Mohon tunggu...
Tonny Syiariel
Tonny Syiariel Mohon Tunggu... Lainnya - Travel Management Consultant and Professional Tour Leader

Travel Management Consultant, Professional Tour Leader, Founder of ITLA

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Doeloe Sunda Kelapa, Kini Jakarta

22 Juni 2020   10:30 Diperbarui: 22 Juni 2020   10:34 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Alun-alun Fatahillah, Kota Tua. Sumber: Koleksi pribadi

Jakarta kini berusia 493 tahun! Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini perayaan ulang tahun kota berjuluk "the Big Durian" ini akan berlangsung senyap, tanpa banyak keriuhan. Pandemi covid-19 yang masih mengintai menjadi penyebabnya.

Kemeriahan seperti tahun lalu sudah pasti tidak akan terlihat. Acara tahunan 'Jakarta Fair' sudah dibatalkan, begitu pun berbagai agenda lainnya. Tema tahun ini "Jakarta Tangguh" pun dipilih untuk mencerminkan keuletan warga Jakarta bertarung melawan pandemi covid-19.

Dibandingkan kota-kota metropolitan dunia lainnya, Jakarta bisa dikatakan berdiri sejajar, baik dari segi pembangunan kota, maupun dari aspek sejarah yang sangat panjang dan berliku. Dari namanya saja, kota ini telah berganti nama beberapa kali. Dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga kini Jakarta.

Jakarta juga pernah didatangi bangsa penjajah Portugis, dikuasai kolonialis Belanda, Inggris hingga Jepang. Masing-masing meninggalkan jejak sejarah. Meskipun, jejak kolonialisme Belanda yang paling dominan terlihat di berbagai sudut Jakarta.

Sejarah panjang kota Jakarta tidak terpisahkan dari kota Pelabuhan Sunda Kelapa. Dari pelabuhan tua inilah, Jakarta yang sekarang berkembang pesat menjadi sebuah kota metropolitan dan ibukota negara Indonesia. 

Dari pelabuhan kecil menjadi salah satu kota terpadat berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa. Populasi metropolitan Jakarta, atau Jabotabek, bahkan jauh di atas 30 juta, sehingga menjadikannya sebagai salah satu area metropolitan terpadat di dunia.

Suatu hari di Sunda Kelapa. Sumber: Koleksi pribadi
Suatu hari di Sunda Kelapa. Sumber: Koleksi pribadi
Membaca sejarah Jakarta tidaklah lengkap tanpa membuka buku "Historical Sites of Jakarta" karangan Adolf Heuken SJ. Bahkan buku ini sudah seperti kitab suci bagi sebagian besar peminat sejarah dan local guide di Jakarta. Adolf Heuken (1929-2019) adalah seorang pastor Katholik dan penulis kelahiran Jerman yang menjadi warga negara Indonesia dan selanjutnya menetap di Indonesia hingga akhir hayatnya.

Kota pelabuhan Sunda Kelapa, yang terletak di Teluk Jakarta di muara Sungai Ciliwung, termasuk pelabuhan tertua di Indonesia. Di sinilah perdagangan hasil bumi, yang sampai ke China, berlangsung ramai.

Dari Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Raja Pajajaran, kota ini kemudian dinamai Jayakarta, setelah direbut Fatahillah, menantu dari Sultan Demak, penguasa Kerajaan Islam Demak yang sedang berada di puncak kejayaan saat itu. Menandai hari kemenangn inilah, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang artinya "Kemenangan yang Sempurna". Saat kemenangan itu diperkirakan jatuh pada tanggal 22 Juni 1527, yang selanjutnya ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. 

Fatahillah, atau juga populer dengan nama Falatehan, ikut menghancurkan armada Portugis yang hendak merapat ke Sunda Kelapa, setelah membuat perjanjian dengan Raja Sunda Pajajaran.

Pelabuhan Sunda Kelapa. Sumber: Koleksi pribadi
Pelabuhan Sunda Kelapa. Sumber: Koleksi pribadi
Kedatangan Belanda pada tahun 1595 di Banten di bawah komando Cornelis de Houtman dan selanjutnya masuk ke Jayakarta tahun 1617 mengawali rencana tersembunyi Belanda untuk menguasai sepenuhnya kota pelabuhan ini.

Singkat cerita, orang-orang Belanda yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen, akhirnya menaklukkan tentara Jayakarta yang dibantu pihak Inggris. Jayakarta pun memasuki lembaran baru. Belanda segera mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia pada tahun 1621.

Pada periode Batavia inilah, Jakarta mulai dibangun. Jan Pieterzoon Coen (1587-1629) yang dianggap sebagai pendiri kota Batavia, mendirikan banyak bangunan di wilayah Kota Intan dan Batavia lama. Selanjutnya, penerus Jan Pieterzoon Coen ikut menata kota Batavia, dengan jalan-jalan baru, alun-alun cantik, dll.

Ketika Jepang berhasil menguasai Asia pada awal Perang Dunia II, mereka juga mendarat di Jawa dan menguasai Batavia pada bulan Maret 1942. Jepang lalu menamai kota ini "Jakaruta tokubetsu-shi" (Jakarta Special City). 

Akhirnya, setelah Jepang kalah dan menyerah tanpa syarat kepada Amerika, Indonesia pun segera mengambil momentum itu dan deklarasikan Kemerdekaan Indonesia. Nama Jakarta tetap dipertahankan dan digunakan hingga kini.

Itulah sekilas sejarah Jakarta. Dari Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, hingga Jakarta. Kota ini dibangun, dihancurkan, dibangun lagi, dari satu era ke era berikutnya.

Jejak sejarah Jakarta masih bisa ditelusuri di wilayah antara Pelabuhan Sunda Kelapa, Menara Syahbandar dekat Pasar Ikan, Jembatan Kota Intan, hingga Alun-alun Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta. Dari Gereja Portugis (Gereja Sion), gereja tertua di Jakarta (1695), hingga Masjid Luar Batang, salah satu masjid tertua di Jakarta. 

Begitu juga bangunan bersejarah lainnya yang tersebar di area sekitar Lapangan Banteng dan Lapangan Merdeka, yang masing-masing menyimpan sejarah yang menarik.

Kawasan CBD Jkt. Sumber: Koleksi pribadi
Kawasan CBD Jkt. Sumber: Koleksi pribadi
Sebagai salah satu kota metropolitan terdepan di dunia, Jakarta memiliki hampir segalanya sebagai pusat pemerintahan, politik, perdagangan, keuangan, pariwisata, dll. Deretan gedung pencakar langit berebut menghiasi langit Jakarta. Kawasan CBD (Central Business District) menjadi pusat perkantoran ratusan perusahaan multinasional dan ribuan perusahaan nasional lainnya.

Untuk urusan belanja, tercatat hampir 100-an shopping malls dan pusat bisnis ritel lainnya yang bersaing menggoda pengunjung. Dan di jalan-jalan raya, dari jalan protokol di kawasan bisnis hingga jalan kecil di pinggiran kota selalu padat dijejalin bus kota, mikrolet, bajaj dan sepeda motor. Padat merayap. Hanya covid-19 yang sejenak meredakan semua hiruk-pikuk di jalanan Jakarta.

Di industri pariwisata, Jakarta adalah gerbang utama masuk ke Indonesia. Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan tiga terminalnya melayani rata-rata 70 juta penumpang per tahun. Sementara itu, ratusan hotel berbintang, dari bintang dua hingga bintang lima berlomba menarik turis dan pelanggan korporat. Tidak terhitung lagi hotel kelas melati maupun penginapan dalam jaringan Airbnb.

Atraksi wisata di Jakarta tidak kalah menarik hati untuk dikunjungi. Mau yang lebih ke sejarah, silakan ke kawasan Kota Tua, Monumen Nasional dan puluhan museum yang menampilkan jutaan koleksi bersejarah. Yang ingin tahu budaya suku-suku Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah adalah tempat yang tepat untuk didatangi. Sedangkan, yang ingin bermain dengan atraksi yang memacu adrenalin, silakan menuju Dunia Fantasi di Taman Impian Jaya Ancol.

Alun-alun Fatahillah, Kota Tua. Sumber: Koleksi pribadi
Alun-alun Fatahillah, Kota Tua. Sumber: Koleksi pribadi

Jakarta juga disebut kota yang sangat 'melting pot' alias beragam kultur yang menyatu di kota ini. Keberagaman ini tercermin dari ratusan jenis kuliner yang disajikan ribuan restoran, kafe, warung, dll. Dari Indonesia timur hingga barat. Semua masakan khas Manado, Makassar, Sunda, Jawa, Madura, Flores, Palembang, Padang, Batak, Aceh, dll, ada di kota yang nyaris tidak pernah tidur ini.

Kini di usianya yang jelang lima abad, tantangan Jakarta kian beragam. Sejak tahun 1960, sudah 14 Gubernur yang mengurus ibukota ini. Dari era Soemarno Sosroatmodjo, hingga Anies Baswedan. Tapi hingga kini, masih banyak 'pe-er' yang belum selesai, misalnya pertumbuhan kawasan urban yang begitu pesat, ruang terbuka hijau yang menyempit, kemacetan yang tak kunjung hilang dan ancaman banjir tahunan yang rutin datang.

Dan ancaman serius lainnya, kota ini sedang 'tenggelam' rata-rata 17 cm per tahun. Sebuah status tidak mengenakkan pun disematkan ke Jakarta sebagai salah satu dari "the fastest-sinking capitals in the world." Boleh jadi, itulah sebabnya, pada Agustus 2019 lalu, Presiden Jokowi mengumumkan rencana pemindahan ibukota ke Kalimantan Timur.

Jika pada akhirnya status ibukota pindah ke manapun, cintaku tidak akan pernah berpindah. Setelah tinggal di kota ini lebih dari tiga dekade, Jakarta sudah menjadi kampung halaman keduaku, setelah kampung asli tempat lahir beta. Jakarta is my city. My love!

Dirgahayu ke-493 Tahun Kota Jakarta Tercinta!

Jakarta, 22 Juni 2020
Oleh: Tonny Syiariel

Referensi:

1) Heuken SJ, Adolf: "Historical Sites of Jakarta", Cipta Loka Caraka, Jakarta, 1983

2) Hakim, Abdul: "Jakarta Tempo Doeloe", PT.Metro Pos, Jakarta, 1988

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun