United State Trade Representative (USTR) telah mengeluarkan nama Indonesia dari daftar negara berkembang yang layak menerima fasilitas de minimis atau batas dari pengenaan bea masuk antisubsidi (BMAS) atau countervailing duties (CVD) sebesar 2%.Â
USTR memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dan neglilible import volumes untuk pengenaan tarif anti-subsidi atau countervailing duty (CVD). Pengetatan ini dilakukan sejak 10 Februari 2020 lalu. Tidak hanya Indonesia, beberapa negara lain diantaranya Argentina, Brasil, India, Thailand, serta Vietnam pun bernasib sama.
Mengapa dan atas dasar apa pemerintah AS melalui institusi perwakilan perdagangannya (USTR) ini memutuskan memperketat kriteria negara berkembang yang berhak mendapatkan pengecualian de minimis dan neglilible import volumes untuk pengenaan tarif anti-subsidi atau countervailing duty (CVD)?
Presiden Donald Trump merupakan sosok yang selalu memperlihatkan tajinya dan sudah lama menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap status dan kriteria negara berkembang, mungkin pak Trump ini berpikir bahwa sebagian negara berkembang itu "pura-pura" terus menjadi negara berkembang agar selalu mendapat fasilitas untuk masuk ke pasar AS.
Selain ketidaksetujuannya itu, Donald Trump dan Amerika-nya juga terus menyuarakan reformasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Apa betul Indonesia sudah masuk kriteria menjadi negara maju?
Sebetulnya kita harus berbangga karena Paman Sam sebuah negara terbesar dan terkuat di dunia telah memberikan penilaian ini terhadap Indonesia, setidaknya kiprah Indonesia selama ini diakui oleh Paman Sam. Namun apakah benar demikian?
Kriteria negara maju oleh World Trade Organisation (WTO), sebuah lembaga dunia yang menjadi wasit Perdagangan Internasional yang berkedudukan di Jenewa, Swiss ternyata tidak mendefiniskan dengan jelas apa itu negara berkembang (Developing Country), dan seperti apa kriteria negara maju (Developed Country).Â
Biasanya, status negara maju dan berkembang itu dapat dideklarasikan sendiri (self-declaration) oleh setiap negara berdasarkan parameter-parameter yang diakui secara internasional, dan boleh mengajukan keberatan/penolakan atas tindakan "self-declaration" yang "dituduhkan" negara lain, seperti halnya penilaian sepihak AS yang memberikan ''status negara maju'' kepada Indonesia.
Ternyata, kriteria yang menjadi pedoman AS mengangkat harkat Indonesia dari status negara berkembang menjadi negara maju adalah berdasarkan:
1). Negara berkembang dengan tingkat pendapatan per kapita (Gross National Income/GNI) > US$12,375/tahun atau sesuai definisi Bank Dunia. 2). Negara berkembang dengan share lebih dari 0.5% dari total perdagangan dunia, dan 3). Negara berkembang yang menjadi anggota Uni Eropa, OECD, dan G-20.
Dari tiga kriteria yang menjadi pedoman USTR tersebut, Indonesia memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu menjadi anggota G-20 dan memiliki kontribusi terhadap perdagangan dunia sebesar 0,9% (www.trademap.org), lebih dari 0,5% yang menjadi acuan USTR.
Akibat dari penilaian AS kepada Indonesia yang menyandang negara maju, maka hak Indonesia menjadi berkurang untuk tidak dikenakan pengenaan bea imbalan, dari semula margin subsidinya <2%, atau volume impornya di bawah 4% dan secara kolektif dengan negara berkembang lain tidak lebih dari 9%. Batasan de minimis untuk margin subsidi diturunkan menjadi 1%, sehingga parameter uji AS terhadap produk ekspor Indonesia semakin ketat, tuduhan praktik subsidi semakin besar.
Atas kondisi apa AS menuduh ada subsidi pada produk Indonesia yang masuk ke pasar AS? Yaitu apabila produk yang di impor dari Indonesia dianggap menyebabkan kerugian serius bagi produk sejenis di AS, biasanya dianggap menyaingi produk lokal khususnya dari sisi harga.
Kalau sebelumnya penilaian margin subsidi sampai sebesar 2%, maka setelah menjadi negara maju, margin subsidi menjadi 1%.Â
Apabila AS menilai margin subsidi produk Indonesia yang masuk pasar AS > 1%, maka akan dikenakan sanksi berupa pengenaan tindakan imbalan berupa bea masuk tambahan terhadap produk tersubsidi tersebut, akibatnya akan menambah cost dan menaikan harga produk di tingkat konsumen di AS.
Pengenaan sanksi akibat adanya tuduhan subsidi tersebut tidak serta merta diberlakukan. Prosesnya cukup panjang, akan disertai penyelidikan untuk membuktikan apakah benar suatu produk impor disubsidi atau tidak (special differential treatment/SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures.
Dengan demikian, pengaruh dikeluarkannya Indonesia dari klub negara berkembang menjadi negara maju adalah kita menjadi lebih rentan terhadap tuduhan subsidi terhadap produk yang diekspor ke AS, yang tadinya hingga 2% menjadi hanya 1%.
Produk apa yang sudah mendapat tuduhan subsidi dari AS ? Menurut data Kementerian Perdagangan, per Februari 2020 AS telah mengenakan tarif antisubsidi (countervailing duty/CVD) untuk 5 (lima) produk asal Indonesia, yaitu: biodiesel, hot rolled carbon (HRC) steel flat products, cut-to-length (CTL) carbon steel plate, certain coated paper dan certain uncoated paper.
Seluruh produk tersebut dikenakan CVD setelah hasil investigasi AS memutuskan bahwa ke-5 produk tersebut terbukti mendapatkan subsidi dengan margin di atas 2%.Â
Keputusan itu juga dikeluarkan berdasarkan persentase pangsa pasar Indonesia di pasar AS melebihi 4%. Praktiknya, selama 2 tahun terakhir, Indonesia belum pernah mendapatkan pengecualian dari pengenaan CVD berdasarkan kriteria de minimis untuk negara berkembang. Indonesia pernah mendapatkan pengecualian atas dasar negligible import volumes pada 2018 untuk pengenaan tarif safeguard terhadap produk mesin cuci, karena penyelidikan membuktikan bahwa RI hanya memiliki pangsa pasar di bawah 3% (batas terkena sesuai kriteria adalah > 4%)
Berdasarkan perspektif AS soal kriteria negara maju, maka Indonesia tidak berhak lagi diperlakukan spesial dalam hal pengenaan tarif antisubsidi (special treatment for purpose of countervailing measures) menurut Agreement of Subsidies and Countervailing Measures WTO.
Perlu diketahui, bahwa fasilitas ini hanya berkaitan dengan pengenaan tarif antisubsidi, dan tidak ada kaitan antara revisi aturan AS itu dengan mekanisme pemberian Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia yang selama ini lebih dicemaskan.
Apa itu GSP? GSP adalah kebijakan perdagangan suatu negara yang memberi pemotongan bea masuk impor terhadap produk ekspor negara penerima. Ini merupakan kebijakan perdagangan sepihak (unilateral) yang umumnya dimiliki negara maju untuk membantu perekonomian negara berkembang, tetapi tidak bersifat mengikat bagi negara pemberi maupun penerima.Â
Negara pemilik program GSP bisa bebas menentukan negara mana dan produk apa yang akan diberikan pemotongan bea masuk impor. Sejauh ini, Indonesia sudah menerima GSP dari beberapa negara termasuk AS, negara-negara di Uni Eropa dan Australia.Â
Melalui program GSP, AS memberi potongan bea masuk terhadap sekitar 5.000 produk dari total 13.000 jenis produk dengan tiga kategori, yakni kategori A, A* dan A+ . Sampai saat ini, Indonesia masih memperoleh GSP kategori A sehingga mendapatkan potongan bea masuk untuk 3.572 produk, termasuk produk agrikultur, produk tekstil, garmen, dan perkayuan.Â
Saat ini, para pelaku usaha RI baru memanfaatkan sekitar 836 produk dari total 3.572 produk asal Indonesia yang diberikan fasilitas GSP oleh AS. Tahun 2018, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat sebanyak US$2,13 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$18,4 miliar.Â
Sepanjang tahun lalu, produk ekspor utama Indonesia ke AS memanfaatkan skema GSP antara lain ban mobil (US$138 juta), kalung emas (US$126,6 juta), asam lemak (US$102,3 juta), tas tangan dari kulit (US$4,8 juta), dan aksesori perhiasan (US$69 juta). GSP yang AS berikan untuk Indonesia memungkinkan pelaku usaha mereka (Amerika), khususnya usaha kecil dan menengah (UKM), serta konsumen memperoleh barang konsumsi dan input produksi yang berkualitas dengan harga terjangkau dari Indonesia.
Kebijakan pengecualian de minimis dan neglilible import volumes untuk pengenaan tarif anti-subsidi atau countervailing duty (CVD) yang diberikan AS kepada negara berkembang merupakan kebijakan yang berbeda dengan fasilitas GSP yang diberikan oleh AS kepada beberapa negara, termasuk Indonesia.
Oleh karena itu, resiko dicabutnya fasilitas GSP oleh AS berkaitan dengan dikeluarkannya Indonesia dari daftar negara berkembang menjadi negara maju adalah dua hal yang berbeda, sehingga Indonesia tetap dapat menikmati fasilitas GSP yang diberikan oleh AS terhadap 3.572 produk Indonesia.Â
Persoalannya, kebijakan adalah sesuatu yang dinamis. Kebijakan diambil berdasarkan perhitungan masa yang telah lewat, saat ini dan untuk sikap kedepan demi kepentingan negaranya masing-masing.
Jadi, fasilitas yang sekarang masih didapatkan dari Paman Sam, bukan tidak mungkin sewaktu-waktu akan dicabut, semisal fasilitas GSP yang sejatinya adalah mutlak sebagai kebijakan unilateral AS semata.
AS telah mengusulkan perubahan kriteria negara berkembang penerima special differential treatment (SDT) yang lebih ketat di forum WTO pada tanggal 15 Februari 2019 melalui proposal No. WT/GC/W/764Â 'Draft General Council Decision: Procedures to Strengthen the Negotiating Function of the WTO'.
Melalui penerapan kriteria SDT baru ini, Indonesia perlu mewaspadai potensi melebarnya pemberlakuan definisi negara berkembang baru untuk aturan AS lainnya, seperti safeguard dan GSP.
Dan tidak menutup kemungkinan saat ini hanya untuk antisubsidi, kemudian bisa melebar ke aturan lanjutan yang mengatur trade remedies ataupun fasilitas dagang lainnya seperti antidumping.
AS telah menggabungkan indikator UNCTAD, IMF-World Bank dan menambahkan kriteria share perdagangan dunia dan keanggotaan pada organisasi kerja sama ekonomi internasional (OECD dan G20) untuk menentukan kriteria negara berkembang dan negara maju, oleh karena itu antisipasi melebarnya definisi ini untuk dikenakan pada fasilitas dan aturan perdagangan lain menjadi suatu yang niscaya.
Misalnya saja persoalan praktik dumping kerap diterapkan secara internal oleh perusahaan-perusahaan eksportir secara sadar maupun tidak sadar terhadap produk yang diekspornya, ini membuat tingkat kerawanan terhadap penyelidikan tindakan dumping yang berawal dari penyelidikan antisubisidi oleh AS bisa terkena ke produk-produk Indonesia.Â
Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh terhadap potensi penyelidikan atas praktik dumping dan subsidi di atas batas yang ditentukan oleh negara mitra, khususnya AS oleh pemerintah dan khususnya pengusaha.
 Sebetulnya yang paling penting adalah meningkatkan daya saing produk Indonesia, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani, serta membuka pasar baru (kawasan Afrika, Amerka Latin, negara-negara Balkan dan Euroasia, termasuk Timur Tengah, agar kita tidak melulu bergantung kepada fasilitas yang didapat dan berfokus kepada negara mitra dagang tradisional saja.
Sumber : Bisnis Indonesia, Kontan, cnbcindonesia, www.kemendag.go.id, www.trademap.org
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI