"Seseorang yang bisa mengendalikan orang lain adalah orang yang kuat. Seseorang yang bisa mengendalikan dirinya sendiri adalah orang hebat", kata Filsuf Tiongkok, Lao-Zu.
Bisa disimpulkan bahwa seseorang yang kuat dan hebat adalah dia yang mampu mengendalikan atau memimpin orang lain dan dirinya sendiri dengan baik. Dia tentu adalah seorang pemimpin.
Menjadi seorang pemimpin merupakan keinginan sebagian besar orang, baik pemimpin dalam skala kepemimpinan yang kecil hingga skala yang lebih besar. Misalnya pemimpin dalam sebuah komunitas, lembaga, negara, organisasi besar hingga tingkat dunia dan sebagainya.
Banyak cara yang dilakukan seseorang untuk mewujudkan keinginan tersebut. Dimulai dari cara-cara yang benar dan positif karena memang didasari oleh sebuah motivasi yang benar dan luhur, hingga melakukan yang sebaliknya, cara yang bertentangan dengan kebenaran dan keadilan karena memang pada dasarnya telah didasari oleh motivasi yang menyimpang pula.
Bagi dia yang benar-benar ingin menjadi pemimpin yang sesungguhnya baik dan benar akan mengetahui apa yang harus dimiliki dan dilakukannya untuk memberi dampak baik dan menguntungkan orang lain atas kepemimpinannya.Â
Sebaliknya, dia yang memiliki motivasi yang salah cenderung menyalahgunakan kepemimpinannya sehingga hanya menyenangkan keinginannya sendiri namun menyakiti orang lain.
Prinsipnya, semua tergantung motivasinya, motivasinya tergantung karakter pribadinya dan manifestasi kepemimpinan ditentukan dari karakter dalam dirinya.
Sejatinya, karakter seorang pemimpin yang sesungguhnya baik dan benar akan selaras dengan manifestasi kepemimpinannya. Dalam hal ini karakter yang secara khusus merujuk pada hati sang pemimpin tersebut.
Belajar dari seorang hamba
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), kata "hamba" berarti abdi atau budak belian. Dalam bahasa Inggris, "hamba" disebut "servant/slave". Dalam bahasa Yunani "doulos" dan dari asal bahasa yang lebih tua lagi bahasa Ibrani yaitu "Ebed" yang memiliki makna yang sama yaitu orang yang memiliki status sebagai pelayan atau budak, yang mana tugas utamanya adalah mengerjakan pekerjaan menurut kehendak tuannya dan tidak berbantah-bantah.Â
Suatu sikap penyerahan segala "hak pribadi/hidupnya" secara utuh untuk diatur oleh tuan atau majikannya. Dari arti tersebut, dapat disimpulkan bahwa hamba sejatinya sama dengan seorang budak.
Hal ini berarti bahwa sang hamba/budak tersebut benar-benar menyangkal dirinya dan tidak berhak lagi atas hak pribadinya. Hak itu sudah melebur atau menyatu dengan hak tuannya.
Hamba atau budak secara gamblang didefinisikan sebagai seseorang yang telah kehilangan segalanya di dunia ini. Kemerdekaannya telah dirampas, musnah, dan hampa.
David Watson mengatakan " seorang budak adalah seorang yang sama sekali tidak memiliki kepentingan diri sendiri. Dalam ketaatan penuh kerendahan hati, ia hanya bisa berkata dan bertindak atas nama tuannya. Dalam hal ini tuannya berbicara dan bertindak melalui dia".
Karakter hamba yang perlu diadopsi oleh seorang pemimpin
Dalam kepemimpinan seorang pemimpin, peran hatinya merupakan salah satu elemen yang sangat penting. Hal ini dikarenakan apapun tindakan konkritnya, sebagian besar merupakan wujud dari peranan hatinya.Â
Jika hati dikuasai oleh kejahatan, ketidakadilan, kekerasan dan segala bentuk perasaan menyimpang lainnya maka sangat memungkinkan manifestasi kepemimpianan yang selaras dengan perasaan menyimpang tersebut.
Itulah sebabnya seorang yang ingin menjadi pemimpin yang baik dan benar perlu menata hatinya menjadi yang baik pula.
Memilih seorang pemimpin pun perlu melihat sejauh mana kekuatan positif dalam hati yang termanifestasi lewat tindakan konkritnya. Oleh karena itu, pemimpin yang memiliki hati seperti seorang hamba menjadi prinsip utamanya. Â
Seseorang pernah berkata, "seorang pemimpin besar yang baik adalah dia yang memiliki karakter seorang pemimpin dan hati seperti seorang hamba". Saya setuju.
Lalu, apa yang perlu diadopsi oleh seorang pemimpin untuk menata hatinya dan bagaimana menilai seorang pemimpin yang memiliki hati seperti seorang hamba?
Melihat kembali kewajiban mutlak seorang hamba, seorang pemimpin yang memiliki hati seperti seorang hamba wajib atau akan selalu setia, taat, patuh akan nilai, norma, aturan dan hukum yang berlaku. Ia pantang menyerah, bekerja keras dan tidak bersungut-sungut dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya yang diemban.Â
Ia tidak mengutamakan kehendak dan kenyamanan dirinya, bahkan akan ikut menderita dengan bawahan atau pengikutnya yang menderita. Ia dikenal sangat rendah dan murah hati.
Ia tidak egois dan rela bersusah-susah demi kepentingan orang lain yang dipimpin. Ia selalu siap dan bersedia setiap saat memperhatikan segala keluhan bawahannya. Bahkan ia siap dan rela mati memperjuangkan kebenaran dan keadilan.Â
Dengan totalitas pengabdian, semua itu dilakukan demi tuannya, yakni bawahan, anggota, rakyatnya di dalam lembaga, komunitas, organisasi, bangsa dan negara atau tanah air dan sebagainya dengan berlandaskan kebenaran dan keadilan.
Itulah pemimpin yang diinginkan semua orang. Memiliki karakter layaknya seorang pemimpin dan hati seperti seorang hamba.
Jika ingin menjadi pemimpin, jadilah pemimpin yang memiliki hati seperti seorang hamba, dan jika ingin memilih pemimpin, pilihlah pemimpin yang juga memiliki hati seperti seorang hamba.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H