Mohon tunggu...
Tonny Juliantika Priangan
Tonny Juliantika Priangan Mohon Tunggu... Sejarawan - S2 Kajian Sejarah, Universitas Negeri Semarang

Sejarah ialah bahasa kehidupan!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Yang Tidak Diceritakan Konten Youtube tentang Anak Basis STM Jakarta

4 Maret 2022   11:23 Diperbarui: 4 Maret 2022   18:25 17530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siswa STM ikut turun ke jalan membantu mahasiswa yang melakukan aksi demo penolakan sejumlah RUU di Gedung DPR, Selasa (24/9/2019).(Andri Prasetiyo/kompas.com)

Akhir-akhir ini marak sekali konten Youtube yang menyajikan cerita nostalgia tawuran semasa sekolah di STM Jakarta. Mulai dari alumni tua hingga muda diundang untuk menjadi narasumber dalam konten tersebut.

Ceritanya beragam, ada yang mengandung penyesalan dan adapula yang merasa paling menonjol dalam kancah per-tawuran pelajar. Cerita-cerita tersebut akhirnya dikonsumsi oleh kedua teman kuliah saya yang latarbelakangnya bukan berasal dari sekolah di Jakarta, melainkan dari Banyuwangi dan yang satu lagi dari Sumba.

Setelah mereka berdua menonton konten tawuran tak henti-hentinya mereka berdua menanyakan perihal bagaimana menjadi anak STM di Jakarta, yang kebetulan saya sendiri pernah merasakannya. Dari alasan mengapa anak STM tawuran, bagaimana proses regenerasi basis, apa fungsi basis, hingga apakah anak basis boleh pacaran. Semuanya mesti saya jawab kepada teman saya itu, meskipun saya tidak ingin lagi menceritakan semasa sekolah saat saya sudah berkuliah.

Bukannya ingin menutupi, berbeda dengan banyaknya teman-teman kuliah saya yang menceritakan semasa sekolahnya mendulang berbagai prestasi, akan tetapi saya tidak pernah mencapainya. Jadi, saya sedikit merasakan penyesalan. Sungguh miris bagi saya pribadi, hikss.

Menurut penuturan kedua teman saya, sungguh asik menjadi anak STM di Jakarta. Selain memiliki ikatan solidaritas yang kuat di dalam basis (Barisan siswa), katanya anak STM di Jakarta tidak perlu dipusingkan memikirkan urusan-urusan akademik.

Berkebalikan dari penuturan tersebut, menurut sepengalaman saya tantangan semasa STM akan menghambat proses untuk memperoleh pengetahuaan. Bagaimana bisa, baru menjadi pelajar saja sudah dirumitkan dengan urusan-urusan pertempuran selayaknya militer? 

Jadi begini cerita singkatnya menjadi anak Basis di STM menurut pengalaman saya; di STM sendiri terdapat hierarki senioritas. Ada tradisi bahwa anak kelas satu merupakan budak, kelas dua prajurit, dan kelas tiga ialah raja. Kelas satu mesti rela menjadi suruhan kakak kelasnya, baik kelas dua maupun kelas tiga.

Suruhannya beragam, ada yang disuruh terlebih dahulu menyerang sekolah musuh sebelum kakak kelasnya ikut turun, membawa sajam, merampok pelajar lain, membajak bus kota, hingga yang paling receh sekalipun; meminta kontak handphone siswi SMA. Sehingga apapun yang diinginkan oleh kakak kelas, kelas satu mestilah mentaati. Jika tidak, maka akan mendapat ganjaran berupa kekerasan verbal ataupun fisik.

Ketika sudah menginjak kelas dua, maka sudah bisa dibilang menjadi prajurit penuh. Selain bisa menyuruh anak kelas satu, kelas dua bisa membimbing anak kelas satunya di jalur pertempuran sehingga mengemban tugas yang berat.

Sementara kelas tiga, bisa menikmati selayaknya raja, tidak ikut tawuran pun dimaklumi dengan alasan sebentar lagi ia akan lulus dari sekolah dan tidak ingin tersandung kasus tawuran.

Begitupula bisa memalak anak kelas satu dan kelas dua untuk menikmati dua batang rokok dan secangkir kopi di tongkrongan.

Tidak hanya itu, adapun hal yang paling memusingkan menjadi anak basis; ialah disaat adanya korban dari pihak kita, sekolah kita ulang tahun, teman ditahan polisi, tabur bunga dan sekolah lain ulang tahun. Semuanya mesti dihadapi dengan tegar dan tidak panik.

Kejadiaan adanya korban dan teman yang ditangkap, biasanya anak STM dirumitkan oleh pengumpulan kolekan (Uang). Kelas satu sampai kelas tiga wajib menyisihkan uangnya untuk biaya perawatan, begitupula pembebasan teman yang ditangkap.

Sementara, bila sekolahan ulang tahun, kelas satu disuruh membawa sajam agar bisa dipergunakan saat sekolah lain menyambutnya. Kemudian tabur bunga, adalah hal yang mesti dilakukan untuk menghargai jasa para alumni yang telah mati-matian membela atas nama sekolah.

Dan yang terakhir, jika sekolah lain ulang tahun, pastinya anak basis akan menyiapkan strategi untuk menyambutnya demi eksistensi nama sekolah. Dengan demikian, menjadi anak basis di STM tidak seasik yang kedua teman saya bayangkan.

Bagaimanapun, saya mesti melawan rasa takut dan menghalau ketegangan yang setiap harinya selalu mengintai. Bisa saja saya tidak ikut basis sewaktu STM, tetapi saat itu konsekuensinya akan disudutkan, apalagi mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari anak-anak basis.

Maka, sudah saatnya, para alumni yang menjadi narasumber di konten nostalgia semasa STM, menebar virus perdamaian kepada sekolah rival. Jangan diundang menjadi narasumber hanya menyombongkan kekuatannya sewaktu sekolah, hal itu tentu tidak penting. Bisa saja para pelajar sekarang ingin mengikuti jejak alumni yang sombong itu dengan alasan suatu saat nanti akan menjadi narasumber di konten Youtube.

Duh, ini yang berbahaya. Jadi untuk para alumni, coba deh buat suatu kegiatan yang menghimpun para alumni sekolah rival, sehingga mendorong para pelajarnya guna memupuk rasa cinta dan perdamaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun