Melalui penerapan kriteria SDT baru ini, Indonesia perlu mewaspadai potensi melebarnya pemberlakuan definisi negara berkembang baru untuk aturan AS lainnya, seperti safeguard dan GSP.
Dan tidak menutup kemungkinan saat ini hanya untuk antisubsidi, kemudian bisa melebar ke aturan lanjutan yang mengatur trade remedies ataupun fasilitas dagang lainnya seperti antidumping.
AS telah menggabungkan indikator UNCTAD, IMF-World Bank dan menambahkan kriteria share perdagangan dunia dan keanggotaan pada organisasi kerja sama ekonomi internasional (OECD dan G20) untuk menentukan kriteria negara berkembang dan negara maju, oleh karena itu antisipasi melebarnya definisi ini untuk dikenakan pada fasilitas dan aturan perdagangan lain menjadi suatu yang niscaya.
Misalnya saja persoalan praktik dumping kerap diterapkan secara internal oleh perusahaan-perusahaan eksportir secara sadar maupun tidak sadar terhadap produk yang diekspornya, ini membuat tingkat kerawanan terhadap penyelidikan tindakan dumping yang berawal dari penyelidikan antisubisidi oleh AS bisa terkena ke produk-produk Indonesia.Â
Untuk itu diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang menyeluruh terhadap potensi penyelidikan atas praktik dumping dan subsidi di atas batas yang ditentukan oleh negara mitra, khususnya AS oleh pemerintah dan khususnya pengusaha.
 Sebetulnya yang paling penting adalah meningkatkan daya saing produk Indonesia, pemanfaatan perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani, serta membuka pasar baru (kawasan Afrika, Amerka Latin, negara-negara Balkan dan Euroasia, termasuk Timur Tengah, agar kita tidak melulu bergantung kepada fasilitas yang didapat dan berfokus kepada negara mitra dagang tradisional saja.
Sumber : Bisnis Indonesia, Kontan, cnbcindonesia, www.kemendag.go.id, www.trademap.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H