Masih ingat slogan "How Low Can You Go?" dari sebuah merk rokok terkenal? Boleh jadi, jargon ini juga pas ditujukan ke perusahaan penerbangan bertarif rendah. Saling bersaing harga menyajikan yang termurah seolah menjadi jurus terampuh menaklukkan hati pelanggan.
Sudah bukan rahasia lagi, jika banyak pelanggan LCC (Low Cost Carrier) atau perusahaan penerbangan bertarif rendah, sering berburu harga super promo maskapai jenis ini.
Sebagian backpacker bahkan sudah sangat ahli dalam mencari harga-harga termurah yang bagi kebanyakan pelanggan justru begitu sulit didapatkan.
Harga-harga super murah sering menjadi gimik dalam dunia pemasaran yang selalu sukses menggoda calon konsumen untuk membelinya.
Tidak tanggung-tanggung, kadang harga tiketnya bisa membuat para pecinta perjalanan menjadi susah tidur.
Begitu menggodanya, sehingga ada traveler yang membeli tiket promo tersebut, tanpa rencana berlibur sebelumnya.
Sejarah LCC atau juga disebut 'no-frills' berawal di tahun 1970-an oleh maskapai domestik dari Amerika Serikat, yakni Southwest Airlines.
Maskapai penerbangan yang bermarkas di Dallas- Texas ini berdiri pada 15 Maret 1967. Tapi baru efektif beroperasi di medio Juni 1971. Dan berbeda dengan semua pendahulunya, Southwest sejak awal didisain untuk bisa memberikan harga tiket murah bagi konsumen.
Seperti yang ditampilkan di laman www.worldairlineawards.com, Southwest sukses menjadi LCC terbaik di AS dan berada di peringkat 4 terbaik dunia versi Skytrax. Kisah sukses Southwest yang fenomenal ini pun seakan menjadi benchmark bagi banyak pemain LCC lainnya yang lahir belakangan.
Kehadiran LCC (Low Cost Carrier), yang bisa juga disebut “Low Cost Airlines”, pun mulai mengambil pangsa pasar yang signifikan dari para pemain lama, maskapai tradisional yang sudah lebih mapan. Dengan jurus andalan harga harus jauh lebih murah dari maskapai berbiaya penuh lainnya.