Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bisnis Pariwisata Menuju ke Destinasi Krisis

19 Agustus 2020   08:50 Diperbarui: 19 Agustus 2020   15:53 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wat Arun, Bangkok yg kini sepi. Sumber: dokpri

Pandemi Covid-19, yang menyebabkan hadirnya restriksi perjalanan global, terus memberi tekanan ke semua sektor. 

Krisis ekonomi sudah membayang di depan mata. Tidak terkecuali industri pariwisata, salah satu yang sudah di-knock down berkali-kali. Di sebagian negara malah sudah di- knock out!

Jika merunut ke berbagai krisis sebelumnya, sudah jelas pariwisata salah satu yang paling rentan. Namun, jangan lupa juga, sektor pariwisata jugalah yang selalu menjadi lokomotif setiap periode pemulihan ekonomi. Pariwisata seolah menjadi suatu sinyal bagi industri lainnya untuk ikut bergerak.

Pertanyaannya, berapa lama daya tahan para pemain di sektor ini, sebelum industri jasa ini kembali pulih. Di negara-negara yang industri pariwisata selalu menjadi andalan, krisis bahkan sudah hadir dan ikut menggerogoti sektor lainnya. 

Dengan keunikan industri jasa ini yang disebut multiplier effect alias efek berganda, pariwisata berdampak luas terhadap berbagai aktivitas ekonomi lainnya.

Singapore, misalnya, yang industri pariwisatanya bergerak kencang, sungguh merasakan pukulan telak akibat covid-19. Tahun 2019 lalu, negeri jiran ini menerima setidaknya 19.11 juta kunjungan. 

Namun, sejak dihantam badai covid-19, jumlah kunjungan pun terjun bebas. Apalagi mayoritas wisatawan yang rutin bertandang ke Singapore berasal dari tiga negara besar di Asia, yakni China, Indonesia dan India. 

Tiga negara ini, yang terpaksa membatasi arus pergerakan perjalanan, memberikan kontribusi sekitar 42% dari total kunjungan wisatawan sepanjang tahun 2019.

Wat Arun, Bangkok yg kini sepi. Sumber: dokpri
Wat Arun, Bangkok yg kini sepi. Sumber: dokpri
Sementara itu, Thailand, negara dengan jumlah kunjungan wisatawan tertinggi di ASEAN dan nomor 9 di dunia, yaitu sekitar 38.2 juta, juga diambang krisis. 

Sektor pariwisata nya selama ini menyumbang sekitar 10% ke PDB (Produk Domestik Bruto) negeri Gajah Putih ini. Pembukaan terbatas untuk beberapa negara pun dibarengi protokol kesehatan yang sangat ketat, termasuk wajib karantina 14 hari. Siapa yang mau juga berwisata ke sana untuk dikarantina?

Di belahan dunia lainnya, yang tingkat ketergantungan terhadap pariwisata juga sangat tinggi, krisis pariwisata ibarat hantaman badai topan. Sebut saja, Spanyol dan Italia. 

Menurut data yang dilansir "World Economic Forum", sektor pariwisata Spanyol menyumbang sekitar 14.3% ke PDB-nya, sedangkan Italia tercatat 13%. Selain itu, tentu tidak boleh lupakan sebaran masyarakat kedua negara yang terkait dengan sektor padat karya ini, baik langsung maupun tidak.

Negara2 yg rentan krisis akibat dampak covid ke pariwisatanya. Sumber: www.weforum.org
Negara2 yg rentan krisis akibat dampak covid ke pariwisatanya. Sumber: www.weforum.org
Negeri matador Spanyol rata-rata menerima 83 juta wisatawan mancanegara setiap tahun. Suatu angka yang mengangkat posisi Spanyol sebagai negara nomor dua terbanyak menerima wisatawan setelah Prancis. Dan Italia menyambut tidak kurang dari 62 juta wisatawan mancanegara di tahun 2018, lalu menigkat ke 64.8 di tahun 2019 lalu.

Namun, sejak Maret lalu, kedua negara terjangkit covid-19 ini nyaris tidak menerima kunjungan wisatawan. Bahkan sejak Juni lalu, ketika kedua negara ini mulai dibuka untuk perjalanan dalam wilayah Schengen (Eropa), pun tidak mampu menghalau kabut tebal yang seakan menjadi sinyal badai krisis sudah di depan mata.

Negara-negara Eropa lainnya, yakni Inggris dan Jerman yang secara tradisional termasuk paling banyak mendukung pariwisata Spanyol, masih memberlakukan travel warning untuk warganya agar tidak mengunjungi Spanyol dalam waktu dekat. 

Belum lagi, negara-negara penyuplai wisatawan ke Spanyol, Italia dan negara-negara Eropa lainnya dengan tingkat pembelanjaan tertinggi justru berasal dari negara-negara Asia, misalnya China, Korea dan Jepang, yang hingga kini masih berjuang melawan covid-19.

Piazza San Pietro, Vatikan, Roma. Sumber: dokpri
Piazza San Pietro, Vatikan, Roma. Sumber: dokpri
Yang tidak kalah menderita dengan anjloknya pariwisata adalah negara-negara kepulauan mungil di wilayah Laut Karibia. Negara-negara seperti Bahamas, Jamaica, Antigua dan Barbuda, St. Lucia, dan lain-lain, yang sangat tergantung ke kunjungan wisatawan mancanegara, bakal terpukul telak. Pasalnya, sekitar 50% atau lebih ekonomi dari sebagian besar negara-negara di perairan terkenal ini tergantung dari pariwisata.

Meskipun saat ini termasuk 'cheap period' (low season) alias belum puncak musim turis, tapi dengan covid-19 mengintai AS, negara utama penyokong pariwisatanya, hotel-hotel pun sepi pengunjung. 

Biasanya, meskipun belum musim cruise-ship, tapi tetap masih banyak wisatawan yang berlibur ke wilayah ini sambil berdoa tidak dihantam topan cantik nan merusak.

Kini mereka hanya bisa menanti kembalinya kunjungan kapal-kapal pesiar besar yang biasanya mengarungi kawasan Karibia antara Desember hingga April (peak season). Itu pun jika covid-19 berakhir sebelum musim puncak pariwisata itu tiba.

Bagaimana dengan kondisi pariwisata di tanah air? Jika industri penerbangan mulai beringsut naik, khususnya penerbangan domestik. 

Dan industri perhotelan makin kreatif menawarkan berbagai paket khusus semacam Staycation, bahkan ada yang menawarkan layanan pesan-antar makanan. Setidaknya, memastikan kitchen mereka tetap bisa mengepul.

Begitu juga dengan berbagai objek wisata yang secara bertahap juga mulai dibuka untuk kunjungan wisatawan lokal dengan protokol kesehatan ketat. Lalu, apa kabar para pelaku bisnis 'Tours & Travel' atau Biro Perjalanan Wisata?

Dalam percakapan singkat dengan penulis, Sekjen DPP ASTINDO (Asosiasi Travel Agen Indonesia) Pauline Suharno mengakui beratnya hadangan krisis kali ini. 

"Sejak maret 2020, penjualan sudah turun sekitar 90%. Meskipun, mulai Juni lalu sudah ada sedikit pergerakan, tetapi relatif sangat kecil," demikian jelas Pauline yang juga Direktur salah satu travel agent terkemuka di Jakarta ini.

Astindo sendiri beranggotakan 900 Agen Perjalanan di seluruh Indonesia. Dalam kondisi seperti ini, sebagian besar anggota terpaksa 'hibernate' dulu. Menutup semua aktivitas operasional di kantor dan sementara bekerja dari rumah (WFH), sambil terus mencari peluang apapun untuk bertahan.

Selanjutnya, selalu siap untuk bangkit, ketika bisnis pariwisata diharapkan mulai pulih awal tahun depan.

Situasi pameran wisata sebelum krisis. Sumber: dokpri
Situasi pameran wisata sebelum krisis. Sumber: dokpri
Sedangkan sebagian Biro Perjalanan Wisata (BPW) yang selama ini lebih banyak fokus menjual paket wisata (regular group tours dan incentive tours) tidak mau berdiam diri. 

Di samping tetap mempersiapkan produk-produk wisata ke destinasi yang mulai di buka, baik domestik maupun ke luar negeri, para pelaku wisata sarat pengalaman ini terus melakukan berbagai terobosan bisnis lainnya.

Setidaknya ada beberapa 'Big Boys' (istilah untuk para BPW besar) yang berusaha memanfaatkan semua resources yang ada (SDM maupun jaringan bisnis yang luas, serta data pelanggan yang kuat), dan mulai membangun beberapa bisnis distribusi hingga kuliner dan dipromosikan secara online. 

Produk dan jasa yang dijual sangat variatif. Dari barang-barang konsumsi sehari-hari hingga paket wisata virtual, dan sebagainya. Dan tentu saja, mesin utama selalu siap untuk dinyalakan kembali begitu industri pariwisata mulai bergerak.

Laman utama UNWTO (United Nations World Tourism Organization) memasang tajuk yang sedikit memberikan angin optimisme, "Tourism Restarts: 40% of Destinations Have Now Eased Travel Restrictions". Tetapi, ada syarat untuk menerapkan pariwisata yang lebih bertanggung jawab, yakni sepenuhnya menerapkan protokol kesehatan.

Suatu tantangan yang tidak mudah. Masyarakat di banyak negara masih kerap melanggar semua protokol kesehatan yang diwajibkan. Bukan hanya di Indonesia bro! India dan AS juga sama.

Industri pariwisata memang berbeda dengan industri lainnya, misalnya manufaktur, otomotif, dll. Industri ini melibatkan begitu banyak pihak, dari level pengusaha kelas atas, hingga pedagang kaki lima. 

Begitu banyak pelaku pariwisata yang ikut terlibat dalam suatu proses perjalanan wisata. Mulai dari negara asal wisatawan, sampai tiba di negara tujuan wisatawan.

Tahun 2018 tercatat 1.4 milyar penduduk dunia bepergian. Lalu di 2019, naik ke angka 1.5 milyar perjalanan secara global. Kini sudah pasti catatan impresif ini akan menukik tajam di 2020.

Namun, seperti sudah menjadi dogma bagi para pelaku pariwisata, "Tourism Never Dies". Dari krisis ke krisis, pada ujungnya siapapun butuh rekreasi. Bukan demi gaya hidup semata, tapi juga untuk keseimbangan hidup alias Balance of Life.

Jakarta, 19 Agustus 2020
Oleh: Tonny Syiariel

Referensi: 1, 2, 3.
Catatan: Foto-foto adalah koleksi pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun