Tidak hanya itu, adapun hal yang paling memusingkan menjadi anak basis; ialah disaat adanya korban dari pihak kita, sekolah kita ulang tahun, teman ditahan polisi, tabur bunga dan sekolah lain ulang tahun. Semuanya mesti dihadapi dengan tegar dan tidak panik.
Kejadiaan adanya korban dan teman yang ditangkap, biasanya anak STM dirumitkan oleh pengumpulan kolekan (Uang). Kelas satu sampai kelas tiga wajib menyisihkan uangnya untuk biaya perawatan, begitupula pembebasan teman yang ditangkap.
Sementara, bila sekolahan ulang tahun, kelas satu disuruh membawa sajam agar bisa dipergunakan saat sekolah lain menyambutnya. Kemudian tabur bunga, adalah hal yang mesti dilakukan untuk menghargai jasa para alumni yang telah mati-matian membela atas nama sekolah.
Dan yang terakhir, jika sekolah lain ulang tahun, pastinya anak basis akan menyiapkan strategi untuk menyambutnya demi eksistensi nama sekolah. Dengan demikian, menjadi anak basis di STM tidak seasik yang kedua teman saya bayangkan.
Bagaimanapun, saya mesti melawan rasa takut dan menghalau ketegangan yang setiap harinya selalu mengintai. Bisa saja saya tidak ikut basis sewaktu STM, tetapi saat itu konsekuensinya akan disudutkan, apalagi mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari anak-anak basis.
Maka, sudah saatnya, para alumni yang menjadi narasumber di konten nostalgia semasa STM, menebar virus perdamaian kepada sekolah rival. Jangan diundang menjadi narasumber hanya menyombongkan kekuatannya sewaktu sekolah, hal itu tentu tidak penting. Bisa saja para pelajar sekarang ingin mengikuti jejak alumni yang sombong itu dengan alasan suatu saat nanti akan menjadi narasumber di konten Youtube.
Duh, ini yang berbahaya. Jadi untuk para alumni, coba deh buat suatu kegiatan yang menghimpun para alumni sekolah rival, sehingga mendorong para pelajarnya guna memupuk rasa cinta dan perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H