Sulawesi Selatan tidak berhenti menebar pesona. Destinasi wisatanya tersebar dari Makassar hingga Tanah Toraja. Dari kawasan pegunungan Malino sampai ke Tanjung Bira di Bulukumba. Kini Rammang-Rammang tetiba mencuat sebagai salah satu destinasi favorit.
Rammang-Rammang terletak di kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros, sekitar 40 km di sebelah utara kota Makassar. Destinasi unik di gugusan pegunungan karst Maros - Pangkep ini mulai menarik perhatian dunia pariwisata nasional dalam beberapa tahun terakhir.Â
Seperti halnya destinasi wisata anyar lainnya, semuanya karena kehebatan media sosial yang sukses menabur sejuta pesona Rammang-Rammang di blantika pariwisata Indonesia.
Akses menuju Rammang-Rammang tidaklah sulit. Ada aplikasi google map yang siap menuntun anda hingga ke lokasi. Dari kota Anging Mamiri, ikuti saja panduan si google map melewati jalan Tol Insinyur Sutami - Jl. Poros Palopo Makassar, hingga tiba di dermaga Salenrang atau Pier 1. Moda transportasi selanjutnya berubah.
Petualangan ke Rammang-Rammang pun dimulai. Bagi yang berhasrat menunggu momen sunrise di sini, wajib tiba di dermaga sebelum jam 5 pagi. Sebagian tukang perahu sudah stand by sejak subuh. Namun, untuk memastikan perahunya tersedia, apalagi jika datang berombongan, maka sebaiknya dipesan terlebih dahulu.
Bagi sebagian pengunjung, perjalanan menyusuri sungai di pagi subuh boleh jadi adalah pengalaman pertama seumur hidup. Suatu pengalaman yang begitu seru dan berbeda!Â
Bayangkan, berperahu menembus keremangan subuh dengan beratapkan langit berbintang. Suasana pun terasa begitu indah. Hanya suara khas perahu motor yang memecah keheningan alam yang memukau.
Namun, atmosfer subuh bisa saja berubah, jika mendung menggayut manja di langit. Dalam kegelapan itu, perahu tetap dijalankan dengan hanya mengandalkan head-lamp seadanya untuk menyorot jalan sungai. Ada resiko bisa menabrak batu karst yang menyundul di beberapa sudut sungai.
Tidak kalah menariknya ketika perahu menerobos sebuah bukit karst yang sudah terbelah menyerupai lorong batu. Perjalanan berperahu sekitar 20 menit itu begitu mengesankan. So memorable!
Kemunculan Rammang-Rammang sebagai salah satu destinasi wisata di Sulawesi Selatan relatif belum terlalu lama. Bandingkan, misalnya, dengan berbagai kawasan wisata lainnya yang sudah hadir jauh sebelumnya.Â
Ada Taman Nasional Bantimurung, Leang Leang, dan lain-lain, yang telah lama menjadi andalan pariwisata Sulawesi Selatan, khususnya Kabupaten Maros.
Namun, masyarakat setempat menolaknya dan bergeming atas tawaran dan iming-iming apapun. Mengingat kawasan inipun sudah dikelilingi beberapa perusahaan tambang semen, maka bisa dibayangkan kerusakan lingkungan yang akan terjadi.
Kegigihan masyarakat yang bersatu menolak usaha pertambangan itu berbuah manis. Perjuangan selama 6 tahun pun berhasil menyelamatkan kawasan ini dan menjadikannya sebagai destinasi wisata alam.
Tahun 2017 kawasan karst Rammang-Rammang akhirnya naik status, setelah ditetapkan sebagai Taman Nasional Geopark. Dan konon kabarnya, juga sedang diajukan ke UNESCO untuk menjadi UNESCO Geopark Global, atau geopark tingkat internasional. Suatu perjuangan yang tidak mudah. Tapi, bukan tidak mungkin, selama pengelolaan kawasan ini terjaga kelestariannya.
Pesona Rammang-Rammang pun mulai disandingkan dengan kawasan pegunungan karst lainnya yang ada di Shilin- Yunnan, China, Krabi- Thailand, dan Ha Long Bay- Vietnam. Tentu saja berbeda. Masing-masing destinasi memiliki keunikan tersendiri.
Setelah Katinting kami merapat di dermaga Kampung Berua, kaki-kaki melangkah cepat menuju spot tujuan di Kampung Berua. Jalan setapak yang sebagian telah dilapisi papan mengantar kami ke pusat pemukiman.Â
Semilir angin pagi ikut menyambut. Dingin diam-diam menyusup pelan di balik jaket. Langkah semakin bergegas, mengejar spot untuk menyambut sunrise.
Alam memang selalu menyimpan rahasia keindahannya sendiri. Keindahan yang tidak pernah sama di setiap pagi. Dan di Kampung Berua, yang seakan menjadi jantung kawasan wisata ini, penulis tidak heran menyaksikan betapa banyak pengunjung rela meninggalkan kenyamanan kamar hotel demi sensasi pagi di Rammang-Rammang ini. Beberapa saat lagi matahari pagi siap memancarkan cahaya kemerahannya di ufuk timur.
Para penikmat alam itu tentunya tahu makna sesungguhnya ketika menyatu dengan alam di keheningan pagi nan indah. Sebagian di antaranya bahkan sudah datang ke lokasi sejak malam hari.
Kampung Berua dikelilingi gugusan karst yang menjulang dan lingkungan sekitarnya yang begitu asri. Ribuan tahun lalu, kampung Berua merupakan danau besar di tengah perbukitan karst. Berbagai bukti arkeologi mendukung hal tersebut. Seperti yang dikisahkan dalam sebuah papan oleh pengelola area wisata ini.
Persis di tengah perkampungan, sebuah telaga kecil tampil begitu menawan. Ketika matahari pagi kian berkilau di timur, refleksi gugusan karst terpantul indah di permukaan telaga.Â
Bahkan sebuah perahu kecil yang begitu sederhana pun terlihat begitu indah, seakan menyatu mesra dengan alam di sekeliling. Sungguh sebuah panorama bak sepotong postcard dari Swiss, yang terkenal dengan keindahan danau-danaunya.
Keindahan pagi itu kian sempurna, ketika kami berkenalan dengan Daeng Gassing, salah seorang warga setempat yang selalu ramah menyambut pengunjung.Â
Daeng Gassing rupanya sangat dikenal di kalangan komunitas fotografer di Makassar. Dengan gaya atraktif bak model papan atas, beliau ikut berpose di perahu maupun beraksi melempar jala. Sungguh suatu pagi yang tidak terlupakan. Pagi yang terekam indah dalam ratusan frame foto yang sudah diabadikan.
Menyeruputnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit. Sambil terus mengagumi sajian alam yang menakjubkan. Mungkin inilah yang paling didambakan para pecinta kopi sekaligus pelancong dunia, "A coffee with a million dollar view!"
Kelapa Gading, 13 Agustus 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Catatan: Foto-foto adalah koleksi pribadi.