", sebuah situs yang memuat semua konten terkait peraturan perjalanan di dalam wilayah negara-negara Eropa. 

Setiap anggota Uni Eropa mulai melonggarkan restriksi perjalanan sesuai dengan perkembangan di negara masing-masing. Perjalanan secara terbatas di wilayah Uni Eropa atau zona Schengen pun mulai diterapkan secara bertahap.

Ketika negara-negara lain masih sibuk berwacana, tiga negara di wilayah Baltik tetiba menyita perhatian dunia. Pada tanggal 14 Mei 2020, Estonia, Latvia, dan Lithuania, tiga negara ex-Uni Soviet, meluncurkan Travel Bubble di wilayah mereka.

Map Tiga Negara Baltik. Sumber: Encyclopedia Britannica
Map Tiga Negara Baltik. Sumber: Encyclopedia Britannica
Sebuah kemitraan trilateral yang mengijinkan warga negara dari negara-negara tersebut untuk masuk ke wilayah negara anggota secara bebas, tanpa kewajiban karantina mandiri. Inilah yang selanjutnya diakui sebagai Travel Bubble pertama di Eropa.

Travel Bubble tentunya akan sangat membantu negara-negara dengan luas wilayah dan populasi yang relatif kecil. Jika berjuang sendiri tentu jauh lebih sulit. Bagi negara kecil seperti Estonia misalnya, pasar wisata domestik sangat kecil. Dengan populasi sekitar 1,3 juta penduduk, Estonia sangat mengharapkan wisatawan asing untuk kembali menggerakkan roda industri pariwisatanya.  

Dengan dibukanya koridor perjalanan dengan dua negara tetangganya, maka potensi wisata pun melonjak jauh lebih besar. Gabungan populasi tiga negara Baltik ini sekitar 6 juta jiwa. Peluang pasar wisata yang sama juga terbuka bagi Latvia dan Lithuania.

Situasi yang dialami negara-negara di Laut Baltik ini tentunya sangat berbeda dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Tiongkok ataupun Indonesia. Ketiga negara ini memiliki wilayah yang sangat luas dan populasi besar. Andaikata tidak ada Travel Bubble sekalipun, pasar domestik ketiganya masih cukup besar dan potensial dikembangkan.

Meskipun demikian, semua negara di dunia pada dasarnya tetap membutuhkan wisatawan asing demi meningkatkan potensi pendapatan devisa. Dan salah satu cara efektif saat ini adalah dengan menjalin aliansi strategis seperti konsep Travel Bubble itu.

Sejatinya, aliansi strategis antar negara di industri pariwisata bukan hal yang baru. Bedanya, dulu lebih banyak berlaku di bidang pemasaran dan juga dalam hal pembebasan pintu perbatasan antar negara. Tetapi kini lebih spesifik. Kerjasama dengan prasyarat yakni, setiap mitra harus setara dalam hal kemampuan mengendalikan penyebaran covid-19.

Dalam sejarah kerjasama pariwisata, negara-negara ASEAN pernah mempromosikan wilayah ASEAN sebagai sebuah destinasi tunggal. Di pagelaran tahunan ITB Berlin 2016, ke-10 anggota ASEAN secara kolektif meluncurkan "Visit ASEAN @50" dan membuat berbagai program untuk menarik kunjungan ke kawasan ini.

Walaupun tidak persis sama, Uni Eropa pun telah lama menjadi 'Single Destination' bagi wisatawan dunia. Sejak berlakunya kebijakan visa Schengen pada tahun 1995, wisatawan asing yang telah memperoleh jenis visa schengen dari salah satu negara anggota, dapat mengunjungi 26 negara anggota lainnya di wilayah Uni Eropa.

Dalam konteks terkini, "bebas karantina" menjadi isu yang lebih menarik dibandingkan "bebas visa". Bayangkan saja, betapa merepotkan dan pastinya berbiaya besar, jika ada kewajiban karantina mandiri 14 hari setiba di suatu negara.

Demi mengontrol penyebaran covid-19 di negara masing-masing, banyak negara memang menerapkan kewajiban karantina mandiri bagi wisatawan asing yang masuk ke negaranya. Akibatnya sudah bisa diduga. Tidak ada wisatawan asing yang mau masuk ke negara tersebut, jika ada kewajiban karantina mandiri selama dua minggu.

Industri pariwisata pun kian terjepit. Arus wisatawan tidak bergerak, kecuali di dalam wilayah negara masing-masing. Begitulah, setelah negara-negara Uni Eropa mulai memperlonggar restriksi perjalanan antar negara, negara-negara lain pun mulai mencari solusi kreatif untuk kembali menghidupkan mesin industri pariwisata yang nyaris mati.

Pada situasi inilah, terobosan kebijakan Travel Bubble segera menjadi 'jualan' yang begitu menggoda. Negara-negara yang sudah lebih siap membuka pintunya mulai melirik negara-negara tetangganya. Negosiasi antar pemerintah pun berlangsung kian intens. Sekali lagi, koridor perjalanan hanya akan dibuka untuk negara-negara yang sama-sama dianggap berhasil mengendalikan covid-19.

Ilustrasi Travel Bubble di beberapa wilayah. Sumber: simpliflying.com
Ilustrasi Travel Bubble di beberapa wilayah. Sumber: simpliflying.com
Di Eropa, selain tiga negara Baltik tadi, beberapa negara lain juga telah membuka koridor perjalanan antar negara tetangga. Misalnya, Kroasia dan Slovenia di wilayah Balkan. Kemudian, Denmark dan Norwegia di Skandinavia. Demikian pula, Austria dan Jerman di Eropa tengah.

Di wilayah lain, Negara Bagian Hawaii - AS juga telah menjajagi kemungkinan pembukaan "Trans-Pacific Travel Bubble" dengan negeri Kanguru Australia dan Jepang. Masing-masing negara membutuhkan ruang gerak yang lebih luas maupun devisa untuk menghidupkan industri pariwisata yang sudah redup.

Jepang rupanya salah satu negara favorit incaran, selain juga mengincar negara mitra lainnya untuk membangun Travel Bubble lainnya. Pada tanggal 8 September 2020 lalu, Jepang mengumumkan rencana Travel Bubble dengan lima negara di Asia, yakni Cambodia, Laos, Malaysia, Myanmar dan Taiwan. Kabarnya, Thailand dan Vietnam pun akan bergabung dalam Travel Bubble yang diprakarsai negeri sakura itu.

Jangan lupa, Travel Bubble hanya berlaku terbatas atau dibuka khusus untuk wisatawan yang berasal dari negara-negara mitra dalam gelembung perjalanan tersebut.

Bagaimana posisi Indonesia dalam tren terkini itu? Apakah negara kita juga ikut mencari mitra strategis menciptakan Travel Bubble tersendiri? Sejauh ini belum terdengar kiprah Indonesia. Meskipun sayup terdengar adanya komunikasi dengan delegasi Malaysia. Namun, sepertinya jalan ke sana masih panjang.

Penyebaran covid-19 yang masih kencang di banyak kota di Indonesia menyulitkan posisi kita dalam kontes mencari jodoh dalam membentuk mahligai Travel Bubble sendiri.

Travel Corridor RI dengan 3 Negara. Sumber: biroksin.kemkes.go.id
Travel Corridor RI dengan 3 Negara. Sumber: biroksin.kemkes.go.id
Selama ini pemerintah Indonesia baru merintis kerjasama terbatas yang disebut "Travel Corridor Arrangement" (TCA) dan berlaku terbatas untuk urusan diplomatik dan perjalanan bisnis esensial ke tiga negara -- Uni Emirat Arab, Korea Selatan dan beberapa lokasi di China.

Solusi yang paling relevan adalah membuka koridor perjalanan secara terbatas, misalnya antara Australia dan Bali atau Singapore dan Bali. Itupun jika Bali, sebagai contoh saja, sudah dipastikan aman menerima wisatawan asing dari negara-negara yang telah terbukti berhasil mengatasi pandemi yang sama.

Strategi Travel Bubble memang memikat, apalagi setelah berbulan-bulan hampir semua negara menutup wilayahnya. Pembukaan koridor perjalanan, meskipun terbatas di antara negara tetangga, pasti sudah sangat dinantikan wisatawan dari masing-masing negara.

Namun, sambil terus mencermati perkembangan Travel Bubble di wilayah lain, ayo fokus pada pengembangan wisata domestik saja dulu. Let's Go Indonesia!

Kelapa Gading, 12 Oktober 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Referensi: 1, 2, 3
Catatan: Foto-foto yg digunakan sesuai keterangan di foto.
Baca juga: "Menyambut Pagi di Situ Gunung"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun