Pendahuluan
Ambachtsschool merupakan sekolah kejuruan yang didirikan oleh pemerintahan kolonial Belanda dengan tujuan mencetak tenaga kerja terampil. Pemerintahan kolonial membutuhkan tenaga kerja terampil agar kebutuhan pekerja dalam sistem politik terbuka dapat terpenuhi dengan baik. Mendesaknya kebutuhan pekerja tersirat dalam korepondensi antara menteri jajahan terhadap Gubernur Jenderal mengenai akan kebutuhan tenaga ahli berpendidikan atau memiliki keterampilan di bidang industri, pertukangan, dan kerajinan (Majid, Syarifah: 2016).
Penulis tergugah untuk menelusuri secara detail mengenai pembentukan awal Ambachtsschool Voor Inlander di Batavia yang kini bertransformasi menjadi SMKN 35. Ambachtsschool Batavia pertama ternyata sudah ada sejak 1865 yang letaknya berada di Vrijmetselaarweg yang kini menjadi Jalan Budi Utomo, Jakarta Pusat. Batavia Nieuwsblad bahkan mengabarkan bahwa Ambachtsschool di Batavia sudah ada sejak 1862. Kemudian tahun 1889 terdapat iklan dari koran Java-Bode yang merujuk pada Ambachtsschool Batavia tersebut.
Sementara, Ambachtsschool kedua di dirikan pada 1 Agustus 1936, dan letaknya berada di Matramanweg (Daftar Sekolah Kolonial). Peraturan sekolah Ambachtsschool kedua seturut dengan peraturan Ambachsschool pertama yang berdasarkan keputusan tanggal 30 Desember 1932 No.37. Namun kedua sekolah Ambachtsschool tersebut diperuntukkan setidaknya kepada golongan Indo-Eropa. Golongan yang terlahir dari perkawinan campuran antara orang Indonesia asli dengan orang Eropa.
Sekolah Kejuruan Untuk Pribumi di Kampoeng Djawa
Politik etis pada 1901 memberikan angin segar bagi golongan pribumi agar bisa mendapatkan haknya sebagai masyarakat. Namun seturut korespondensi Menteri urusan koloni Belanda kepada Ratu Wilhemina bahwa pelayanan kesehatan, pengembangan infrastruktur, transportasi dan khususnya pendidikan merupakan isyarat supaya pemerintahan kolonial menjalani kedamaian dan ketenangan penguasaan tanah jajahan melalui prinsip keadilan, kedamaian, adil dan memberikan pencerahan (Gouda, Frances 1995: 53).
Oleh sebab itu, atas pertimbangan moral dari pemerintah kolonial Belanda supaya dapat meningkatkan kesejahteraan bagi golongan pribumi, maka pemerintahan kolonial berniat mendirikan sekolah pertukangan atau kerajinan bagi golongan pribumi (Inlandsch Ambachtsschool). Hal tersebut dibuktikan dengan penemuan penulis terhadap surat keputusan dari pemerintah kolonial No. 27, 1 Oktober tahun 1909 bahwasanya Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang diwakili sekretarisnya membuka sekolah Ambachtsschool Voor Inlander di Batavia, Surabaya, dan Semarang.
Di Batavia sendiri seturut arsip koran Batavia Nieuwsblad 11 Juni 1919 menyiratkan bahwa Ambachtsschool Voor Inlander Batavia terletak di Gang Kampoeng Djawa kawasan Molenvliet West. Bangunan Ambachtsschool Voor Inlander Batavia menggunakan bekas bangunan biro pertambangan kolonial sesuai surat dari Direktur Pekerjaan Umum Sipil tertanggal 13 Maret 1909 TV 4200. Kemudian pemerintahan kolonial pada tanggal 23 Juni 1909 mengeluarkan dana sejumlah F. 12.400 untuk merevitalisasi bangunan tersebut (Verslag B.O.W 1909).
Lalu Ambachtsschool Voor Inlander Batavia secara resmi beroperasi bersamaan dengan  Ambachtsschool Voor Inlander Surabaya pada 1 Desember 1909. Sementara pembukaan Ambachtsschool Voor Inlander Semarang terjadi pada November setahun setelahnya. Data primer tersebut sesuai pemberitaan yang tertera pada koran De Locomotif (22-11-1909) dan dokumen Een En Ander Omtrent Den Welvaartstoestand Der Inlandsche Bevolking 1913.
Sementara itu, seturut laporan koran Batavia Nieuwsblad 11 Juni 1919 pula bahwa kondisi bangunan Ambachtsschool Voor Inlander Batavia Kampoeng Djawa merupakan bangunan megah yang luas dan sejuk; terdiri dari ruang kelas, ruang kerja, dan ruang pameran. Kemudian mengalami perluasan kembali pada 1927, sehingga menggusur 4 warga yang berdekatan rumahnya dengan areal sekolah. Namun pemerintah kolonial memberikan kompensasi atas kerugian penggusuran yang diterima oleh penduduk pribumi Kampoeng Djawa tersebut (Burgelijke Openbare Werken (B.O.W) 1855-1933).
Posisi direktur Ambachtsschool Voor Inlander Batavia pertama menurut koran Nederlandsch Indie 8 Januari 1914 diisi oleh T.W Groot. Direktur sekolah tersebut menerima gaji sebesar 1.500 gulden per bulan dengan kenaikan 4 kali dalam setahun sebesar 50 gulden. Sedangkan kepala bengkel menerima gaji 200 gulden per bulannya dan kenaikan 2 kali selama per tiga tahunnya dengan sejumlah 50 gulden (Een En Ander Omtrent Den Welvaartstoestand Der Inlandsche Bevolking 1913). Artinya besaran gaji yang diterima oleh direktur maupun kepala bengkel di awal abad 20 tersebut, jumlahnya relatif tinggi untuk memenuhi kehidupan selama sebulan. Jumlah yang sesuai dengan pegawai-pegawai negeri yang lain di zamannya.
Sementara, biaya sekolah yang dibebankan kepada siswa Ambachtsschool Voor Inlander, yakni sebesar 50 sen. Dengan biaya tersebut, pihak sekolah dari seorang ambteenar (pegawai negeri) sekiranya harus mendidik dan melatih para siswa yang jumlahnya menurut data pada 1910 sekitar 145 siswa. Mereka belajar selama 3-4 tahun supaya dapat menguasai ilmu seperti; Ilmu Pertukangan kayu, Pemasangan batu bata, Pandai besi, Pembuatan ketel uap, Pengerjaan logam dengan mesin, Pembuatan mebel, Pencelupan, Peleburan tembaga dan timah (Een En Ander Omtrent Den Welvaartstoestand Der Inlandsche Bevolking 1913).
Penguasaan keilmuan tersebut seturut tujuan dari jurusan yang tersedia seperti Ilmu Pertukangan, Ilmu Mekanika, dan Arsitektur. Dan proses pembelajarannya harus menggunakan bahasa melayu sebagai alat komunikasi yang efektif sehingga para siswa dapat memahami dengan baik materi pembelajaran (Bepalingen Bertreffende De Ambachtsscholen Voor Inlanders 1909).
Kegiatan Ambachtsschool Voor Inlanders Batavia
Setelah mendapatkan pembelajaran yang intensif di ruang kelas dan bengkel sekolah, maka adalah hal yang baik bila hasil-hasil tersebut di sosialisasikan kepada publik. Batavia Nieuwsblad pada 6 Februari 1929 melaporkan bahwa siswa tahun terakhir diberi kesempatan untuk mengadakan pameran hasil karya di area sekolah. Keseluruhan pembelajaran selama tiga tahun sekiranya mendapatkan kesan baik dan puas bagi para guru dengan hasil yang dicapai.
Selanjutnya 28 Januari 1930 Batavia Nieuwsblad melaporkan kembali, bahwasanya Ambachtsschool Voor Inlanders mengadakan pameran di Pasar Gambir. Pameran tersebut menampilkan sejumlah karya-karya siswa seperti pengolahan logam dan kayu menjadi barang estetik. Dalam kesempatan ini tentunya dapat menumbuhkan kepercayaan diri kepada siswa bahwa hasil yang diperoleh ternyata berguna bagi masyarakat.
Kegiatan yang tersirat pada Batavia Nieuwsblad terbitan 8 Agustus 1934 selanjutnya ialah upacara perpisahan kepada J.A van Nynanten seorang direktur sekolah. Dalam area sekolah telah berkumpul seluruh siswa dan para guru untuk mengucapkan salam perpisahan, begitupula mendengarkan pidato terakhir dari Van Nynanten. Van Nynanten merupakan tokoh yang berjasa bagi pendidikan di Ambachtsschool Voor Inlanders Batavia dan dunia pendidikan di area Jawa Barat. Para siswa menganggapnya sebagai ayah yang punya keterampilan tinggi dan kasih sayang yang lekat kepada siswa-siswanya di sekolah. Dan pada upacara perpisahan ini juga turut disampaikan pengganti dari J.A van Nyananten, yakni G. Meyer.
Penutup
Pemerintahan kolonial Belanda tentu sangat diskriminasi karena memisahkan pendidikan seturut kelas sosial yang berlaku, meski pemerintah kolonial memberikan perhatian terhadap siswa-siswa yang telah lulus selama 3-4 tahun dengan membantu mereka sebanyak mungkin dalam menemukan pekerjaan yang sesuai atau membantu agar mendirikan tempat kerja sendiri, namun motif pembukaan sekolah kejuruan untuk pribumi ternyata tidak terlepas dalam menciptakan tenaga kerja murah yang sesuai kebutuhan pembangunan infrastruktur. Pekerja yang berasal dari golongan Eropa sering mendapatkan perlakuan istimewa. Bahkan agar mencapai perbaikan dalam posisi, siswa pribumi mengajukan petisi kolektif kepada Gubernur Jenderal supaya dapat mengubah peraturan gaji yang setara dengan tenaga teknis Eropa yang sebenarnya tidak memenuhi syarat bekerja (De Indier 29 Jan 1918).
Apalagi, kalimat akhir dalam kolom Ambachtsscholen Voor Inlanders pada koran Nederlandsch Indie 19 Oktober 1909 menyiratkan bahwa pemerintah kolonial lebih baik mendirikan sekolah kejuruan daripada mendirikan sepuluh universitas. Sebab pemerintah kolonial lebih membutuhkan pengrajin bukanlah ilmuwan yang berbahaya. Pemerintah kolonial sepertinya mengalami kekhawatiran bila pribumi menjadi kritis. Mengingat, periode tersebut merupakan  zaman yang dimana organisasi pergerakan mulai tumbuh dan mengancam status quo pemerintahan kolonial Belanda. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI