"Nasi Goreng juara lagi!". Boleh jadi tajuk berita seperti di atas kian akrab di ruang percakapan kita. Bukan baru-baru ini saja, tetapi mestinya sudah sangat lama. Sejak doeloe selalu juara!
Sejatinya, Indonesia memiliki segudang makanan berkelas alias kategori juara. Tidak hanya Nasi Goreng (Nasgor) - makanan favoritku! Ada juga rendang, sate ayam, gudeg, pempek, puluhan jenis soto dan ratusan makanan khas lainnya. Kenikmatan tiada tara ini mungkin membuat sebagian dari kita ketika bepergian ke luar negeri pun masih kerap membawa beberapa 'jimat' penyedap rasa. Seolah ingin membawa sebagian rasa khas Indonesia itu kemanapun kita pergi.
Dalam berbagai perjalanan ke mancanegara, betapa sering saya mendapatkan grup wisatawan Indonesia selalu membawa sambel, abon, dll di manapun mereka makan. Bahkan ada juga yang membawa 'rice cooker'Â demi bisa memasak nasi di kamar. Sebaliknya, wisatawan perorangan cenderung lebih adaptif dan selalu mau mencoba sesuatu yang berbeda. Mungkin saja mereka pun ikut nembawa sedikit sambel, kopi, dll dari tanah air, tetapi soal makanan, jauh lebih fleksibel.
Lalu apakah membawa sambel dan juga mencari nasi adalah sesuatu yang 'terlarang'? Tidak juga. Toh grup wisatawan Thailand ke mana-mana juga sama, bahkan Tour Leader-nya kadang siapkan sendiri sambelnya begitu memasuki sebuah restoran. Namun demikian, tidak berarti semua makanan harus disambelin.
"Life is either a daring adventure or nothing", kata Helen Keller, seorang penulis dan aktivis politik kenamaan Amerika. Jadi, kenapa kita tidak mau mencoba sesuatu yang berbeda, meskipun mungkin hanya sekali sebagai pengalaman hidup.
Dalam sebuah perjalanan, bukan hanya melihat berbagai pemandangan alam atau atraksi wisata semata. Bukan juga demi berbelanja apapun yang menjadi incaran. Tapi tidak kalah pentingnya adalah pengalaman mencoba dan menikmati kuliner lokal di suatu negara tujuan. Bukankah esensi sebuah perjalanan itu juga mencakup aspek 'what to taste', selain 'what to see, what to do, and what to buy'.Â
Pengalaman makan paella yang khas Valencia itu akan kian bermakna jika kita tahu sedikit kisah dibaliknya. Misalnya, sejak kapan orang Spanyol gunakan beras sebagai bahan dasar membuat paella. Sedikit membaca tadi niscaya mempertebal hasrat untuk mencicipi rasa otentik makanan yang berasal dari Valencia sejak abad 19 itu. Beras sendiri masuk ke negara di semenanjung Iberia ini, sejak bangsa Moors membawa masuk budaya menanam padi di abad ke 10.
Gara-gara sambel sachet, saya pernah diomelin seorang chef di sebuah restoran lokal di kota kecil Imprunenta, dekat Firenze. Pasalnya, menu rombongan kita, Spaghetti alle Vongole yang putih suci, yang belum juga dicicipi sudah buru-buru disambelin merah oleh sebagian besar peserta tour.Â
Hasilnya, adalah sebuah 'disaster'. Rasa asli makanan tsb menjadi berubah secara dramatis, begitu pula wajah sang koki yang resep nenek moyangnya menjadi rusak ditangan seorang Tour Leader yang tanpa sungkan membagi-bagikan sambel sachet bawaannya.
Jika melihat laju pertumbuhan bisnis kuliner di tanah air dan kebiasaan kita untuk selalu mencoba berbagai makanan baru, maka seharusnya kita tergolong 'adventurous eaters' dibandingkan turis Amerika, yang kemana-mana cari Coke, McD, Starbucks, dll -- hampir semuanya yang juga mereka temukan di negara asal. Begitu juga wisatawan China yang kemanapun mereka pergi, lebih sering terlihat di restoran Chinese, dibandingkan di resto lokal lainnya.
Seorang pecinta kuliner pernah mengatakan, "Try everything once, twice if need be!".
Suatu saat saya terkejut melihat porsi jumbo 'Moules-frites' (makanan khas Belgia berbahan utama kerang dan kentang goreng) di restoran Chez Leon, sebuah restoran terkenal sejak 1893 dan berada di pusat kota Brussels, sekitar 200meter dari Grand Place. Meskipun tidak terbiasa makan segitu banyaknya kerang, namun pelan tapi pasti seporsi itu ludes juga. Tinggal ingat, usai makan jangan lupa telan Simvastatin, obat kolesterol. :)
Selain kerang tadi, di kota Belgia lainnya, Brugge, selain cerita kota tuanya dengan arsitektur bergaya abad pertengahan, jangan lupa mencoba makanan khas Belgia lainnya, seperti fries (kentang goreng), waffles dan coklat. Semuanya punya sejuta cerita menarik.
Kentang goreng, misalnya, meskipun menyandang nama 'French Fries'Â dipercaya berasal dari wilayah Belgia. Yang paling menarik adalah cara menggoreng kentang di sini agak berbeda. Brugge juga selalu mengingatkan setiap pelancong yang pernah ke sini tentang tradisi minum birnya.
Dengan pengalaman kuliner terbatas, dulu saya suka sekali Pizza Hut, yang asal Amrik itu, apalagi yang 'super supreme'. Ketebalan pizza dan topping-nya sungguh mengundang selera. Tapi setelah mengenal Italia dengan sejarah pizza Margherita yang mendunia, cinta saya pun berpaling.
Dengan ukuran pizzanya yang lebih tipis dan 'crunchy', pizza asal Napoli itu begitu mudah membuat banyak pecinta kuliner jatuh hati. Jadi ingat sepotong adegan (scene) ketika Julia Roberts menggigit pizzanya dalam film "Eat, Pray and Love". Mamma mia, delizioso!Â
Julia Roberts juga mengingatkanku akan adegan Escargot terbang dari piringnya di film "Pretty Woman". Escargot boleh jadi adalah makanan Prancis paling masyhur di dunia. Masakan berbahan baku bekicot ini biasanya disajikan sebagai makanan pembuka (hors d'oeuvre)Â dan hampir selalu ada di menu banyak restoran 'fine dining' di Perancis. Sudah pernah mencicipinya?
Bagaimana dengan Turki? Ingat Turki, ingat Kebab! Di Istanbul, kota terbesar di negara Mediterania ini, kita dengan mudah menemukan kebab. Ketenaran Kebab, khususnya Doner Kebab, bahkan merambah ke negeri lain. Di Berlin, hampir semua penikmat Doner Kebab kenal Mustafa's Gemuse Kebab yang begitu tenar. Konon Doner Kebab ditemukan pertama kali oleh seorang imigran keturunan Turki bernama Kadir Nurman di Berlin pada tahun 1972.
Lain Eropa, lain di Asia, selain Indonesia yang sorganya kuliner nan maknyus, Jepang, Korea, Vietnam, dan China juga dikenal dengan kekayaan kulinernya.
Jika ke Jepang, makanan yang paling saya gemari adalah Ramen. Meskipun negeri Sakura ini juga terkenal dengan Sushi dan Sashimi, tapi Ramen adalah segalanya.Â
Di Tokyo yang begitu banyak restoran ramen, saya dengan rela memilih antri nan panjang demi semangkok ramen di Mutekiya, yang tidak begitu jauh dari stasiun Ikebukuro. Saking terkenalnya Ramen, di stasiun Tokyo kita juga bisa temukan 'Tokyo Ramen Street' di mana delapan penjual ramen terbaik berkumpul di situ. Apa ramen favoritmu?Â
Kuliner Korea tidak kalah menggugah minat makan. Sekalipun jarang ke negeri ginseng ini, toh saya paling suka Samgyetang (ginseng chicken soup) dan Sundubu-chige, sejenis kuah pedas dengan tahu halus dan telor. Selera itu memang relatif. Mungkin ada yang lebih suka Bibimbap, Bulgogi atau Kimchi. Jika terbang dengan Korean Air, ada kemungkinan Anda disajikan salah satu makanan tradisional Korea, yaitu Bibimbap.Â
Paling was-was kalau mengunjungi restoran lokal di Guangzhou dan tidak bisa baca daftar menunya, kecuali kalau ada menu bahasa Inggris. Cerita soal orang Canton yang makan segalanya membuatku sekilas ingat Manado. Ada cerita begini, "The Cantonese eat everything with two or four legs, except chair or table. They eat everything under the sea, except submarine, and they eat everything that flies except aeroplane."Â Alamak, bangsa pemakan segalanya. :) Jadi paling aman, santap saja Dim Sum!
Pulang ke tanah air, saya selalu kangen nikmati seporsi soto Betawi nyang punya Haji Darwasa di Roxy, Jakarta. Biarpun sering antri dan berpeluh karena ruangannya nan panas, toh kenikmatan sotonya sungguh membius. Atau sesekali ke Sop Buntut Borobudur (Bogor Cafe) yang begitu legendaris, yang ada cabangnya di Pacific Place.
Sop Konro Karebosi, yang asli Makassar, juga tidak kalah menggoda. Dan kini, ketika tidak bisa kemana-mana, saya tetap sangat berbahagia nikmati nasi goreng juara buatan mantan pacar tercinta. Nasgor forever!Â
"Geef Mij Maar Nasi Goreng met een gebakken ei
Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij..."Â
Kelapa Gading, 27 April 2020
Oleh: Tonny Syiariel
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI